This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday 28 November 2015

Disiplin di Singapura Lahir dari Sanksi Tegas



Melihat Kondisi Singapura Terkini (1)


ROMBONGAN jurnalis peraih penghargaan dari Astra Motor mendapat hadiah tour ke Singapura. Rombongan ini menjejak kaki di Singapura, Sabtu (28/11). Begitu tiba di Changi International Airport sekitar pukul 10.15 waktu setempat, para wartawan langsung memelototi kondisi bandara. Rombongan wartawan asal Indonesia dibuat kagum dengan kebersihan bandara. 
Kondisinya nyaman dan bersih. Kondisi yang jelas membuat penumpang yang datang nyaman. Layak bila bandara milik Singapura ini dinobatkan sebagai salah satu bandara terbaik di dunia.
Rombongan wartawan yang dipandu oleh tour guide bernama Harbans Kaur. Begitu bus yang ditumpangi melaju meninggalkan bandara, rombongan ini sudah dibuat heran dengan kondisi negara berlambang Merlion ini. Meski luasnya hanya 721 kilometer persegi, tidak terlihat ada kemacetan. Padahal jalan yang dimiliki tidak terlalu lebar. Untuk ukuran weekend di negara makmur seperti Singapura, jalanannya longgar Sepanjang jalan mata dimanjakan pohon teduh. Taman bunga di tengah jalan membentang. Semuanya bersih dan rapi.
"Untuk taman dan pohon Singapura memang mengupayakan serius," kata Harbans.
Perempuan berkacamata ini membeberkan, lalu lintas di Singapura tidak terlalu padat karena lebih banyak menggunakan kendaraan umum. Ada tiga kendaraan umum yang kerap dihunakan. Taksi maksimal dengan penumpang empat orang. Bisa digunakan dini hari, tarifnya memang mahal. Untuk yang lebih murah masyarakat bisa memilih bus umum. Bus jalan mulai pukul 06.30 sampai 24.00. Naik bus dengan uang pas. Jarak jauh dekat, tarifnya jelas. Pilihan kendaraan terakhir adalah kereta api di bawah tanah. Memiliki rute yang jelas. Tarifnya juga tidak terlalu mahal.
"Ini yang membuat lalu lintas teratur," lanjutnya.
Meski kendaraan umum jadi urat nadi penghubung, bukan berarti kendaraan pribadi jarang terlihat. Kendaraan pribadi dengan harga selangit berseliweran. Ferrari dan Lambhorgini beberapa kali melintas. Tapi, mereka tidak selalu memakai kendaraan pribadi setiap hari. Kendaraan kelas premium yang tidak sembarangan orang bisa memilikinya.
Selain kendaraan, faktor lain yang membuat lalu lintas di Singapura bagus adalah kedisiplinan pejalan kaki. Mereka tidak boleh menyeberang sembarangan. Ada jalur zebra cross yang khusus dipakai menyeberang. Jika ada masyarakat melanggar, bisa kena denda.
"Disini tidak bisa sembarangan menyeberang jalan. Semua yang memakai kendaraan pribadi sangat menghargai waktu, kalau kita menyeberang sembarangan bisa ditabrak," beber Harpans.
Pemandangan ini tentu sulit dijumpai di Indonesia khususnya di Pulau Lombok. Untuk menyeberang jalan bisa dilakukan di semua jalur. Malah jembatan penyeberangan saja tidak dihiraukan. Punismant bagi para pelanggar ini cukup berat, sudah diatur di undang-undang Singapura. Bicara soal sanksi, Singapura memang negerinya hukuman.
Menurut Harbans, semua hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat memiliki rambu jelas. Itu salah satu sebab Singapura menjadi tertib. Imbasnya pun mengarah pada soal kebersihan. Mereka yang membuang sampah sembarangan bakal diancam denda. Sanksi itu yang membuat nyali masyarakatnya ciut. Jangankan membuang bungkus makanan, snack atau boto air mineral. Buang puntung rokok sembarangan saja bisa kena masalah. Seperti cerita seorang bule yang kena denda karena membuang puntung rokok sembarangan. Ceritanya, ada bule tinggal di apartemen, dia asik merokok dan membuang puntung dari atas apartemen. Bule tersebut cuek saja, ia tidak tahu closed curcuit televisi (CCTV) tersebar di berbagai titik. Akibatnya  si bule harus menerima denda cukup besar. Setelah dihitung ada 37 buah puntung dibuang sembarangan.
"Kena denda 2.000 Dollar Singapura," ucapnya.
Bila dihitung satu Dollar Singapura Rp 9.700, bisa dibayangkan berapa rupiah harus dikeluarkan. Harbans pun menyarankan rombongan kuli tinta Indonesia meniru gaya warga Singapura.  Kebanyakan warga Singapura menyimpan bungkus makanan sebelum membuangnya. Sekalipun itu bungkus permen. Mereka menghindari terkena denda berat. Tidak semua titik bisa menjumpai tong sampah.
Aturan seperti ini juga berlaku pada perokok. Di Singapura bukan surga bagi perokok. Mereka yang merokok sangat dibatasi. Hanya di lokasi tertentu bisa menghisap rokok. Bagi yang perokok berat, ini menjadi masalah besar. Harbans pun mewanti-wanti rombongan jurnalis supaya mengindahkannya. 
Apakah warga Singapura sendiri disiplin? Dikatakan Harbans, tidak semuanya memiliki disiplin tinggi. Ada saja yang curi-curi pelanggaran di jalan, buang sampah sembarangan, ataupun merokok. Namun, jumlah mereka tidak banyak. Mereka yang melanggar ini harus hati-hati karena CCTV terus mengintasi.
“Sebaiknya jangan melanggar lah, nanti repot,” ucap perempuan keturunan India ini.
Kedisiplinan yang lahir karena ada sanksi tegas ini membuat Singapura tertib. Sendi-sendi kehidupan diatur dengan jelas. Pemerintah sendiri tidak sekadar memberi sanksi-sanksi saja. Pemenuhan fasilitas dipikirkan serius. Ada zona yang ditata dengan baik. Seperti zona perokok ataupun penyeberangan. Sudut-sudut padat disiapkan tempat sampah. Para wisatawan yang berkunjung pun nyaman. Tidak hanya di darat, di air pun bersih tanpa sampah. Seperti di muara sungai sekitar monumen Merlion, tidak ada satupun sampah mengambang. Jika awalnya kedisiplinan karena tekanan, lama-kelamaan menjadi gaya hidup.


Cara memberi sanksi untuk kebersihan, sebenarnya diterapkan di sejumlah kawasan di Indonesia. Salah satunya adalah Surabaya. Untuk di jalur utama ibukota Jawa Timur cukup bersih. Mereka yang membuang sampah dijalan dikenai pasal tindak pidana ringan (tipiring). Sanksinya mulai dari disita KTP, denda uang, sampai di penjara. Saya membayangkan, Kota Mataram menerapkan pola tersebut. Perangkat dan aturan sudah ada, sayang sanksinya masih lemah.(bersambung)

Wednesday 25 November 2015

Jabatan hanya Titipan Pak!



PERGESERAN dalam birokrasi menjadi hal yang lumrah. Aturan pergeseran sudah diatur jelas dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang aparatur sipil negara (ASN). Di dalamnya jelas disebutkan, pergeseran jabatan bila sudah menduduki posisi yang sama selama lima tahun. Tujuannya jelas, supaya roda birokrasi tetap berjalan dengan baik. Munculah istilah pergeseran jabatan dalam birokrasi sebagai bentuk penyegaran. Maksudnya bisa jadi supaya segar pikirannya, supaya segar kinerjanya, dan segar segala-galanya.

Secara manusiawi, ada istilah titik jenuh. Dimana bila seseorang menduduki posisi yang sama dalam waktu lama, melaksanakan tugas yang sama, dan bekerja dengan lingkungan yang sama mengalami stagnasi. Apa yang dikerjakan yang begitu-begitu saja lah.
Dalam kerangka yang sama, posisi atau jabatan yang terlalu lama bisa memunculkan dampak yang buruk. Seperti munculnya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Ada kecenderungan untuk bekerja dengan kelompoknya saja. Ini kemudian yang melahirkan abuse of power atau penyalahgunaan wewenang. Ada upaya untuk memperkaya diri sendiri. Ego merasa paling benar pun muncul.
Padahal, roda birokasi berputar cukup dinamis. Dimana ada ASN yang waktunya naik golongan dan pangkat. Disaat itu pula berarti waktunya mereka naik eselon. Jika eselon yang diatasnya enggan bergeser, jelas saja roda itu tidak berputar. Itulah kenapa Badan Kepegawaian Daerah (BKD), dituntut serius untuk memantau perkembangan golongan dan pangkat ASN, tujuannya supaya bila waktunya naik, si ASN bisa segera naik.
Itulah kenapa dikatakan jabatan hanya titipan. Namanya titipan, ya sewaktu-waktu bisa diambil. Tidak perlu dipertahankan mati-matian atau diperjuangkan sampai berdarah. Toh, cepat atau lambat, hari ini atau besok, akhirnya kita tidak lagi menjadi “pejabat”. Tidak perlu dibuat jabatan itu sebagai hal yang spektakuler.
Lagi-lagi, publik boleh kritis, boleh menyoroti kegaduhan soal jabatan yang terjadi di semua daerah. Salah satu yang cukup panas beberapa waktu ini di Kota Mataram dan Provinsi NTB. Untuk di Kota Mataram mutasi eselon II dan pergantian sekretaris daerah (Sekda) menjadi begitu fenomenal karena sampai menyeret legislatif terus berkomentar. Sementara untuk di Provinsi NTB pergantian Sekda saja, tidak gaduh. Cukup smooth, karena sudah memasuki masa pensiun.
Kalau sadar jabatan titipan, meski tidak menjabat, hidup jalan terus. Pengabdian berjalan tiada henti. Posisi ASN bukanlah pada jabatan yang diemban, tapi kepada sejauh mana manfaat yang diberikan pada masyarakat. Jadi kalau hari ini, sudah tidak jadi kepala dinas dan sekda lagi, anggap titipannya waktunya diambil.(*)

Thursday 19 November 2015

Tinggalkan Pola Angkut Buang Sampah



SAAT hujan kerap turun seperti ini, dengan mudah kita jumpai sampah berserakan saluran air. Sampah tersebut meluber hingga ke jalan raya. Ini masalah tahunan yang tidak kunjung usai. Sampah membuat pemandangan tidak elok. Sebagus apapun pembangunan kota, kalau masih banyak sampah, tidak enak dipandang.
Sampah yang masih berserakan ini, bukan berarti tidak diangkut pemerintah. Tidak semua sampah rumah tangga, bisa terangkut oleh pasukan kuning. Sampah yang tidak terangkut inilah kemudian yang bertebaran saat hujan. Dengan volume sampah yang tinggi, mustahil bisa terangkut semuanya. Selain keterbatasan armada, tenaga kebersihan tidak bisa menyapu hingga masuk ke lingkungan.
Salah satu contoh di Kota Mataram, dengan jumlah sampah sekitar 1.300 meter kubik lebih, hanya 80 persen lebih terangkut. Sisanya itu yang kemudian bertebaran. Dinas Kebersihan Kota Mataram tetap rajin membeli kendaraan baru setiap tahun. Sayang, begitu ada kendaraan baru datang, maka kendaraan yang lama harus diistirahatkan. Penambahan armada hanya berpola tambal sulam.
Gaya penanganan sampah banyak daerah di Indonesia memang masih konvensional. Angkut dan buang. Belum ada terobosan secara masif di masyarakat untuk penanganan sampah. Ada memang yang mengolah sampah organik menjadi pupuk. Beberapa kelompok pun membuat pengolahan sampah anorganik menjadi beragam kerajinan mulai tas, taplak meja, sampai beraneka model dompet. Sayang, pengolahan itu masih terbatas, baru pada tataran yang kecil.
Melihat tingginya pertumbuhan sampah rumah tangga, terutama di perkotaan. Pola angkut buang sudah ketinggalan zaman atau kuno. Meski anggaran pengelolaan sampah terus ditambah setiap tahun, tetap selalu kurang. Tidak tepat juga bila urusan sampah menyedot anggaran besar. Masih banyak sektor lain seperti pendidikan dan kesehatan yang lebih penting butuh anggaran.
Menggerakkan masyarakat dalam pengelolaan sampah, menjadi langkah maju. Sampah dipandang sebagai barang berharga. Mengolahnya menjadi produk bermanfaat. Tentu saja bisa menghasilkan uang. Orientasi menggerakkan sektor ini berlum berjalan terpadu. Pergerakan pengelolaan sampah masih parsial. Kalaupun terjadi hanya karena ada anggaran. Setelah anggaran habis, tuntas pula pengelolaan sampah.
Jauh lebih besar manfaatnya bila sampah tidak begitu saja dibuang, diolah secara berkelanjutan. Bukan dalam lingkup besar berupa kelompok. Sampah dikelola dari bagian terkecil yaitu rumah tangga. Sampah organik sisa makanan dikelola menjadi pupuk yang bermanfaat untuk tanaman. Sedangkan anorganik dimanfaatkan untuk beragam keperluan rumah tangga. Bila ada ratusan rumah tangga di perkotaan menerapkan ini, akan luar biasa. Ini bukan hal mustahil.(*)

Tuesday 17 November 2015

Agama Jadi Komoditi Lagi



DUNIA guncang dengan aksi brutal di Paris, Prancis. Perhatian tercurah karena aksi pengeboman dan penembakan menewaskan ratusan orang. Terjadi tragedi kemanusiaan. Aksi tersebut dituding merupakan balasan atas meninggalnya tokoh ISIS, organisasi yang selalu dikait-kaitkan dengan islam. Kejadian di Paris memang memilukan. Tapi, menjadi tidak tepat saat kejadian tersebut dikait-kaitkan dengan agama.
Pemeritaan internasional yang beredar memang bikin begidik. Bagaimana dalam  satu negeri teror berlangsung beruntun. Amunisi yang digunakan mulai dari bom sampai senapan AK-47. Sasarannya tempat keramaian mulai kawasan sekitar stadion sampai gedung musik. Ini yang membuat jumlah korban jiwa baik yang meninggal maupun luka-luka cukup banyak.
Aksi teror selalu disematkan dengan islam. Bila ada kejadian yang merenggut nyawa, maka disebut islam tengah “berjihad”. Padahal islam tidak pernah mengajarkan kekerasan dengan jihad. Ada banyak kategori untuk berjihad. Jihad tidak bisa dimaknai dengan pikiran sendiri.
Kembali pada kejadian Paris, lagi-lagi dunia memberi sorotan terhadap islam. Pemberitaan internasional pun seolah membangun stigma, bahwa kekerasan adalah islam. Tragedi yang membuat semua negara mengutuknya. Informasi seolah digiling begitu hebat dan masif, dengan menyebut sebelum aksi pelaku teror sempat mengumandangkan takbir.  
Jika berkaca pada tragedi di Prancis, agama sedang menjadi komoditi internasional. Dibangun citra mereka yang beragama tidak selalu baik. Tentu saja, soal komoditi agama ini tidak hanya menyasar islam semata, namun semua agama. Isu soal agama dianggap sesuatu yang seksi.
Sesungguhnya tidak ada satupun agama yang mengajarkan kekerasan. Agama hadir untuk memberi kedamaian. Mereka yang beragama memiliki toleransi. Agama mengajarkan menjadi manusia welas asih. Dari agama pula yang membawa manusia dari kegelapan menuju sisi terang. Agama sendiri adalah kebaikan untuk semua pemeluknya.(*)

Mengejar Janji Presiden untuk NTB



PROGRAM-program yang dijanjikan oleh pusat bagi NTB, tidak terealisasi. Salah satunya janji Presiden Jokowi memberikan suntikan untuk Mandalika Rp 1,8  triliun. Tidak itu saja, sejumlah program strategis pun anggarannya gagal turun. Apa yang terjadi?
Kelemahan juru lobi NTB disebut sebagai salah satu penyebab. Program yang sudah dijanjikan pusat, tidak bisa turun begitu saja. Janji itu perlu dikawal. Janji itu harus ditagih. Bila tidak, janji hanya sebatas janji. Disaat daerah lain mendapat suntikan dana besar dari pusat, maka di NTB gigit jari.
Kegagalan ini sempat direspon oleh wakil rakyat NTB. Mereka menyebut, wakil NTB di pusat tidak memiliki gairah mengawal program untuk NTB. Wakil NTB pun dituding kurang memperhatikan daerahnya. Tentu saja, komen ini segera mendapat respon dari wakil rakyat NTB di pusat. Menurut mereka, salah bila dikatakan tidak mengawal program asal NTB. Justru sebagai wakil rakyat asal NTB, yang patut diperjuangkan adalah masyarakat NTB. Budaya saling menyalahkan terjadi di antara wakil rakyat. Wakil yang dipilih oleh rakyat itu bukannya mencari solusi, malah sibuk menyalahkan. Sudah tidak zamannya saling tunjuk.
Bila melihat wakil rakyat NTB di pusat, cukup memiliki peran besar. Sebut saja Prof Farouk Muhammad yang merupakan Wakil DPD RI, belum lagi nama H Rachmat Hidayat yang berasal dari partai penguasa yaitu PDI Perjuangan. Yang jelas, wakil rakyat dari NTB lainnya baik di DPD dan DPR RI, ukan kacangan. Mereka sudah lama terjun di dunia politik maupun pemerintahan. Sudah hafal, seperti apa cara pusat supaya bisa menggelontorkan dana ke daerah.
Ketimbang debat kusir dan saling menyalahkan, wakil rakyat baik di provinsi maupun pusat, segera duduk bersama. Mencari solusi terbaik supaya program pusat bisa mengucur ke NTB. Karena dari program itu, ikut memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi NTB. Karena tidak menutup kemungkinan wakil rakyat di daerah, kurang aktif berkomunikasi. Banyak yang sibuk dengan urusan golongan atau kelompoknya. Lupa tugas awalnya.
Selain wakil rakyat, tentu pemerintah provinsi juga harus lebih tanggap. Harus lebih rajin untuk menunjukkan program ke pusat. Membeberkan persoalan yang masih terjadi di daerah. Percuma kalau hanya sekadar komplain dan protes di daerah. Pusat tidak mendengar jelas. Satu-satunya jalan supaya pusat mendengar dengan jelas adalah mengejarnya di Jakarta.(*)