Kecepatan
informasi abad ini begitu luar biasa. Tidak perlu lagi komputer besar, cukup
dengan gadget dan paket data maka semua hal bisa terakses. Seperti pisau
bermata dua, hadirnya perangkat digital nan canggih ini ada kekurangan dan
kelebihan. Untuk
daerah yang sedang menggeliat pariwisatanya seperti NTB, perangkat digital ini
sangat membantu. Masyarakat lebih cerewet mengenalkan daerah. Disaat bersamaan
melalui layar ponsel mereka bisa mengetahui prospek daerah di masa depan dan
arah pengembangannya. Jika pengguna gadget ini benar-benar pintar seperti nama
perangkatnya smartphone (telepon pintar), perangkat digital yang dimiliki bisa menjadi
ladang empuk mengais rupiah.
Disaat
kehidupan masyarakat terus berkelindan dengan dunia digital. Ada sisi negatif hadir.
Perangkat digital begitu lekat dengan dunia maya. Dan saat ini dunia maya jejaring
sosial twitter, facebook, instagram, path, dan lainnya ramai dengan tulisan bernada
provokatif. Informasi dibuat seolah benar, setelah dicek ternyata hanya hoax
(bohong) belaka. Hoax
dan fitnah paling sering mengangkat isu suku, agama, ras, dan antar golongan
(SARA). Seruan provokatif berbau SARA sebenarnya noda di negeri ini. Beberapa
kali negeri ini diuji konflik berbau SARA. Tengok saja peristiwa Poso di
Maluku, peristiwa Sampit di Kalimantan Tengah, atau di Kota Mataram sendiri ada
peristiwa 171. Kita harus banyak belajar dari peristiwa tersebut.
Dalam
pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) serentak, dunia maya menjadi media
kampanye hitam (black campaign) antar calon. Jangan kaget bila menjelang
kontestasi pemilukada isi media sosial begitu semerawut dan penuh fitnah. Paling
terkini bisa dilihat saat Pemilukada DKI Jakarta dari putaran pertama sampai
putaran kedua. Sumpah serapah antar pendukung calon muncul silih berganti.
Menjadi kian pelik, ketika ada sebagian kelompok masyarakat meragukan kebenaran
berita media massa. Muncul sikap tidak percaya yang berujung apatisme. Mereka
lebih suka dan gandrung pada narasi-narasi fitnah di media sosial atau portal.
Dunia maya pun kini menjelma menjadi pabrik hoax dan fitnah
Pers
tidak boleh tinggal diam. Media massa harus ada di garda terdepan membendung hoax
dan fitnah yang beredar, utamanya dari media sosial. Bila dalam bukunya Fred S
Siebert (1963) menyatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi, selain
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di buku berjudul Four Theories of the
Press yang mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol
atas tiga pilar kekuasaan. Maka peran pers berikutnya adalah mengontrol dunia
maya. Peran
dan kontrol pers membuat masyarakat menyikapi persoalan secara proporsional. Tidak
emosional dan lekas naik darah. Contoh bisa diambil saat kasus menimpa Gubernur
NTB TGH M Zainul Majdi belum lama. Gubernur yang akrab disapa Tuan Guru Bajang
(TGB) dihina oleh pria keturunan Tionghoa di Bandara Changi, Singapura. Bukti
permintaan maaf dari pria berinsial SHS itu cepat beredar. Kamis malam (13/4)
di facebook, penulis melihat surat itu
sudah dibagikan lebih dari 10 ribu kali. Ditengah tensi Pemilukada DKI Jakarta
yang lekat dengan isu SARA, penghinaan pada TGB menggelinding bak bola salju di
twitter, facebook, maupun instagram. Untuk diketahui, TGB selain Gubernur NTB
adalah ulama yang juga pemimpin ormas terbesar di NTB Nahdlatul Wathan. Penghinaan
ini jelas memicu amarah publik.
Gerakan-gerakan menyikapi penghinaan TGB di
akar rumput sampai elit terus menggema. Bagi pers jelas informasi menarik.
Figur dan isu cukup kuat. Tidak heran beberapa media nasional di Jakarta
menjadikan berita TGB sebagai isu seksi. Ditengah sentimen berbau SARA respon
publik cukup cepat. Sementara di dunia maya, penghinaan pada TGB masuk kategori
merah. Upaya penghasutan dan gerakan rasis menjadi viral. Muncul hoax yang
mengatasnamakan pendukung TGB. Tensi
yang meninggi, tidak lantas diikuti awak media. Media massa di NTB sabar dan
hati-hati memberitakan. Hingga akhirnya Gubernur
NTB TGH M Zainul Majdi angkat bicara di Islamic Center NTB, Jumat (14/4). Pada
kesempatan itu orang nomor satu di NTB itu memberi penjelasan soal kebenaran
informasi yang beredar di dunia maya. Mengutip dari Jawa Pos.com 14 April 2017,
Gubernur menegaskan, penghinaan yang terjadi pada 9 April tersebut telah
sepenuhnya dia maafkan. Terlebih lagi, yang bersangkutan juga telah meminta
maaf secara terbuka melalui media massa. TGB ini mengajak seluruh elemen
masyarakat NTB untuk tetap menjaga harmoni dan kerukunan yang telah terwujud
dengan sangat baik selama ini. Pernyataan TGB ini menyejukkan. Media massa
lokal dan nasional memberitakan pernyataan TGB, di daerah isu adanya sweeping
warga keturunan yang bersumber dari dunia maya terbantahkan.
Masyarakat
NTB menunjukkan protesnya dengan menggelar demonstrasi ke Polda NTB, menuntut supaya
polisi memproses secara hukum. Di kesempatan ini pun kembali media mengarahkan
pemberitaan pada penegakan hukum. Tindakan rasisme SHS bisa diproses. Ditengah
upaya pencarian SHS, dunia maya kembali ramai dengan munculnya akun yang
meragukan penghinaan terhadap TGB. Pada kesempatan ini juga media massa tidak
gegabah dan terpancing viral. Bukti kebenaran kasus yang menimpa TGB selain
foto surat permohonan maaf SHS, ada foto TGB dan SHS di pos polisi Bandara
Soekarno-Hatta. Di sisi lain, ada laporan dari kelompok pengacara pada lima
akun media sosial yang menuduh penghinaan TGB adalah fiktif. Kasus
yang menimpa TGB diatas bisa jadi menjadi bahan bakar amarah. Selain tidak
agresif dalam tataran isu rasisme. Pers lebih menyoroti soal penghinaan
personal. Publik juga dicerahkan upaya menyampaikan protes dengan saluran yang
tepat. Mulai dari demonstrasi hingga laporan resmi ke polisi. Dan paling utama
langkah klarifikasi dari TGB menjadi amunisi utama meredakan ketegangan publik.
Dapat
ditarik kesimpulan, pers bisa menjinakkan viral yang ada di dunia maya. Setiap
kabar yang beredar ditelusuri secara tuntas. Pers mengkonfirmasi pada pihak
terkait secara langsung. Tidak gegabah menyajikan berita khususnya yang terkait
dengan SARA. Pers tidak lagi berkutat pada tataran sumber masalah, pers harus
lebih mengarahkan pada hal-hal solutif. Tentu saja prinsip jurnalisme damai
harus dikedepankan. Menghilangkan stigma
bad news is good news, tetap memegang
good news is good news.
Bagi
publik sendiri, dilarang keras cepat masuk dalam pusaran informasi di dunia
maya. Utamanya yang menyangkut kasus atau isu-isu berbau SARA. Bila tanpa
konfirmasi dan tidak ada kecocokan dengan berita di banyak media massa,
informasi itu bisa masuk kategori hoax dan fitnah. Publik harus berani
mengambil sikap mengambil informasi dan berita produktif. Masyarakat tidak
boleh apatis dengan media massa. Sebenar apapun informasi yang viral di media
massa, tetap saja pemberitaan media massa adalah acuan. Pers bekerja diatur oleh Undang-Undang Pers. Wartawan harus
bekerja mematuhi 11 pasal kode etik jurnalistik. Seperti termuat pada Pasal 1,
wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat,
berimbang, dan tidak beritikad buruk. Kata berimbang dalam pasal penegasan
setiap pemberitaan menjunjung tinggi konfirmasi dari semua pihak dalam
berita.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment