MUTASI di Kota Mataram selalu memiliki cerita. Dibalik
beragam cerita, kegaduhan selalu muncul. Sedikit berbeda yang terjadi di era
penjabat Wali Kota Mataram Hj Putu Selly Andayani, belum juga mutasi terjadi
kegaduhan sudah merebak. Padahal, dalam statemen kepada media massa, penjabat
itu tidak pernah tersurat menyebut bakal ada mutasi. Kegaduhan mulai muncul
saat proses assessment dilakukan. Ada pejabat yang tidak mau assessment dengan
alasan tidak ada dalam aturan. Perlawanan salah satu pejabat ini pun membuat
situasi makin gaduh. Ada memang yang malu-malu menolak assessment.
Dalam
PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang pemberhentian dan pengangkatan penjabat kepala
daerah pada pasal 132A ayat 1 disebutkan dilarang untuk mutasi. Boleh mutasi
bila mendapat persetujuan dari menteri Dalam Negeri.
Pertanyaannya
kemudian, apakah assessment ini berarti bakal ada mutasi? Dalam undang-undang
Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan, assessment itu
sebagai pemetaan. Proses assessment tidak serta-merta berarti bakal ada mutasi.
Lalu kenapa gaduh?
Kegaduhan
yang terjadi dalam assessment tidak hanya dalam lingkup pemerintah. Legislatif
pun ikut mencak-mencak. Sampai Ketua DPRD Kota Mataram H Didi Sumardi langsung
mengundang para pakar dengan gelar profesor maupun doktor ke dewan meminta
pandangan. Kok tumben?
Tidak
salah sebenarnya pakar memberikan pandangan dan telaah, sesuai dengan norma
undang-undang yang berlaku. Hanya saja, tidak biasanya di Kota Mataram belum
mutasi saja gaduhnya sudah kemana-mana. Padahal dalam konteks yang lebih parah,
pejabat maupun wakil rakyat memilih tutup mulut.
Sama-sama
gaduh, namun koteksnya berbeda di Kota Mataram terjadi 4 Februari 2015. Saat
itu Pemkot Mataram menggelar mutasi pada 138 orang. Dalam mutasi tersebut
terjadi pelanggaran, dimana mengacu UU ASN untuk promosi eselon II harus
melalui panitia seleksi (pansel). Sayang, ada pejabat yang langsung naik tanpa
assessment. Akibatnya, ada dua pejabat di Kota Mataram yang “dipaksa” pensiun
lebih cepat. Kegaduhan ini tidak kalah menyita perhatian. Komisi ASN pun sampai
memanggil Sekda Kota Mataram HL Makmur Said ke Jakarta. Dalam suratnya
disebutkan telah terjadi pelanggaran. Lalu kenapa banyak yang diam? Kenapa
tidak mengundang para pakar memberi telaah? Padahal saat itu sudah jelas
terjadi pelanggaran.
Publik
berhak bertanya atas kondisi saat ini. Baru proses assessment yang belum pasti
mutasi, kondisinya sudah dibuat seperti perang. Adu opini bermunculan. Seolah
ada kubu yang pro dan kontra dalam mutasi.
Padahal
bila berpikir jernih dan mau melihat aturan yang ada, soal assessment hingga
proses mutasi jelas membatasi penjabat. Namun, batas itu runtuh manakala
Mendagri memberi restu. Sebaliknya juga begitu, seandainya pusat tidak memberi
lampu merah, maka mutasi tidak bakal terjadi.
Semoga
birokrat dan wakil rakyat tidak kehilangan gairah sebenarnya, mengabdi untuk
masyarakat. Jangan sampai pikiran dan tenaga tersita untuk segelintir golongan.
Masih banyak masalah pelik di Kota Mataram yang harus dituntaskan. Bukan hanya
melulu soal jabatan dan kedudukan.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment