Usaha harus mikir modal,
tempat, dan tenaga kerja. Bila ketiganya, mempersiapkan promosi untuk
mengenalkan produk. Pola pikir ini sudah kuno. Modal utama bisnis sekarang
adalah kemauan dan tidak gagap teknologi alias gaptek. Simpel dan murah. Generasi
milenial menyebutnya bisnis online.
Saya merasakan bisnis online. Tidak lelah. Cukup dirumah menunggu dering handphone.
Pembeli menghubungi via pesan singkat atau telepon. Salah satu aplikasi yang
saya coba adalah OLX. Kala itu ada rekan hendak menjual sebidang tanah.
Sebelumnya dia sudah mencoba promosi via radio. Hasilnya nihil.
Saya menawarkan jualan
lewat OLX. Dia setuju. Untuk menarik
minat pembeli, jual-beli online menyertakan foto. Selanjutnya submit data ke
OLX. Mudah. Tinggal memasukkan biodata diri, email, dan nomor handphone. Beberapa
menit kemudian masuk kode verifikasi lewat email. Selanjutnya upload foto
jualan. Supaya menarik, melengkapi dengan deskripsi produk. Tidak sampai
hitungan jam, produk yang saya jual sudah bisa dilihat ribuan orang. Esok hari
langsung ada yang menghubungi. Sehari setidaknya ada dua atau tiga orang yang menawar.
Untuk memperkuat promosi, iklan di OLX saya share di media sosial. Hasilnya, tidak sampai dua minggu tanah rekan
saya itu terjual. Padahal sebelumnya promosi di radio beberapa minggu, tidak
banyak yang menghubungi.
Untuk mengembangkan usaha,
tidak rumit dengan bantuan dunia online. Penyebaran informasinya cepat. Supaya
daya jelajah produk semakin cepat, perlu bantuan digital marketing. Situs iklan
disebar melalui media sosial, mulai twitter, facebook, ataupun Instagram. Dengan
kemudahan bisnis online, membuat situs jual beli online membanjir. Tawaran dan
pola jualan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di perkotaan
bisnis online bukan barang baru. Beda dengan di desa. Pola
perdagangan begitu konvensional. Hasil pertanian dan perkebunan dijual dari
mulut ke mulut. Harganya pun tergantung permainan tengkulak. Petani jarang
mendapat untung besar. Padahal petani menunggu panen berbulan-bulan. Nasib
petani, kalau tidak untung sedikit, ya rugi.
Saya berharap pemerintah
pusat maupun daerah menggarap serius potensi desa. Caranya, komoditi pertanian atau perkebunan
dijual secara online. Ada startup atau aplikasi yang khusus menjadi wadah
jualan petani. Kemudian mendorong marketing digital produk pertanian.
Adanya situs jual beli bagi
petani membuat lebih adil. Pembeli bisa langsung negosiasi dengan petani.
Selain itu punya banyak pilihan komoditi dari daerah pertanian berbeda. Bagi
petani, mereka punya pilihan konsumen. Produk mereka semakin dikenal luas.
Seandainya situs khusus petani
ini tidak terwujud, tetap ada peluang menggerakkan marketing digital di
pedesaan. Dimulai dengan memberi pemahaman teknologi. Mendampingi kelompok tani
(poktan) cara memakai gadget. Melatih mereka bercengkrama dengan dunia digital.
Sampai menebar promosi di dunia digital. Semoga pemerintah pusat memberikan
perhatian besar dalam pengembangan digital pedesaan. Bukan hanya soal anggaran
(baca: Alokasi Dana Desa). Petani harus diajak melek teknologi.
Itu tergantung produk gan...kalo asal2 mah susah...dunia digital marketing ga boleh asal-asalan bro...jadi harus dipertimbangkan produk yang pengen dipasarkan untuk terjun langsung.
ReplyDelete