NAMANYA pendidikan
itu berarti harus belajar di kelas khusus dan mendapat ijazah. Itu pemahaman
masyarakat umum di Indonesia. Pemahaman ini kemudian yang mereduksi
talenta-talenta berbakat untuk muncul. Skill atau keahlian tidak dihasilkan
melalui pembelajaran di kelas. Keahlian hadir karena perbuatan berulang-ulang
dilakukan. Bisa karena biasa, begitu istilahnya.
Ya, melihat
pendidikan informal di Indonesia, yang dipandang sebelah mata sesungguhnya
cukup ironi. Karena di pendidikan informal itulah dipacu minat dan bakat
masing-masing individu. Minat dan bakat individu selama ini memang kurang
mendapat porsi besar di sekolah formal.
Dari pendidikan
informal, masyarakat yang kurang fasih berbahasa asing, bisa menjadi fasih.
Kurang terampil berbicara di depan publik, berubah menjadi handal. Tidak mahir
mengotak-atik mesin motor, berubah menjadi mekanik handal.
Nah, pola pikir
kurang terbuka ini muncul karena dipengaruhi pikiran pragmatis. Masyarakat
Indonesia kebanyakan suka memilih zona nyaman dunia kerja. Pekerjaan yang tidak
butuh skill lebih dan kemampuan luar biasa. Ini yang akhirnya membuat “malas”
untuk mengeskplore kemampuan. Akhirnya outputnya pun begitu-begitu saja.
Ada beberapa contoh
sukses di Indonesia yang lahir dari pendidikan informal. Seorang youtuber,
belajar dari koleganya. Terbukti sanggup menghasilkan uang melebihi rata-rata.
Itu bila mengacu orientasi uang. Ada juga penulis blog yang sanggup membuat
bisnis besar, karena penghasilan google adsanse. Termasuk marketing network
yang bekerja beberapa jam, namun seperti bergaji setahun.
Dengan mendorong
masyarakat untuk masuk dalam pendidikan informal, selain soal materi, tentu
peningkatan sumber daya manusia (SDM) menjadi target. NTB termasuk daerah yang
punya potensi berkembang besar di Indonesia. Untuk menghentikan pengiriman
tenaga kasar ke luar negeri, pemberian pendidikan informal kepada masyarakat
luas bisa menjadi solusi.
Perlu dicatat,
tidak semua lembaga informal memang memberikan pendampingan yang mantap. Ada
lembaga informal yang hanya mengeruk untung. Tidak memberikan pendidikan dan
keterampilan secara optimal. Kejelian masyarakat memilih lembaga patut
diperhatikan. Karena tidak semua lembaga informal bisa memenuhi harapan
peningkatan skill.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment