Diskusi
soal komentar Ahok dari dunia maya berlanjut ke dunia nyata. Ada yang sudah
mulai gontok-gontokan. Teknologi yang bikin Ahok begitu ramai. Masuk generasi
milenial, kemajuan teknologi tak terbantahkan. Apalagi ketika dunia selebar
telapak tangan. Kurang informasi, anda bisa klik google dan sim salabim semua
ketemu. Tingkat akurasi, ada yang rendah, sedang, dan tinggi.Kembali pada
kesadaran anda menggali informasi tersebut. Yang tak terbantahkan adalah google
menjadi "dewa" penolong kita. Tak usah heran kalau sedikit-sedikit
ada yang berkata "buka google supaya jelas,". Jari pun langsung
piawai bercengkrama dengan gawai.
Gawai
ini sponsor utama yang bikin google laris. Saya sendiri merasakan pertolongan
google. Beragam undang-undang di negeri ini bisa ketemu karena google. Termasuk
soal urusan remeh-temeh macam cara menanam bunga yang benar atau urusan mencari
alamat. Tanpa disadari, kemampuan google mereduksi daya jelajah otak. Kemampuan
argumentasi, menggali data, dan validasi informasi tampak seadanya. Bahkan
sajian dari kerumunan pun kita telan bulat-bulat. Kenapa disebut bulat-bulat?
Karena kita dengan enak saja copy dan paste.
Saya
tak sedang menyalahkan google. Bukan juga gegara pajaknya diuber-uber
pemerintah. Atau bahkan menganggap google ini membuat kita bertikai. Jadi
begini, simpel saja analoginya, pernah diminta tolong mengerjakan soal fisika,
matematika, atau kimia anak SMP/SMA. Saya pernah. Dan saya tak bisa menjawab.
Kemudian mereka menjawab, cek di google. Yes, jawabannya ketemu, begitu kata
mereka. Wah, kurang ajar juga nih google, kritik saya dalam hati.
Dari
sini masalahnya. Saya kok agak khawatir kalau dari anak-anak semua urusan
ditanyakan ke google. Masalah pertama, jadi malas berpikir. Kedua,
googlesentris. Ketiga, merasa paling benar. Padahal tak semua sajian google ini
bertuan. Tulisan tanpa kutipan sumber yang jelas.
Sampai
disini kita belum bahas Ahok. Tuntaskan dahulu google. Pilihannya kemudian menghadapi
google apa? Berdamailah dengan google. Dunia digital keniscayaan dilawan.
Namun, google bisa membantu menemukan elektronik book (e-book). Lewat buku
digital inilah kemudian membagi pemikiran, dengan validitas, argumen, dan
sumber yang jelas. Untuk yang masih setia dengan buku monggo. Melawan kerumunan
informasi, sajikan tulisan berbobot. Sumber jelas, argumentasi berdasar, dan
paling utama kaya akan data. Bukan berarti saya masuk dalam kategori pecinta
buku, saya masih belajar. Foto saya hanya pencitraan untuk blog. Hehe
Google
ini saya ibaratkan fast food, makanan
cepat saji. Mengenyangkan sih, tapi bikin obesitas dan kangker. Sementara
google bikin obesitas otak. Isi kepala dibuat seolah-olah gemuk, padahal gemuk
penyakit. Gampang tersinggung, sulit adu argumen, atau menganggap paling benar.
Gemuk belum tentu sehat. Supaya otak gemuk dan sehat, isi dengan nutrisi
berkualitas. Makanannya ya buku. Jangan sampai keburu terkena kangker otak.
Suka bersilogisme, membuat premis, dan bermain gramatikal. Padahal absurd.
Enstein
itu dalam bukunya baru memakai otak lima persen. Lalu kita pakai otak berapa
persen? Hobinya bermunajat dengan google. Bagi yang sudah berumur dan malas
membaca, silahkan buka google. Khusus anak muda, upayakan deh membaca! Supaya
isi kepala bernutrisi. Jangan ikuti generasi yang mengalami obesitas dan
kangker otak.
Google
tidak salah. Kita yang salah menggunakan google. Yang salah ketika akal kita
dikungkung oleh google. Silahkan cari apapun di google, tapi tetap jadikan akal
sebagai imam. Kecuali soal agama, maaf saya tidak rekomendasikan. Urusan agama
biar kita berguru tetap pada manusia, supaya jelas sanadnya.
Oya,
terakhir tulisan saya belum membahas Ahok. Saya katakan, sesuai dengan judul
Dibohongin dengan Ahok. Sudah jelas dari awal saya katakan dibohongin dengan
Ahok. Jadi saya tidak sedang membahas Ahok. Tak usah terlalu diseriusi soal dibohongi ini. Kalau anda saja bisa membuat
gramatikal soal ayat suci Alquran, anggap saja tulisan ini sampah.
0 10 komentar:
Post a Comment