Friday 25 September 2015

Menjaga Rias Pengantin Sasak



USIANYA tidak lagi muda, namun semangatnya begitu mengebu bila sudah membicarakan soal riasan pengantin tradisional. Itulah sosok Hj Titiek Suharto yang merupakan Ketua Harpi Melati NTB. Dialah satu-satunya orang NTB yang memiliki kompetensi untuk menguji perias pengantin tradisional Sasak. Namanya sudah masuk dalam kancah nasional sebagai penguji rias pengantin.Apa yang dilakukan oleh perempuan paruh baya ini, tentu menjadi inspirasi bagi anak muda. Mau menjaga rias pengantin sasak.
“Ini harus tetap dipertahankan sebagai budaya kita. Tidak dimiliki oleh yang lain,’’ katanya.
Ya, meski usianya sudah 68 tahun, nenek delapan orang cucu ini tidak pernah mau ketinggalan ketika para perias menjalani uji kompetensi rias pengantin. Ia ikut terlibat ketika ada ratusan orang menjalani uji kompetensi rias pengantin Sasak. Mereka menjalani tes teori maupun praktik. Dengan telaten ia memberikan informasi pada para perias pengantin Sasak yang tengah mempersiapkan diri untuk menjalani tes. Di benak anak muda sekarang, bila bicara rias pengantin tentu yang terbersit adalah rias pengantin modern. Belum tentu mereka yang lahir dan besar di Lombok yang notabene suku Sasak tahu apa itu rias pengantin sasak.
Titiek bercerita, prosesi pernikahan tidak bisa dipisahkan dari rias pengantin. Setiap daerah memiliki riasan tradisional masing-masing. Riasan ini dipadupadankan dengan pakaian yang ada. Ia mendorong supaya rias pengantin tradisional tetap dijaga. Karena sampai kapanpun rias pengantin tradisional tetap diminati. Terlebih oleh kalangan masyarakat yang masih memegang adat istiadat dan budaya asal. Berada di daerah manapun tetap menggunakan riasan asli. Masih ada kebanggan mempertahankan budaya leluhur. 
“Ada kebanggaan ketika menggunakan riasaan pengantin tradisional,’’ ucapnya.
Tidak bisa dipungkiri, lanjutnya, rias penganten modern memang terus bermunculan. Rias pengantin modern banyak yang menyebut bisa menyesuaikan dengan selera. Berbeda dengan rias pengantin tradisional yang sudah memiliki pakem. Pola riasan dan pakaian harus sesuai dengan adat yang ada.Itu juga menjadi alasan generasi modern, kurang terpikat dengan riasan pengantin sasak
Rias pengantin modern, tambahnya, dikenal lebih variatif dan bisa dipadupadankan. Ditambah lagi, generasi saat ini lebih cenderung memilih hal yang simpel. Dalam penilaian mereka, penggunaan riasan tradisional dianggap ‘’kolot’ atau ribet. Padahal, ada sesuatu yang khas dari riasan pengantin tradisional. Dicontohkan, dari sisi make up, antara riasan pengantin Sasak dengan Jawa memiliki perbedaan. Ketika perias pengantin tidak paham dengan ini, mudah untuk diketahui. Berbeda dengan pola riasan modern yang lebih mirip-mirip.
Sebagian yang lain menilai, rias pengantin tradisional sulit untuk direkayasa. Riasan maupun pakaian yang digunakan monoton. Padahal  beberapa kali rias pengantin tradisional bisa direkayasa.
“Pasangan pengantin tetap memakai pakaian tradisional, namun bisa menggunakan jilbab,’’sambungnya


Sementara mengenai pandangan menggunakan riasan pengantin Sasak ribet, itu tidak sepenuhnya tepat. Riasan ini tidak bisa dipisahkan dari adat istiadat. Apa yang tertuang dalam riasan tersebut tentu ada nilai dan filosofinya. Justru ini salah satu bentuk kebanggan terhadap budaya Sasak.
Melihat paradigma yang berbeda ini, kata Titiek, memang perlu untuk membakukan rias pengantin Sasak. Ia pun menceritakan rias pengantin Sasak ini pertama kali di lokakaryakan bersama para tokoh adat Sasak 2008. Ia tidak sendiri, ada H Abdul Hamid yang juga ikut memberikan dukungan soal riasan. Setelah melalui proses yang panjang, riasan pengantin Sasak ini pun dibakukan 2009 silam dan berhak mendapat pengakuan seluruh Indonesia. 
Disebutkan, para perias pengantin tradisional Sasak ini bakal menjalani uji kompetensi sebelum terjun ke lapangan. Setelah memiliki sertifikat, para perias pengantin Sasak ini bisa membuka salon dimanapun. Uji kompetensi ini dinilai penting. Masih ada perias yang belum paham menyeluruh soal tata rias pengantin tradisional. Ada masih campur-campur cara menata. Ada yang riasannya Sasak, bajunya malah Jawa.
“Perbedaan ini perlu dipersatukan dengan uji kompetensi,’’ bebernya.


Peran dari Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) cukup penting dalam menjaga eksistensi perias pengantin tradisional. Terbukti tiap tahun, ada puluhan hingga ratusan orang yang mendapat pendidikan hingga melewati uji kompetensi (UK) untuk meraih sertifikat. Terbukti setelah dibakukan, kata dia, riasan pengantin Sasak ini makin eksis. Pertumbuhan peminat terhadap riasan Sasak terus bertambah. Tentu saja itu itu terjadi karena semakin banyaknya permintaan riasan tradisional. Hingga kini, yang sudah menjalani uji kompetensi tata rias pengantin Sasak sejak 2008 lalu mencapai 409 orang. Tata rias pengantin Sasak yang diakui seluruh Indonesia sejak 2009 silam memang menerima bantuan dari Pelatihan Kecakapan Hidup (PKH). Pengujinya sendiri dari lembaga sertifikasi kompeten (LSK) tata rias pengantin Jakarta.
Apa yang dilakukan oleh Hj Titiek Soeharto ini harus melecut para generasi muda. Di usia yang sudah sepuh, ia tetap semangat untuk mempertahankan tradisi warisan leluhur.(*)



0 10 komentar:

Post a Comment