RIBUT daftar ulang siswa baru
sudah dimulai. Orang tua melancarkan protes ke sekolah. Menilai daftar ulang
sekolah memberatkan. Kepala sekolah (kasek) pun mulai berpikir keras untuk
memberikan jawaban pada semua orang tua. Protes yang terjadi di Kota Mataram
terlihat paling mencolok. Keputusan soal besaran sumbangan orang tua ini,
diputuskan oleh komite sekolah. Sebelumnya, sudah ada rapat dengan dengan orang
tua siswa. Protes orang tua bukan terjadi tahun ini saja.
Setiap tahun protes biaya
daftar ulang ini selalu terjadi. Orang tua selalu menyebut, program pemerintah
sekolah gratis. Kenapa kok masih bayar-bayar segala. Parahnya, protes seperti
ini banyak dilontarkan oleh orang tua mampu. Bahkan mereka tidak sungkan untuk
meminta surat miskin, supaya lolos untuk membayar uang gedung. Sedikit tidak
populis, sumbangan gedung untuk sekolah ini harus didukung. Kenapa didukung?. Melihat
beberapa sekolah kekurangan kelas, fasilitas belajar, dan perlengkapan belajar
usang, sepertinya memang sudah seharusnya diganti. Jadi sumbangan orang tua
menjadi keharusan. Toh, sekolah sendiri memberikan kelonggaran. Orang tua bisa
membayar bertahap. Untuk siswa miskin, sekolah sudah menggaransi tidak akan
meminta sumbangan.
Ada pertanyaan, terus dana
bantuan operasional sekolah (BOS) bagaimana?. Supaya para orang tua tahu, tiap
kepala untuk siswa SD mendapat dana BOS Rp 800 ribu setahun, sementara SMP Rp 1
juta, dan SMA 1,5 juta. Jika tidak ada partisipasi dari orang tua, darimana
lagi sekolah mendapatkan dana untuk memutar roda pendidikan. Ada dana APBD, apa
tidak cukup. Jumlah sekolah dengan jumlah dana tidak seimbang. Tidak mungkin
bisa mengcover seluruh kebutuhan sekolah.
Bukankah setiap orang tua ingin
mendapatkan pendidikan berkualitas untuk anaknya. Bagaimana pendidikan bisa
berkualitas bila dibiarkan seadanya. Tidak partisipatif pada sekolah bukankah
membiarkan sekolah memberikan pendidikan apa adanya. Padahal, keinginan kita
putra-putra NTB sanggup tembus di universitas terkemuka di Indonesia. Banyak orang
tua yang sanggup membelikan anak mereka sepeda motor belasan juta, gadget dan
laptop jutaan bisa. Sedangkan untuk sumbangan partisipatif pendidikan Rp 1-3
juta dalam kurun waktu tiga tahun anaknya sekolah, kok berat?.
Sekolah juga harus transparan.
Sumbangan yang dihimpun dari orang tua harus akuntabel. Dijabarkan secara
terbuka peruntukannya. Belum semua sekolah membuka soal penggunaan dana dari
orang tua. Komite sekolah sebagai penghimpun dana, harus memberi penjelasan
kepada orang tua. Penjelasan seperti yang disampaikan ketika rapat komite,
ketika mengajak orang tua memberi sumbangan pembangunan. Dinas Pendidikan
Pemuda dan Olahraga (Dikpora) ada di garda terdepan mendorong sekolah
menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara terang benderang.
Tuang untuk pendidikan, tidak
seperti keluar uang untuk hal konsumtif. Keluar dan kemudian menguap. Uang untuk
pendidikan adalah investasi masa depan. Bekal untuk generasi penerus bangsa.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment