Saturday 19 September 2015

Cara Sanggar Kalanguan Menjaga Seni




Tidak banyak generasi muda yang gemar dengan seni budaya tradisional. Mereka lebih tertarik dengan seni modern. Sanggar Kalanguan berupaya terus menjaga seni budaya untuk generasi muda.

MATAHARI mulai menggelincir ke peraduan. Arus di sekitaran perempatan Gunung Sari cukup padat. Maklum, drainase jalan menuju Tanjung itu tengah diperbaiki. Jalur semakin sempit dan kendaraan berjubel. Sekitar 10 meter sebelum perempatan Gunung Sari, ada gang kecil ke timur. Rumah di dalam gang itu dari banyak cerita kerap menjadi lokasi anak muda belajar seni. Cerita itu benar. Saat bertandang kesana, ada beberapa muda-mudi yang tengah menggunakan pakaian tradisional. Wajah mereka sudah dirias. Sesekali diantara mereka bercanda. Seorang pria tampak sibuk memberi aba-aba.
“Nanti dimulai dengan Gendang Beleq ya,” katanya pada dua pemuda yang tengah menggendong gendang.
Pria itu kemudian bercakap-cakap dengan muda-mudi yang duduk dengan alat musik tradisional. Ia memberi ketukan, Meminta pukulan gamelan ataupun gong meniru seperti suaranya.
“Nanti tang, tung, tang, tung, tung,” ucapnya memberi contoh.

Pria yang diketahui bernama Ketut Suparta itu langsung meminta latihan segera dimulai. Dua pemuda bernama Jimmy dan Gede Gande langsung mengambil ancang-ancang. Alunan nada khas Gendang Beleq pun dimulai. Iringan gamelan dan gong menyertai. Dua pemuda terlihat begitu atraktif. Sesekali senyum mereka lemparkan. Mereka begitu mahir. Tidak hanya diam menabuh. Gerakannya terus berubah. Tidak berselang lama satu pemain berjongkok. Satu lainnya berdiri. Pergerakan tetap membuat alunan music stabil. Latihan sekitar 10 menit dinilai cukup oleh Ketut Suparta.
Dua remaja dengan kipas dipanggil ke arena. Mereka diminta menyiapkan diri. Pakaian khas tari mereka kenakan lengkap. Senyum diumbar dua remaja bernama Winda dan Ayu.
“Langsung ya,” pinta Ketut.
Dua remaja ini sedang berlatih Tari Gandrung. Bola matanya sesekali bergerak cepat. Kipas di tangan membuat  gerakannya kian cantik. Lenggak-lenggok tubuhnya gemulai. Sama seperti latihan Gendang Beleq, latihan Tari Gandrung pun berlangsung sekitar 10 menit.
Ketut kembali memanggil dua remaja yang juga memakai pakaian khas tari. Bedanya, dilengkapi selendang panjang. Seorang ibu begitu telaten memberi pengerahan. Dua remaja bernama Putu dan Lilis sedang berlatih Tarian Bala Anjani. Mereka langsung diajar oleh Ni Made Yudi Aryati yang tidak lain istri Ketut Suparta. Gerakan tarian ini sama gemulainya dengan Tari Gandrung. Tari Bala Anjani menjadi penutup latihan di Sanggar Kalanguan. Ketut Suparta melempar senyum. Seolah puas dengan penampilan anak didiknya.
“Selamat datang, terima kasih sudah mampir kesini,” sapanya pada wartawan Lombok Post.
Pria 47 tahun ini bercerita, sanggar sudah berdiri sejak 2006 silam. Mendirikan sanggar karena kecintaannya pada seni budaya tradisional. Ia memiliki tanggung jawab besar untuk melestarikannya.
“Ya, kebetulan kakak saya juga seniman. Dahulu sama kakak saya mengembangkan kesenian ini,” bebernya.
Dedikasi dosen STAH Gde Pudja Mataram terhadap seni memang tidak tanggung-tanggung. Terbukti, seperangkat alat musik tradisional dan seluruh pakaian kesenian dibeli dengan uang pribadi. Lebih dari 10 tahun berdiri, belum pernah ada bantuan diterima.
“Ini karena rasa kecintaan,” ucapnya.
Ketut menyebut, memiliki perlengkapan seni memadai tidak cukup. Tugas selanjutnya adalah bagaimana merangkul anak muda bergabung di sanggarnya. Tidak peduli apa suku dan agamanya, selama mencintai seni akan dirangkul. Generasi muda ini yang nanti akan menjaga warisan leluhur di masa mendatang.
“Anak sekarang suka yang modern-modern. Makanya mereka perlu terus dikenalkan,” terangnya.
 

Gendang Beleq sebagai salah satu kesenian asli Pulau Lombok, lanjutnya, sekarang sudah mulai digemari di Bali. Bahkan, dalam pagelaran nasional Gendang Beleq menjadi pembuka acara. Mengherankan bila kesenian itu kurang terkenal di daerah asalnya.
“Mereka yang saya ajar disini tidak bayar. Yang penting mereka mau,” ucapnya.
“Saya selalu mengajarkan dalam seni jangan hanya memikirkan uang,” tambahnya.(*)


0 10 komentar:

Post a Comment