Friday 25 September 2015

Pendidikan Berkualitas, “Tidak Gratis”



RIBUT daftar ulang siswa baru sudah dimulai. Orang tua melancarkan protes ke sekolah. Menilai daftar ulang sekolah memberatkan. Kepala sekolah (kasek) pun mulai berpikir keras untuk memberikan jawaban pada semua orang tua. Protes yang terjadi di Kota Mataram terlihat paling mencolok. Keputusan soal besaran sumbangan orang tua ini, diputuskan oleh komite sekolah. Sebelumnya, sudah ada rapat dengan dengan orang tua siswa. Protes orang tua bukan terjadi tahun ini saja.
Setiap tahun protes biaya daftar ulang ini selalu terjadi. Orang tua selalu menyebut, program pemerintah sekolah gratis. Kenapa kok masih bayar-bayar segala. Parahnya, protes seperti ini banyak dilontarkan oleh orang tua mampu. Bahkan mereka tidak sungkan untuk meminta surat miskin, supaya lolos untuk membayar uang gedung. Sedikit tidak populis, sumbangan gedung untuk sekolah ini harus didukung. Kenapa didukung?. Melihat beberapa sekolah kekurangan kelas, fasilitas belajar, dan perlengkapan belajar usang, sepertinya memang sudah seharusnya diganti. Jadi sumbangan orang tua menjadi keharusan. Toh, sekolah sendiri memberikan kelonggaran. Orang tua bisa membayar bertahap. Untuk siswa miskin, sekolah sudah menggaransi tidak akan meminta sumbangan.

Ada pertanyaan, terus dana bantuan operasional sekolah (BOS) bagaimana?. Supaya para orang tua tahu, tiap kepala untuk siswa SD mendapat dana BOS Rp 800 ribu setahun, sementara SMP Rp 1 juta, dan SMA 1,5 juta. Jika tidak ada partisipasi dari orang tua, darimana lagi sekolah mendapatkan dana untuk memutar roda pendidikan. Ada dana APBD, apa tidak cukup. Jumlah sekolah dengan jumlah dana tidak seimbang. Tidak mungkin bisa mengcover seluruh kebutuhan sekolah.
Bukankah setiap orang tua ingin mendapatkan pendidikan berkualitas untuk anaknya. Bagaimana pendidikan bisa berkualitas bila dibiarkan seadanya. Tidak partisipatif pada sekolah bukankah membiarkan sekolah memberikan pendidikan apa adanya. Padahal, keinginan kita putra-putra NTB sanggup tembus di universitas terkemuka di Indonesia. Banyak orang tua yang sanggup membelikan anak mereka sepeda motor belasan juta, gadget dan laptop jutaan bisa. Sedangkan untuk sumbangan partisipatif pendidikan Rp 1-3 juta dalam kurun waktu tiga tahun anaknya sekolah, kok berat?.
Sekolah juga harus transparan. Sumbangan yang dihimpun dari orang tua harus akuntabel. Dijabarkan secara terbuka peruntukannya. Belum semua sekolah membuka soal penggunaan dana dari orang tua. Komite sekolah sebagai penghimpun dana, harus memberi penjelasan kepada orang tua. Penjelasan seperti yang disampaikan ketika rapat komite, ketika mengajak orang tua memberi sumbangan pembangunan. Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Dikpora) ada di garda terdepan mendorong sekolah menyampaikan laporan pertanggungjawaban secara terang benderang.
Tuang untuk pendidikan, tidak seperti keluar uang untuk hal konsumtif. Keluar dan kemudian menguap. Uang untuk pendidikan adalah investasi masa depan. Bekal untuk generasi penerus bangsa.(*)  

0 10 komentar:

Post a Comment