Tidak banyak
generasi muda yang gemar dengan seni budaya tradisional. Mereka lebih tertarik
dengan seni modern. Sanggar Kalanguan berupaya terus menjaga seni budaya untuk
generasi muda.
MATAHARI mulai menggelincir
ke peraduan. Arus di sekitaran perempatan Gunung Sari cukup padat. Maklum,
drainase jalan menuju Tanjung itu tengah diperbaiki. Jalur semakin sempit dan
kendaraan berjubel. Sekitar 10 meter sebelum perempatan Gunung Sari, ada gang
kecil ke timur. Rumah di dalam gang itu dari banyak cerita kerap menjadi lokasi
anak muda belajar seni. Cerita itu benar. Saat bertandang kesana, ada beberapa
muda-mudi yang tengah menggunakan pakaian tradisional. Wajah mereka sudah
dirias. Sesekali diantara mereka bercanda. Seorang pria tampak sibuk memberi
aba-aba.
“Nanti dimulai
dengan Gendang Beleq ya,” katanya pada dua pemuda yang tengah menggendong
gendang.
Pria itu kemudian
bercakap-cakap dengan muda-mudi yang duduk dengan alat musik tradisional. Ia
memberi ketukan, Meminta pukulan gamelan ataupun gong meniru seperti suaranya.
“Nanti tang,
tung, tang, tung, tung,” ucapnya memberi contoh.
Pria yang diketahui
bernama Ketut Suparta itu langsung meminta latihan segera dimulai. Dua pemuda
bernama Jimmy dan Gede Gande langsung mengambil ancang-ancang. Alunan nada khas
Gendang Beleq pun dimulai. Iringan gamelan dan gong menyertai. Dua pemuda
terlihat begitu atraktif. Sesekali senyum mereka lemparkan. Mereka begitu
mahir. Tidak hanya diam menabuh. Gerakannya terus berubah. Tidak berselang lama
satu pemain berjongkok. Satu lainnya berdiri. Pergerakan tetap membuat alunan
music stabil. Latihan sekitar 10 menit dinilai cukup oleh Ketut Suparta.
Dua remaja dengan
kipas dipanggil ke arena. Mereka diminta menyiapkan diri. Pakaian khas tari
mereka kenakan lengkap. Senyum diumbar dua remaja bernama Winda dan Ayu.
“Langsung ya,”
pinta Ketut.
Dua remaja ini
sedang berlatih Tari Gandrung. Bola matanya sesekali bergerak cepat. Kipas di
tangan membuat gerakannya kian cantik.
Lenggak-lenggok tubuhnya gemulai. Sama seperti latihan Gendang Beleq, latihan
Tari Gandrung pun berlangsung sekitar 10 menit.
Ketut kembali
memanggil dua remaja yang juga memakai pakaian khas tari. Bedanya, dilengkapi
selendang panjang. Seorang ibu begitu telaten memberi pengerahan. Dua remaja
bernama Putu dan Lilis sedang berlatih Tarian Bala Anjani. Mereka langsung
diajar oleh Ni Made Yudi Aryati yang tidak lain istri Ketut Suparta. Gerakan
tarian ini sama gemulainya dengan Tari Gandrung. Tari Bala Anjani menjadi
penutup latihan di Sanggar Kalanguan. Ketut Suparta melempar senyum. Seolah
puas dengan penampilan anak didiknya.
“Selamat datang,
terima kasih sudah mampir kesini,” sapanya pada wartawan Lombok Post.
Pria 47 tahun ini
bercerita, sanggar sudah berdiri sejak 2006 silam. Mendirikan sanggar karena
kecintaannya pada seni budaya tradisional. Ia memiliki tanggung jawab besar
untuk melestarikannya.
“Ya, kebetulan
kakak saya juga seniman. Dahulu sama kakak saya mengembangkan kesenian ini,”
bebernya.
Dedikasi dosen STAH
Gde Pudja Mataram terhadap seni memang tidak tanggung-tanggung. Terbukti,
seperangkat alat musik tradisional dan seluruh pakaian kesenian dibeli dengan
uang pribadi. Lebih dari 10 tahun berdiri, belum pernah ada bantuan diterima.
“Ini karena rasa
kecintaan,” ucapnya.
Ketut menyebut,
memiliki perlengkapan seni memadai tidak cukup. Tugas selanjutnya adalah
bagaimana merangkul anak muda bergabung di sanggarnya. Tidak peduli apa suku
dan agamanya, selama mencintai seni akan dirangkul. Generasi muda ini yang
nanti akan menjaga warisan leluhur di masa mendatang.
“Anak sekarang suka
yang modern-modern. Makanya mereka perlu terus dikenalkan,” terangnya.
Tidak banyak
generasi muda yang gemar dengan seni budaya tradisional. Mereka lebih tertarik
dengan seni modern. Sanggar Kalanguan berupaya terus menjaga seni budaya untuk
generasi muda.
MATAHARI mulai menggelincir
ke peraduan. Arus di sekitaran perempatan Gunung Sari cukup padat. Maklum,
drainase jalan menuju Tanjung itu tengah diperbaiki. Jalur semakin sempit dan
kendaraan berjubel. Sekitar 10 meter sebelum perempatan Gunung Sari, ada gang
kecil ke timur. Rumah di dalam gang itu dari banyak cerita kerap menjadi lokasi
anak muda belajar seni. Cerita itu benar. Saat bertandang kesana, ada beberapa
muda-mudi yang tengah menggunakan pakaian tradisional. Wajah mereka sudah
dirias. Sesekali diantara mereka bercanda. Seorang pria tampak sibuk memberi
aba-aba.
“Nanti dimulai
dengan Gendang Beleq ya,” katanya pada dua pemuda yang tengah menggendong
gendang.
Pria itu kemudian
bercakap-cakap dengan muda-mudi yang duduk dengan alat musik tradisional. Ia
memberi ketukan, Meminta pukulan gamelan ataupun gong meniru seperti suaranya.
“Nanti tang,
tung, tang, tung, tung,” ucapnya memberi contoh.
Gendang Beleq
sebagai salah satu kesenian asli Pulau Lombok, lanjutnya, sekarang sudah mulai
digemari di Bali. Bahkan, dalam pagelaran nasional Gendang Beleq menjadi
pembuka acara. Mengherankan bila kesenian itu kurang terkenal di daerah
asalnya.
“Mereka yang saya
ajar disini tidak bayar. Yang penting mereka mau,” ucapnya.
“Saya selalu mengajarkan dalam seni jangan hanya
memikirkan uang,” tambahnya.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment