Friday 30 October 2015

Sarjana Komunikasi Jangan Jadi Penonton



Eksistensi sarjana komunikasi di daerah dinilai belum optimal. ISKI Pusat pun sudah mengambil ancang-ancang akan membangunkan semua sarjana komunikasi  yang masih tertidur.

Konfrensi nasional komunikasi Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) di Lombok, September 2014, masih membekas di pikiran Ketua Umum ISKI Yuliandre Darwis Phd. Dalam pikirannya, konfrensi digelar di Lombok, otomatis NTB harus berada di garda terdepan dalam soal urusan-urusan berbau komunikasi. Dosen komunikasi di Universitas Andalas ini tidak mau berpikir sendiri. Pria yang akrab disapa Andre ini menuangkan uneg-unegnya soal sarjana komunikasi kepada Direktur Utama (Dirut) Lombok Post Alfian Yusni, Kordinator Liputan Lombok Post Hidayatul Wathoni, dan Redaktur Lombok Post Febrian Putra.
Pertemuan antara akademisi dan praktisi ini berlangsung cair. Banyolan mulai dari urusan politik, media massa, sampai soal akademisi silih berganti dibahas. Pembahasan soal keinginan ISKI pusat supaya sarjana komunikasi di Lombok memiliki peran signifikan, menjadi pembicaraan paling seru.
“Saya bayangkan nanti eksistensinya itu seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), harus mulai mengambil peran,” katanya.
Jebolan Universitas Teknologi Mara, Selangor, Malaysia ini meminta masukan soal progres ISKI ke depan. Kebetulan, selain menjadi Dirut di media massa terbesar di NTB, Alfian jebolan jurusan komunikasi.
“Ya, bagaimana supaya di NTB bisa jalan. Ini kita perlu membahasnya,” sambungnya.
Andre membayangkan, bila ISKI di NTB eksis, posisinya di daerah cukup berarti. Tidak hanya bagi daerah, ISKI ikut memberi kontrol terhadap komunikasi dari media massa daerah.
“Mungkin, nanti bisa kita buatkan acara tahunan, pemberian award untuk praktisi komunikasi dan media massa,” ucapnya.
Alfian Yusni mengatakan, saat ini yang perlu dirancang adalah mempertemukan dahulu para sarjana komunikasi. Berikutnya, menentukan siapa leader dari ISKI NTB. Menurutnya, sarjana komunikasi di NTB cukup banyak, baik latar belakang akademisi maupun praktisi.
“Banyak yang punya kemampuan untuk mendorong sarjana komunikasi ini berperan bagi daerah,” katanya.
Ayah dua anak ini menyebut, sarjana komunikasi di NTB sendiri tidak sebanyak sarjana jurusan lain. Jurusan komunikasi di Universitas Mataram baru dibuka. Jurusan komunikasi yang “senior” di NTB di Universitas 45 Mataram. Kampus lainnya yang memiliki jurusan komunikasi adalah IAIN Mataram. Belum sebanyak di Pulau Jawa, rata-rata memiliki jurusan komunikasi.
“Tapi, ini potensi untuk membangunnya lebih besar,” ucap Alumni komunikasi UPN Veteran Surabaya ini.
Fian menyinggung soal posisi praktisi komunikasi. Sarjana komunikasi yang memiliki profesi di media massa maupun bidang lain yang belum dioptimalkan. Ia mengambil contoh, ci Lombok Post sendiri mulai dari wartawan, redaktur, hingga pimpinan divisi banyak jebolan komunikasi, baik dari universitas di NTB maupun universitas di Jawa. Sayangnya, mereka-mereka ini belum dilibatkan jauh oleh kampus.
“Setidaknya ambil pengalaman mereka ketika terjun di lapangan. Supaya mahasiswa ini tidak hanya teori saja,” ucapnya.
Penyampaian dari Fian ini dianggap oleh Andre cukup menarik. Sudah seharusnya memang keberadaan praktisi komunikasi dioptimalkan. Posisi ini, kata Andre, menjadi salah satu peran dari ISKI memberi masukan. Pria keturunan Minangkabau ini menyebut, sudah tidak zamannya lagi mahasiswa komunikasi diberi teori-teori dalam kelas tanpa merasakan langsung. Ia pun berharap, setelah menjadi sarjana komunikasi peran mereka cukup signifikan di daerah.
“Makanya Mas Fian, untuk eksistensi ISKI di NTB dukungan dari semua sarjana komunikasi diperlukan,” tukasnya.(*)



0 10 komentar:

Post a Comment