Langkah kakinya sudah tidak lagi gesit. Wajahnya
yang sepuh terlihat lelah. Namun saat bicara soal pendidikan informal nada
suaranya masih lantang. Pria paruh baya ini adalah Prof Dr H Bambang Marsono,
mendapat mandat dari Kementerian Kebudayaan Nasional (Kemendiknas) untuk
menilai lembaga lembaga pendidikan seluruh Indonesia. Kedatangannya ke Kota
Mataram untuk menilai LKP Dende.
Setelah sedikit berbincang ringan, ia pun
langsung bertanya soal LKP Dende. Dimulai dari soal pendirian lembaga, prestasi
lembaga, sumber daya manusia (SDM) lembaga, hingga prestasi dari anak didik
lembaga ditanya dengan detail. Tidak sekadar bertanya, Bambang pun meminta
bukti prestasi tersebut. Seperti ketika disebut ada prestasi nasional rias
pengantin, Bambang melihat sertifikatnya.
Dari cara bicaranya mengenai
pendidikan informal, Bambang terlihat menguasai. Tidak seperti umumnya penilai
yang menilai secara umum, ia pun memberikan gambaran secara umum mengenai
lembaga pendidikan informal. Dunia pendidikan informal bagi Bambang bukan
hal baru. Ia sudah menekuninya sejak 45 tahun silam. Ia mendirikan lembaga
pendidikan informal bahasa Inggris. Tidak tanggung-tanggung lembaga pendidikan
informal tersebut menyebar di semua cabang di Indonesia. Keseluruhan ada 98
cabang.
"Karena bahasa Inggris ini
penting. Dari bahasa Inggris juga membuka peluang bekerja di luar negeri,"
bebernya.
Profesor ini mengatakan, bahasa
masih menjadi salah satu kendala dari warga Indonesia. Kemampuan bahasa
Inggris masih rendah, itu membuat mereka tidak bisa masuk di banyam
sektor. Itu juga membuat banyak anak bangsa yang bekerja menjadi tenaga kasar.
Disinilah peran pendidikan informal untuk memberi pembekalan.
"Pendidikan informal ini
penting sekali, olimpiade fisika itu bisa juara karena ada pendidikan informal,"
ucapnya.
Kakek 15 cucu ini menilai
keberadaan sekolah formal penting, namun sekolah informal juga harus menjadi
penopang. Melalui sekolah informal kemampuan menjadi semakin terasah. Karena
banyak yang terjadi ijazah tinggi namun skill tidak menunjang. Keahlian dari
masing individu tentu tidak didapat instan. Perlu dilatih di lembaga informal.
Itu pula alasan Bambang mendorong supaya pendidikan informal terus berbenah.
"Masukan saya ini maksudnya
tentu saja supaya pendidikan informal menjadi semakin baik. Dari pendidikan
informal akan melengkapi kemampuan," akunya.
Pria paruh baya ini sebenarnya
bertanya-tanya ketika minat masyarakat ke lembaga informal kian menurun.
Contohnya pun langsung diambil dari lembaga Oxford yang didirikannya. Dari 98
cabang, tinggal separuh yang eksis. Padahal dahulu lembaga ini begitu diburu,
bahkan banyak orang penting Indonesia belajar disana. Padahal soal bahasa
Inggris tidam bisa diremehkan, karena itu menjadi bahasa pergaulan dunia.
Pekerja dengan kemampuan bahasa Inggris bagus pun sanggup diterima pasar kerja.
Seperti masyarakat Filipina di sekitar pangkalan udara Amerika yang galau saat
pangkalan berhenti. Mereka bingung dimana lagi harus mendapat uang.
"Karena bahasa sehari-hari
mereka bahasa Inggris, pemerintah Filipina tidak pusing. Mereka tinggal diberi
kemampuan berdagang tiga bulan, kemudian dikirim ke timur tengah. Dan mereka
sukses dengan banyak uang," ceritanya.
Itulah kenapa, lanjut bapak yang
lama di Inggris ini, mendorong anak bangsa mahir berbahasa Inggris. Selain
bahasa tentu saja meningkatka keahlian, seperti mengetik, menjahit,
berbicara, maupu keahlian lainnya. Tentu saja peningkatan keahlian ini
untuk melengkapi ijazah formal yang dimiliki.
"Jangan kemudian sekolahnya
sudah tinggi, merasa puas. Kelihatan bagus luarnya dalamnya kosong," ujar
Bambang.
Pengalamannya pernah menempuh
pendidikan di 11 universitas baik dalam negeri maupunnluar negeri menunjukkan,
pendidikan informal sanggup menunjang pencapaian pendidikan formal. Apalagi
tahun ini Indonesia memasuki masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), tenaga kerja
Indonesia tidak sekadar bersaing dengan sesama anak bangsa, mereka bakal
bersaing pula dengan tenaga kerja asal Asia Tenggara. Tenaga kerja dari luar
Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam mereka tidak hanya
cakap di bidang formal, mereka juga cakap di berbagai kemampuan informal.
Hebatnya mereka sudah berlomba memiliki sertifikat keahlian.
"Nah, chef disana saja punya
sertifikat. Sedangkan chef di hotel yang ada di Indonesia banyak belum
bersertifikat," ucapnya.
Kakek 72 tahun ini mengingatkan,
sebenarnya penambahan keahlian di tiap individu itu memiliki pengaruh yang
besar. Selagi masih ada kesempatan, ia mendorong masyarakat berlomba masuk
pendidikan informal. Kepada lembaga pendidikan informal sendiri tidak
main-main. Lembaga pendidikan informal harus sanggup mengasah potensi tiap
individu. Begitu keluar tidak sekadar terampil, tapi juga terdidik.
"Selama ini image lembaga
pendidikan informal hanya membuat terampil, belum mendidik," tukasnya.(*)
0 10 komentar:
Post a Comment