This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Wednesday 9 November 2016

Pariwisata NTB: Antara Sengketa Lahan dan Maraknya Illegal Logging

Peluang Ekowisata di Provinsi NTB





Menuju Tiga Juta Wisatawan
Pariwisata NTB sedang dipuji. Provinsi NTB dianugerahi pesona wisata luar biasa. Destinasi wisata baik di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa seabrek. Keindahan spot wisata yang sudah kesohor terjaga cukup baik. Katakanlah di Pulau Lombok seperti Gili Trawangan, Pantai Senggigi, Pantai Kuta, Pantai Pink, Air Terjun Sendang Gila. Ikon utamanya tentu saja Gunung Rinjani. Sedangkan di Pulau Sumbawa ada Pulau Moyo, Pulau Satonda, Pantai Lakey, maupun Gunung Tambora. Layak bila dikatakan NTB sebagai surga kecil di muka bumi. Dalam kendali Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi pertumbuhan kunjungan pariwisata ke NTB meningkat cukup cepat. Diawal pemerintahan gubernur dua periode ini atau tepatnya tahun 2008 kunjungan wisatawan 544.501 orang. Meningkat pada 2015 menjadi 2.210.527. Lompatan yang cukup pesat. Lompatan yang terjadi tentu tak bisa dilepaskan dari keseriusan pemerintah mengurus pariwisata.


Kiblat pariwisata Indonesia masih ada di Bali. Pulau Lombok pun perlahan menjadi kiblat baru pariwisata. Kementerian Pariwisata Indonesia memberikan perhatian serius. Baik dalam bentuk dukungan anggaran ataupun kebijakan promosi. Bicara NTB, khususnya Pulau Lombok seperti melihat Bali beberapa puluh tahun silam. Perlahan namun pasti, pariwisata menjadi urat nadi utama di Pulau Dewata. Bagaimana dengan di NTB? Sebagai warga yang tinggal dan bekerja di NTB, perubahan itu terlihat nyata. Sektor infrastruktur pendukung pariwisata terus dibenahi. Mulai dari kondisi destinasi sampai akses pariwisata. Termasuk sokongan kegiatan atau event pariwisata berkala yang rajin digelar. Pada ruang yang lebih luas, sektor jasa perdagangan mendapat berkah. Jumlah hotel terus bertambah. Travel agen semakin menyebar. Rumah makan dan kafe-kafe bertebaran. Efek domino dari perkembangan pariwisata. Tingkat kunjungan pariwisata NTB ditarget Kementerian Pariwisata Indonesia menyentuh 3 juta kunjungan pada 2016. Target pusat itu diaminkan oleh Gubernur TGH M Zainul Majdi. Bukan hanya wisata konvensional semata. NTB berani membangun brand baru untuk menarik wisatawan dari Timur Tengah. Yaitu wisata halal. Tahun lalu Lombok jadi salah satu pemenang World Halal Travel Awards 2015 di Abu Dhabi, UEA. Sejak menang penghargaan, kunjungan turis Timur Tengah pun meningkat. Pencapaian tersebut di-follow up dengan penyediaan tempat-tempat wisata halal Meminjam istilah TGH M Zainul Majdi, wisata halal adalah menambah segmen baru dalam pariwisata. Indonesia belum pernah serius, NTB siap menjadi provinsi pertama membangun wisata halal. Wisatawan muslim lebih nyaman ketika berwisata. Restoran mendapat sertifikasi halal. Guide rapi dan mulia. Dan menjadi orang jujur.  (Gubernur NTB di Mata Najwa)
Tahun ini pun Dinas Pariwisata NTB berjuang untuk meraih penghargaan halal tingkat nasional. Hasilnya ada empat penghargaan wisata halal yang diraih NTB. Diantaranya Novotel Lombok Resort & Villas,   Lombok Tengah  NTB   (Resort Ramah Wisatawan Muslim Terbaik). Ero Tour  Sumbar ( Biro Perjalanan Wisata Halal Terbaik). Wonderful Lombok Sumbawa (www.wonderfullomboksumbawa.com), NTB (Website Travel Ramah Wisatawan Muslim Terbaik). Kawasan Lembah Sembalun, Lombok Timur NTB (Destinasi Bulan Madu Ramah Wisatawan Muslim Terbaik). 
Setiap pencapaian tak selalu sempurna. Ada kendala yang mengganjal. Ditengah geliat pariwisata Provinsi NTB ada dua hal yang kerap menjadi persoalan. Pertama, sengketa lahan pariwisata. Kedua, soal illegal logging (perusakan hutan). Kedua persoalan ini terlihat berbeda, namun sesungguhnya memiliki pertalian darah. Dua hal ini yang sepanjang Oktober menjadi pembahasan serius. Pemberitaan di media massa silih berganti soal sengketa lahan dan illegal logging. Dua masalah yang sebenarnya sudah terjadi cukup lama. Namun setiap tahun berulang-ulang terjadi lagi. Baik dengan lokus yang sama maupun di lokasi berbeda. Sengketa lahan dan illegal logging dua masalah yang berkelindan, dengan efek domino sangat luas. Melibatkan pemerintah, aparat, dan masyarakat. Implikasi kedua hal ini juga memberi manfaat bagi pariwisata bila stakeholder terkait, utamanya Pemerintah Provinsi NTB mau serius mengurai.

Sengketa Lahan Ancaman Pariwisata

Dalam membangun pariwisata, pemerintah NTB tak bisa berjalan sendiri. Butuh pemodal. Investor inilah yang menjadi pelumas pembangunan pariwisata. Mereka hadir membangun hotel, resort, villa, restoran, maupun kafe. Pemodal memang telah membuka lapangan pekerjaan baru. Mengentaskan pengangguran. Membangkitkan ekonomi daerah. Tapi, belum semua pemodal memiliki kepedulian seperti itu.  Masih dijumpai pemodal yang mementingkan urusan pribadinya. Hal ini kemudian yang memicu beragam gesekan di tempat wisata. Muncul riak-riak pertikaian antara pemodal dengan warga. Tanah pariwisata yang “manis” itu kerap menjadi sumber pertikaian.


Mengenai kebijakan yang salah dalam hal pertanahan dalam beberapa hal diatas Dosen Universitas Mataram Profesor Zainal Asikin menyampaikan masukannya dalam jurnal dinamika hukum. Tulisan dengan judul,” Penyelesaian Konflik Pertanahan Pada Kawasan Pariwisata Lombok (Studi Kasus Tanah Telantar di Gili Trawangan) yang diterbitkan 2014 silam. Dan apa yang terjadi di Gili Trawangan nyatanya terjadi pula di kawasan lain di Pulau Lombok maupun Pulau Sumbawa.  Dalam tulisan ini mengambil beberapa konflik agrarian yang menyedot perhatian:

-Konflik Gili Trawangan

(Gili Trawangan, Lombok Utara)
Siapa tidak kenal Gili Trawangan di Lombok Utara. Pesonanya luar biasa. Nama pulau ini tidak hanya terkenal di nasional. Gili Trawangan ikut menyedot perhatian dunia internasional. Investor berduyun-duyun mengambil bagian tanah di Gili Trawangan. Di gili menawarkan pantai yang indah. Bebas polusi, karena tidak ada kendaraan bermotor. Lainnya bisa menyaksikan penangkaran penyu. Keistimewaan pulau ini membuat wisatawan asing terpikat. Tidak hanya langsung datang melalui Lombok. Banyak wisatawan asing berangkat dari Bali. Ada fast boat atau kapal cepat yang disiapkan travel and tour dari Bali ke Gili Trawangan. Pemodal kakap membangun hotel, villa, resort, restoran, dan kafe di gili. Mereka melihat potensi uang yang besar. Bak api dalam sekam, dalam pertumbuhan geliat pariwisata gesekan antara warga dengan pemodal pariwisata tidak kunjung reda. Persoalan pertanahan terus saja terjadi. Beberapa kali antara pemilik usaha dengan warga setempat terlibat perseteruan. Kasus hukum pun terjadi. (Sengketa Gili Trawangan)

-Konflik Mandalika Resort

(Pantai Tanjung Aan bagian dari Mandalika Resort)
Lahan Mandalika Resort di Lombok Tengah. Lahan ini digarap oleh PT Pengembangan Pariwisata Indonesia (Persero) atau PT Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC). Bila berkunjung kesana, pesona pantai menjadi tawaran menggiurkan. Pemerintah pusat sudah menetapkan Mandalika sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 tahun 2014. Dalam beberapa kali kedatangan Presiden Joko Widodo ke NTB di tahun 2015, Gubernur NTB selalu mengingatkan soal tindaklanjut dari pengelolaan Mandalika Resort. Di lahan Mandalika masih terkendala sengketa lahan. Dari 1.245 hektare lahan yang direncanakan, hanya 1.035 hektare yang sudah dalam status clear and clean. Sisanya seluas 135 hektare, masih diklaim milik masyarakat. Kemudian 54,5 hektare masih belum dibebaskan, dan 19,6 hektare merupakan lahan bermasalah dan bersengketa di pengadilan. Kecantikan Mandalika dengan beberapa pantainya seperti Kuta, Serenting, Aan Beach, dan Gerupuk Beach sudah dilirik investor yakni MNC dan Gobel internasional. Mereka menyatakan komitmen untuk bermitra dengan ITDC. Sederet operator hotel ternama dunia juga bersedia mengelola hotel di kawasan ini, antara lain Intercontinental, Club Med, dan Marriot. Program pengembangan Mandalika Resort oleh pemerintah pusat tak bakal berjalan lancar, manakala sengketa lahan masih saja jadi kendala.(Protes lahan Mandalika Resort)
  
K   -Konflik Hutan Sekaroh

(Pantai Pink di Lombok Timur)
Tahu dimana lokasi pantai dengan pasir berwarna pink? Datang saja ke Pulau Lombok tepatnya di Lombok Timur. Di Desa Sekaroh, Kecamatan Jerowaru ada pantai yang elok. Pantai langka berpasir pink itu oleh warga sekitar dahulu dikenal dengan Pantai Tangsi. Bukan hanya Pantai Tangsi, ketika bertandang ke kawasan ini beberapa ratus meter, bisa menikmati pesona Tanjung Ringgit. Tanjung yang langsung menghampar ke Samudera Hindia. Peninggalan sejarah seperti meriam dan gua Jepang bisa didapati. Panorama yang ditawarkan cukup lengkap. Ketika pertama kali datang ke kawasan ini 2012 silam, kondisinya masih memprihatinkan. Jalur menuju pantai rusak. Sekarang kondisinya sudah berbeda, jalur menuju pantai sudah lebih baik. Begitu menjadi atensi banyak pihak, Pemerintah NTB langsung memberikan perhatian. Sebelum tiba di Pantai Pink, pengunjung akan melalui Hutan Sekaroh. Hutan luas yang dahulu mendapat perhatian dari pemerintah Jepang. Sekarang sengketa lahan terjadi disana. Hutan Lindung Sekaroh sejak 2014. Ada temuan sertifikat hak milik (SHM). Tanah-tanah tersebut terbit sekitar tahun 2001 hingga 2002. Padahal kawasan hutan Sekaroh sudah dikukuhkan sebagai hutan lindung sejak tahun 1982. (Tanah Hutan Sekaroh Bersertifikat)
Selain tiga konflik agraria yang menyasar sektor pariwisata diatas. Masih banyak lagi konflik agraria lahan-lahan wisata yang terjadi di kabupaten/kota di NTB. Potensi konflik itu akan terus muncul. Selain masalah sengketa tanah “manis” yang lama itu, kasus baru kemungkinan besar bakal terus terjadi. Ada beberapa faktor penyebab konflik petanahan itu terjadi menurut Prof Zainal Asikin. Pertama, karena kebijakan yang keliru dalam bidang pertanahan. Seperti di Gili Trawangan pemberian hak guna usaha (HGU) ke ada anak pejabat. Hal ini kemudian yang membuat tanah HGU terlantar. Setelah tanah terlantar ada tindakan spekulatif terhadap tanah itu. Tanah pariwisata tidak dikelola secara efektif. Kedua, pemerintah daerah dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai institusi yang menerbitkan sertifikat tanah. Tindakan hukum dan penyelesaian tanah terlantar tidak dilakukan secara tegas. Ketiga, terjadi kecemburuan sosial. Pemberian HGU bernuansa kolusi dan nepotisme karena hanya menyasar anak-anak pejabat dan pengusaha tertentu. Masyarakat merasa diabaikan. Keempat, kurang bertanggungjawabnya pemegang HGU melaksanakan kewajiban-kewajibannya mengelola tanah tersebut. Pemegang HGU malah mengalihkan ke orang lain. Kelima, tidak jelasnya perlindungan hukum yang diberikan kepada rakyat yang sudah turun-temurun menggarap lahan. Pemerintah tidak mengakomodir masyarakat yang sudah menggarap memperoleh hak atas tanah. Keenam, disaat suhu konflik pertanahan kian menguat, aparat sering berada di kubu pengusaha.
 


Maraknya Illegal Logging

Indonesia mendapat anugerah luar biasa dari Tuhan dalam hal vegetasi. Hutan di Indonesia sampai dikatakan sebagai paru-paru dunia. Yang terjadi setiap tahun hutan-hutan ini dibabat. Lahan dengan pohon tinggi menjulang diubah menjadi kebun-kebun luas. Ditambah lagi rendahnya kesadaran masyarakat. Dengan mudah mereka menebang pohon untuk diambil kayunya. Pohon yang butuh waktu puluhan tahun untuk tumbuh, lenyap dalam beberapa jam dengan gergaji-gergaji liar pembalak. Betapa kita tidak menyadari sedang bermain api. Sekarang dada kita boleh membusung karena luasnya hutan. Cerita mengerikan kemakmuran berujung nestapa berulang kali terjadi di belahan bumi. Di NTB vegetasi-vegetasi itu digerogoti secara liar. Beragam sebab membuat kayu-kayu itu dilibas. Kondisinya semakin memprihatinkan. Pemerintah sudah berbuat, aparat sudah bertindak, masyarakat sudah ikut membantu, lalu apa lagi? Komitmen. Jelas ini persoalan serius. Bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah semata. Aparat penegak hukum dan masyarakat harus peduli dengan hal ini.(Kondisi Hutan di NTB)
Sebagai studi kasus yang terjadi di Lembah Sempaga, Lombok Barat. Hutan Kemasyarakatan (HKM) dan Taman Hutan Raya (Tahura) Nuraksa di Narmada tidak hanya menyajikan buah-buahan, kayu juga tumbuh subur diatas lahan ratusan hektar itu. Sayangnya, kayu yang menjadi sumber mata air sering dicuri. Kayu dengan usia puluhan tahun itu ditebang sesaat. Untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sementara. Hutan berperan sebagai penjaga ekosistem, penyangga udara, dan penampung air. Kemudian karena keuntungan pribadi, pembalak liar ini merusak masa depan lingkungan. Dalam beberapa cerita yang penulis dapatkan, penebangan kerap kali dilakukan oleh orang dari luar daerah. Warga setempat menjadi penunjuk jalan untuk penebangan liar. Parahnya setelah pohon itu tumbang tidak dilakukan penanaman ulang. Lahan bekas pohon beralih fungsi menjadi ladang atau kebun. Pohon kayu berganti pisang dan singkong.
Prof Jared Diamond dalam bukunya berjudul Collapse (Runtuhnya Peradaban-peradapan Dunia) menjadi rujukan. Orang-orang Nors di daratan Eropa beruntung menemukan bentang alam yang tidak pernah ditebangi, atau digunduli ternak. Iklim sedang relatif lembut. Semua keunggulan awal itu pada akhirnya merugikan Nors. Penyebabnya mereka sendiri. Nors tanah hijau merusak lingkungannya dengan tiga cara, menghancurkan vegetasi alam, menyebabkan erosi tanah, dan mengambili tanah rerumputan. Begitu tiba, mereka membakar daerah pepohonan untuk membuka padang penggembalaan, kemudian menebang sebagian pohon yang tersisa untuk bahan bangunan dan kayu bakar. Pohon tidak bisa beregenerasi karena disantap dan diinjak  ternak, terutama pada musim dingin, ketika tumbuhan paling rentan tidak sedang tumbuh. Penelitian Profesor Geografi dan Ilmu Kesehatan Lingkungan di University of California ini cukup menarik dikulik. Dan tentu saja, diambil manfaat untuk di terapkan di Indonesia khususnya di Provinsi NTB. 
“Bangsa Nors tanah hijau merusak lingkungannya dengan tiga cara, menghancurkan vegetasi alam, menyebabkan erosi tanah, dan mengambili tanah rerumputan” Jared Diamond
 
Potensi Kembangkan Ekowisata

Wisata hutan di NTB sangat layak untuk dikembangkan. Ada manfaat yang begitu luas ketika hutan tersebut terjaga dengan baik. Kearifan lokal masyarakat terpelihara. Alam terjaga. Dan tentu saja ekosistem diberkahi. Ada banyak potensi wisata hutan. Dalam tulisan ini menjabarkan beberapa titik. Gagasan soal memaksimalkan potensi wisata hutan ini sudah tercetus cukup lama. Ketika penulis bersama seorang Dosen Kehutanan Universitas Mataram Indriyatno bertandang ke Perbukitan Pelolat, Desa Batulayar, Kecamatan Batulayar. Desa di puncak bukit ini masih memiliki tutupan lahan. Pepohonan tumbuh menjulang. Suasananya masih cukup asri. Mata pencarian masyarakat budidaya lebah madu, anyam ketak (kerajinan), dan menyadap aren untuk membuat gula merah. Kawasan ini patut mendapat perhatian serius. Alasannya, jaraknya hanya selemparan batu dengan kawasan wisata Senggigi, Lombok. Cukup mudah untuk menarik minat kunjungan wisatawan. Dengan catatan ada intervensi dan konsep dari pemerintah. Termasuk menggandeng pelaku pariwisata di Senggigi untuk ikut terlibat. Turis yang datang bisa diajak berkeliling ke dalam hutan. Wisatawan asing cukup gemar dengan hal-hal yang berbau natural. 
Tidak banyak yang tahu proses madu terjadi. Wisatawan bisa diajak turun langsung melihat prosesnya. Jenis lebah, cara budidaya, sampai cara menghasilkan madu bisa diketahui. Warga kawasan ini sudah banyak yang tertarik mengembangkan lebah madu. Potensi menjaga keberlangsungan panen madu bisa dilakukan. Tidak hanya di sekitar rumah, peternakan lebah madu dilakukan hingga di tengah hutan.
Anyaman ketak. Rerumputan bahan untuk anyaman bisa tumbuh di kawasan ini. Jenisnya memang sedikit berbeda dibanding kawasan lain di Pulau Lombok. Lebih kecil. Ketak bisa dianyam menjadi beragam barang. Mulai topi, tas, sampai keranjang, dan berbagai kerajinan lainnya. Anyaman ketak di beberapa wilayah yang sudah lebih dahulu ada, diminati wisatawan. Tidak biasa di kawasan hutan, wisatawan bisa langsung melihat lokasi budidaya.
Suka gula merah? di Perbukitan Pelolat mata anda bisa langsung menyaksikan prosesnya. Ibu rumah tangga lihai memainkan tangannya mengaduk-aduk air nira menjadi gula. Pohon aren di kawasan ini cukup banyak. Ingin melihat proses penyadapan aren, pengolahan nira, dan pembuatan gula semuanya bisa dirasakan.
Tiga contoh diatas hanya satu lokus yang terjadi di Perbukitan Pelolat. Setiap daerah dengan tutupan vegetasi lebat lainnya di NTB masih mudah untuk dijumpai. Tinggal merancang kearifan lokal beserta kebiasaan masyarakat setempat untuk menjadi hal yang menarik. Menurut Indriyatno konsep ini dinamakan sebagai ekowisata. Dimana bentuk wisata yang bertanggungjawab terhadap kelestarian area yang masih alami (natural aren), memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budava bagi masyarakat setempat. Atas dasar pengertian ini, bentuk ekowisata pada dasarnya merupakan bentuk wisata alam.
"Ekonomi masyarakat bergulir dan alam bisa terjaga. Hal negatif seperti perusakan hutan bisa dihindari, itu tujuan ekowisata," katanya.


Ekowisata Menguntungkan Semua Pihak

Melihat konsep ekowisata diatas, tak boleh dipandang remeh. Provinsi NTB harus memandang konsep ini sebagai peluang. Intervensi ekowisata ini memang tak melulu tanggung jawab Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar). Ekowisata juga bagian dari kendali Dinas Kehutanan NTB. Pembangunan fasilitas wisata di Aik Nyet Sesaot (Kabupaten Lombok Barat) salah satu sasaran penataan destinasi. Lokasi ini berada Hutan Kemasyarakatan (Hkm) Sesaot. (Penataan Aik Nyet)
Penataan oleh Pemerintah Provinsi NTB terbukti membawa dampak cukup bagi desa, lingkungan maupun masyarakat. Beberapa hari lalu penulis bertandang kesana, luar biasa ramai dan padat. Perubahan terlihat nyata di fasilitas yang ada di Hutan Sesaot. Begitu tiba di lokasi parkir, kendaraan sudah membanjir. Beberapa kali datang kesini, baru sekarang terlihat begitu ramai. Sebelumnya, ketika tiba di tempat ini harus melalui jalan-jalan terjal. Sekarang sudah ada tangga kayu. Melewati lebatnya vegetasi di hutan ada jalur disiapkan. Pengunjung yang datang dari kota, tentu merindukan suasana ini. Ditengah lebatnya hutan kesejukan terasa. Ditengah hutan pengunjung disambut ayunan. Sama seperti tangga kayu dan jalur ditengah hutan, ayunan wisata alam ini juga baru baru dibangun. Beranjak dari sana pengunjung akan disambut mata air jernih. Suasana sekitarnya sudah berubah. Berugak tertata rapi. Disiapkan pula tempat duduk pengunjung. Jumlah pedagang di sekitar mata air meningkat drastis. Dahulu di sekitar mata air jumlah pedagang sedikit. Selain itu, di sekitar mata air sudah dibangun lebih bagus. Mata air ini memancar deras karena vegetasi dijaga  oleh warganya. Penulis pernah membuat tulisan soal kecintaan warga sekitar pada Hutan Sesaot.(Warga Mencintai Hutan Sesaot)

Sudirman pedagang setempat cukup gembira dengan peningkatan pengunjung di Hutan Sesaot. Pria asal Lingsar, Lombok Barat ini mengakui dampak nyata dari penataan destinasi wisata. Pertumbuhan jumlah kunjungan diikuti pula oleh jumlah pedagang.
“Dahulu disekitar sini (mata air) sedikit pedagang. Sekarang banyak sekali,” katanya.
Disebutkan, sebelum penataan sekitar Aik Nyet rerata pendapatan sehari berjualan saat ramai sekitar Rp 300 ribu. Sekarang setelah ada perbaikan, ketika ramai pendapatan berjualan naik sampai dua kali lipat. Peningkatan itu karena memang jumlah pengunjungnya meningkat jauh. Rombongan wisata dari luar daerah semakin menggemari keasrian Aik Nyet. Dahulu yang datang berwisata lebih banyak dari kalangan anak muda.
“Mereka senang sekali. Sekarang kondisinya bagus sekali kata mereka,” sambungnya.
Ditambahkan, dampak penataan di dalam hutan dari kabar yang diterima akan kembali berlanjut di tahun 2017. Diyakini bila fasilitas dalam hutan terus diperhatikan dan ditambah, jumlah pengunjung pariwisata bisa lebih banyak lagi.
“Kita yang pedagang senang mas,” ucapnya.
Pedagang lainnya,  Inaq Minah menyebut hutan sudah memberi warga kehidupan sejak lama. Kehidupan yang dimaksud bukan hanya soal berdagang. Ia yang kebetulan warga Desa Buwun Sejati, desa sekitar hutan merasa banyak menerima manfaat dari adanya hutan. Selain mendapat manfaat tumbuhan dari sekitar hutan, pohon yang terjaga dengan baik memberikan air jernih yang mengalir terus.
“Kalau di Lembah Sempaga (Tahura Nuraksa) itu sudah habis, kami warga tidak mau itu terjadi,” ceritanya.

Hal ini yang membuat warga lingkar hutan, mencintai hutan. Ketika ada orang luar masuk ke dalam hutan mereka akan tanyakan. Bahkan, ada pohon tumbang saja warga langsung keluar hutan untuk meninjau.
“Kita (warga) tidak mau kecolongan, ada yang mencuri pohon,” sambungnya.
Bagi desa kemajuan pariwisata di Aik Nyet ikut dirasakan. Ketika masuk ke hutan ada sumbangan ke desa. Pengunjung yang ingin masuk hutan membayar Rp 3 ribu. Pemasukan uang dari pengunjung dibagi untuk desa, untuk tempat ibadah, dan urusan kepemudaan.


Lahan Beres, Ileggal Logging Terhenti

Persoalan sengketa agraria yang terjadi di NTB tidak boleh dibiarkan terlalu berlarut-larut. Pemerintah daerah harus menyegerakan tindakan nyata. Pemerintah kabupaten/kota yang ada di depan lebih intensif diajak komunikasi. Persoalan sengketa agraria ini seperti bom waktu dengan ledakan berulang. Kajian dan analisa dari berbagai pihak hendaknya menjadi pertimbangan matang. Persoalan sengketa lahan pariwisata saat ini adalah masalah lama yang terus berulang.
Untuk di Gili Trawangan ada dua saran dari Prof Zainal Asikin. Pertama, apabila masyarakat yang telah bertahun tahun menempati lokasi tanah tersebut diberikan kepastian hak untuk mengelola lahan tersebut sehingga memenuhi prinsip kesejahteraan(wefare), keadilan (equity), pemanfaatan secara optimal (efficiency) dan keberlanjutan (sustainability). Kedua, pemilihan badan usaha yang akandiberikan HGU maupun HGB oleh pemerintah pada tanah tanah pariwisata harus dilakukan secara selektif dan transparan oleh
Hal ini juga bisa diberlakukan di Mandalika Resort. Sampai saat ini pembicaraan dengan masyarakat terus dilakukan. Menempatkan kedudukan yang sama bagi pemilik lahan. Mengutamakan investasi namun tidak membiarkan masyarakat tersakiti. Menempatkan kedudukan yang sama bagi pemilik lahan. Mengutamakan investasi namun tidak membiarkan masyarakat tersakiti. Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah akan terlibat dalam proses pengukuran lahan ulang. Dengan begitu masyarakat tidak lagi protes dengan pengembangan Mandalika Resort.(Lahan Diukur Ulang)
Mengenai Hutan Sekaroh sendiri, tidak serumit di Gili Trawangan dan Mandalika Resort. Sudah jelas ada pelanggaran terjadi di kawasan hutan. Ombudsman NTB sudah meminta untuk pembatalan sertifikat yang telah diterbitkan. Dasarnya jelas, hutan Sekaroh dikukuhkan menjadi hutan tahun 1982 dan berita acara tata batas kawasan hutan 1994, namun sertifikat tetap terbit meski sudah ditetapkan menjadi hutan lindung. (Sertifikat Lahan Hutan Dicabut)
Selain hal-hal tersebut, komunikasi massif mengenai pariwisata perlu lebih ditingkatkan kepada masyarakat. Pariwisata yang melaju pesat, belum diimbangi pola piker masyarakat. Rasa memiliki itu tumbuh bila masyarakat sering digandeng dan diberi pandangan mengenai dunia pariwisata. Tidak semua warga memang yang belum melek pariwisata. Jumlahnya memang tidak sebanyak yang sudah paham tentang pariwisata. Menggaungkan Sapta Pesona Pariwisata. Yaitu keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan, dan kenangan. Pendampingan pada warga yang abai pada pariwisata ini harus dilakukan. meski upaya tersebut tidak berjalan dengan baik, pemerintah tidak boleh kalah.
Bukan hanya pemerintah saja, pemodal atau pengusaha harus didorong oleh pemerintah daerah lebih banyak melakukan pembicaraan dari hati ke hati dengan warga. Utamanya warga yang ada di lingkar pariwisata. Secara psikologis tentu ada masalah, ketika dalam geliat pariwisata yang tumbuh ada disparitas sosial. Di lingkar pariwisata masih didapati keluarga miskin, pendidikan rendah, dan pengangguran. Alokasi dana corporate social responsibility (CSR) untuk warga lingkar pariwisata harus diutamakan.

Maraknya illegal logging yang terjadi di Provinsi NTB menjadi atensi dari semua pihak. Kesadaran menjaga lingkungan ditumbuhkan bersama. Salah satu pendekatan yang dilakukan seperti yang terjadi di Hutan Sesaot, nyatanya memiliki bukti yang jelas. Membawa manfaat bagi warga setempat, hutan terjaga dengan baik. Malah warga sekitar hutan menjadi pelindung terdepan. Nyatanya ekowisata bisa menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang tetap mendukung sistem kehidupan. Melindungi keanekaragaman hayati. Menjamin kelestarian dan pemanfaatan spesies dan ekosistemnya. Potensi ekowisata di NTB belum tergarap maksimal.Bila diperhatikan serius, ekowisata pun akan menjadi salah satu sumber destinasi wisata. Semoga pemerintah pusat serius memikirkan soal sengketa lahan dan illegal logging. Kemajuan pariwisata di NTB bakal terhambat ketika persoalan yang ada diabaikan atau dianggap tak ada.
“Kesuksesan pariwisata terbesar adalah ketika Pemerintah, pemodal, masyarakat, dan Alam bisa bergandengan tangan”