Monday 28 September 2015

Saat Politik dalam Sepak Bola



Pemilukada serentak dihelat 9 Desember mendatang. Di NTB ada tujuh kabupaten/kota yang bakal menentukan siapa kepala daerah yang baru. Masing-masing calon kepala daerah sudah menyiapkan amunisi untuk menuai simpati masyarakat. Mereka pun menyusun tim sukses solid demi meraih kuasa.
Pertanyaan besar untuk pilkada nanti adalah, bisakah demokrasi damai?. Jawabannya tentu bisa. Kenapa tidak demokrasi berjalan damai. Pemilukada bagian dari proses politik untuk memunculkan figur yang akan dipilih oleh rakyat. Dalam proses itu, siapa yang mendapat mandat terbanyak dari rakyat maka dialah yang bakal menjadi pemimpin.
Bagi calon kepala daerah dan wakilnya maupun pendukungnya, memegang kunci untuk perwujudan perdamaian. Dalam pertandingan sepak bola, sudah ada wasit (baca: KPU) dengan aturan main jelas. Sepanjang permainan dibolehkan menggunakan trik-trik ajaib, sepanjang tidak melanggar aturan trik itu dibolehkan.
Bagaimana dengan black campaign, sebenarnya kampanye hitam ini dianggap kurang etis. Dinilai tidak mengedepankan semangat demokrasi bermartabat. Tapi, bila kacamatanya adalah sepak bola ada cara sedikit nakal itu bisa saja dilakukan. Justru karena cara itu muncul istilah tangan tuhan, karena Maradona membobol gawang Inggris dengan tangannya. Argentina menang. Sama dengan Materazzi yang mengumpat ibu Zidane saat final Piala Dunia 2006 antara Italia melawan Prancis. Hasilnya, Zidane kena kartu merah dan Italia juara. Dan yang terbaru bagaimana Chile menjadi juara Copa America 2015, pertandingan terkeras perempat final melawan Paraguay. Provokasi pemain Chile membuat Cavani di kartu merah.
Bila melihat politik ini dari sepak bola, tentu tidak akan ada kerusuhan, karena semuanya sadar sudah memiliki taktik dan trik khusus. Ketika lawan politik menang, harus sportif memberi selamat. Bukan menggunakan rencana anarkis untuk membuat kericuhan. Karena sesungguhnya, proses dalam politiknya hampir sama, hanya soal kejelian meramu taktik dan strategi. Sepak bola sama-sama bermain dengan 11 pemain, tapi urusan hasil tergantung siapa peramu taktik terbaik.
Harapan terbesar dalam proses demokrasi tidak muluk-muluk. Ingin seperti ketika menonton bola. Sedikit riuh, ada teriakan, namun menghibur. Penonton ingin mendapatkan pembelajaran yang baik dari politik. Seperti pembelajaran ketika mereka menonton sepak bola. Paling tidak asyik adalah menonton bola yang di lapangannya ribut. Semoga, pilkada damai bisa terwujud. Ingin protes, ada prosedurnya. Sengketa politik sudah ada yang menangani. Tidak perlu khawatir.(*)


0 10 komentar:

Post a Comment