Sunday 4 October 2015

Sapi NTB Membawa Kesejahteraan



Pilihan pemerintah Provinsi NTB menjadikan sapi sebagai salah satu program unggulan melalui sapi, jagung, dan rumput laut (Pijar) sebagai sebuah langkah yang tepat. Peternakan sapi merupakan usaha banyak orang. Sapi bisa membawa kesejahteraan bagi banyak orang.Itu berarti dari sapi NTB membawa kesejahteraan.
Ahli Peternakan Universitas Mataram Prof Yusuf Akhyar Sutaryono mengatakan, dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2013 silam, jumlah sapi di NTB sudah mencapai 700 ribu ekor. Jumlah tersebut membuat NTB menjadi salah satu sumber sapi nasional. Padahal di NTB yang terdiri dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, ditunjang dengan populasi penduduk yang besar jumlah sapi sampai 700 ekor itu cukup besar. Terlebih ada sekitar 200 ribu orang yang bisa masuk dalam gerbong peternakan sapi.
‘’Bicara sapi itu komoditas yang besar dengan nilai ekonomi tinggi,’’ katanya.
Mantan Dekan Fakultas Peternakan Unram ini menjelaskan, jenis sapi yang dikembangkan peternak jenis Sapi Bali. Pola peternakan sudah berjalan cukup bagus, tapi belum dalam skala komersial. Pola peternakan masih tradisional. Para peternak di NTB harus diarahkan untuk menjadi peternak komersial. Berbicara mengenai peternakan komersial, tentu harus memikirkan pakan hingga pemeliharaan sapi.
‘’Ya, bicara mulai tingkat sapi lahir, kematian sapi, dan jumlah indukan,’’ ucapnya.
Yusuf mengatakan, sapi bisa beranak setiap tahun.  Problem di lapangan banyak peternak yang kurang memikirkan soal peningkatan populasi yang besar. Lebih-lebih untuk peternak yang menggunakan pola lepas seperti di Sumbawa. Bila dihitung secara cermat, sapi mengandung selama sembilan bulan. Setiap tahun bisa menghasilkan satu anak sapi. Kenyataan sapi para peternak beranak antara 18-24 bulan, tentu itu waktu yang sangat panjang.
‘’Itu berarti dalam tiga tahun hanya beranak satu atau dua pedet (anak sapi). Semestinya tiga tahun bisa tiga pedet,’’ bebernya.
Bapak 55 tahun ini menjabarkan, campur tangan pemilik sapi supaya setiap tahun bisa beranak cukup penting. Setelah sembilan bulan beranak, sapi betina akan kembali mengalami masa birahi. Dalam interval tiga bulan, peternak harus memperhatikan masa birahi sapi. Pada kurun waktu 40 hari sampai maksimal 60 hari, sapi harus sudah dikawinkan lagi.
‘’Banyak peternak yang mengabaikan masa birahi sapi,’’ terangnya.

Kendala di lapangan, untuk mengawinkan betina yang tengah birahi tentang keberadaan pejantan sapi. Jumlah pejantan di NTB dinilai memang sudah ideal. Namun, tidak semua pemilik mau ‘’meminjamkan’’ pejantan untuk mengawini betina sapi. kebanyakan pemilik sapi pedaging enggan mengizinkan sapi jantan mereka mengawini betina. Sapi pedaging jantan menjadi liar dan kurus bila dikawinkan.
‘’Sapi jantan yang untuk pedaging itu dibiarkan dalam kandang dan diberi makan saja. Karena memang dijual untuk dagingnya,’’ ujarnya.
Ini perlunya ada pemerataan pejantan di kelompok peternak sapi.  Karena kalangan peternak ketika kesulitan mendapat pejantan untuk dikawinkan juga enggan menggunakan insemininasi buatan (IB). Alasannya butuh biaya untuk IB. Setidaknya Rp 50-250 ribu harus dikeluarkan oleh peternak. Kondisinya saat ini pejantan dengan betina sapi di kelompok tidak merata. Ada beberapa kelompok peternak sapi yang memiliki pejantan terbatas.
‘’Menurut saya perlu adanya sapi pemacek. Sapi jantan yang tugasnya khusus mengawini betina birahi,’’ ucapnya.
Dalam peningkatan populasi sapi di NTB, kata Yusuf,  selain kelahiran pedet yang lambat, persoalan lain yang menghadang peningkatan populasi adalah tingginya kematian pedet. Angka kematian pedet sebelum disapih antara 6-8 bulan di NTB cukup tinggi sekitar 15 persen. Lebih tinggi lagi untuk api yang dibiarkan hidup bebas di padang rumput seperti di Pulau Sumbawa, kematian pedet di Pulau Sumbawa bisa sampai 30 persen lebih.
‘’Penyebabnya  pedet rentan mati ini harus bisa diminimalisir,’’ urainya.
Peraih Doktoral dari Monash University, Australia ini menyebutkan, ada beberapa faktor yang membuat kematian pedet cukup tinggi di NTB. Pertama soal asupan nutrisi dari indukan, ada persoalan pakan, apalagi ketika musim kemarau tiba.  Ini terutama terjadi pada sapi-sapi di Pulau Sumbawa.
‘’Indukannya memikirkan makannya sendiri juga repot. Rendahnya nutrisi berpengaruh pada susu yang dihasilkan,’’ bebernya.
Pakan alternatif, tambah Yusuf, harus dipikirkan para peternak. Sehingga dengan pemenuhan pakan yang sesuai, ikut menunjang nutrisi sapi. Dampaknya angka kematian pedet bisa terus ditekan. Selama ini sumber pakan utama masih mengandalkan rumput. Ketika kemarau tiba, rumput ikut mengering karena rumput hanya mengandalkan air permukaan.
‘’Beda ketika sudah mulai diarahkan sumber pakannya dari pepohonan,’’ katanya lagi.


Ditambahkan, kematian pedet yang tinggi juga dipicu sanitasi kandang yang buruk. Beberapa kandang kumpul tidak memperhatikan kebersihan. Lumpur bercampur kotoran yang ada di kandang bisa mencapal lutut sapi. Ini rentan memicu penyakit.
‘’Pedet ini masih sangat rawan pada penyakit. Sanitasi harus dipikirkan betul,’’ ucapnya.
Hal lain yang bisa mendorong peningkatan populasi sapi, peningkatan jumlah indukan sapi. Dikatakan, bila dalam perhitungan jumlah indukan sapi masih berada di kisaran 40 persen, bisa digenjot menjadi 60 persen. Pasalnya, peningkatan indukan ini pun ikut berpengaruh pada jumlah pedet yang dilahirkan.
‘’Indukan harus dijaga terus populasinya. Bila perlu ditambah,’’ kata bapak kelahiran 25 Oktober 1961 ini.
Yusuf yang aktif bertukar informasi dengan pengembangan peternakan di beberapa negara ini menyebut, proses perkawinan incest atau imridging itu juga disebut-sebut ikut berpengaruh pada produktifitas sapi. Kawin sapi antarsaudara ini yang sebenarnya harus mulai dihindari oleh peternak. Banyak sapi jantan yang mengawini induknya, karena kurangnya jumlah pejantan.
‘’Peternak sebenarnya bisa menyiasati dengan pertukaran sapi dengan kelompok lain. Supaya tidak ada kawin saudara,’’ imbuhnya.
Tentu saja, kata Yusuf, berbagai upaya peningkatan populasi sapi di kalangan peternak, tidak bisa hanya menunggu inisiatif peternak. Pemerintah harus ikut campur memberikan edukasi dan pemahaman. Peternak harus mulai berpikir maju untuk mengembangkan peternakan sapi.


Sumber Pakan Tidak Hanya Rumput
  
SAPI yang dikembangbiakkan di NTB merupakan jenis Sapi Bali. Sapi yang doyan memakan berbagai jenis hijau-hijauan. Rumput bukan satu-satunya sumber pakan bagi sapi.
Prof Yusuf Akhyar Sutaryono Phd mengatakan, kebanyakan peternak hanya mengandalkan rerumputan sebagai sumber makanan. Hal ini membuat pusing peternak ketika musim paceklik tiba.
‘’Saat musim panas tiba, rerumputan semuanya kering. Sapi-sapi akhirnya dikatakan kesulitan pakan,’’ katanya.
Pola pemberian pakan sapi, sambungnya, tidak hanya merunduk, menyabit ke depan saja. Pemberian makan sudah harus memikirkan mendongak dengan menyasar pepohonan.
Sapi bisa ‘’diajarkan’’ untuk memakan berbagai leguminosa sepohon seperti pohon lamtoro, turi, dan gamal. Untuk lamtoro serta turi sudah mulai ada peternak yang menjadikannya sebagai sumber makanan.
‘’Gamal yang masih belum. Ini yang harus dikenalkan secara intensif,’’ sambungnya.
Ahli pakan ternak ini menjelaskan, nutrisi yang dihasilkan hijauan pohon lebih tinggi dibanding rumput kering saat paceklik melanda. Kadar berbagai jenis legum sebanding dengan rerumputan basah yang menyumbang antara 13-15 persen protein untuk sapi.
‘’Tinggal bagaimana terus mengedukasi para peternak,’’ imbuhnya.
 Bahkan, lanjut Yusuf, dedaunan dari tanaman Kaliandra yang dikembangkan Dahlan Iskan pun masuk dalam kategori jenis hijauan. Sedikit diberi campuran, daunnya bisa diberikan sebagai pakan sapi.
‘’Itu batangnya untuk dibakar. Daunnya ketika diberi treatment bisa untuk sapi,’’ imbuhnya.

Untuk terus mendorong pakan sapi dari jenis legume, berbeda antara warga di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Perbedaan ini lantaran pola beternak sapi masyarakat di Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa berbeda. Masyarakat Lombok menggunakan pola kandang kumpul, sapi-sapi yang ada dicarikan makan. Berbeda dengan masyarakat Sumbawa yang melepas kawanan sapi ke padang gembalaan. Masyarakat Lombok tinggal mulai mencarikan berbagai jenis legume untuk pakan. Sementara masyarakat Sumbawa harus banyak menanam lamtoro, turi, dan gamal di padang gembalaan.
‘’Untuk menanam ini peternak harus didorong pemerintah. Tidak bisa dilepas begitu saja,’’ terang Yusuf.
Selain mengandalkan legum, tambahnya, pakan ternak juga bisa dihasilkan dari jerami. Batang padi yang sudah kering dibiarkan seminggu baru kemudian diberikan pada sapi. Untuk meningkatkan nutrisi pakan dari jerami bisa dicampur dengan lamtoro, turi, dan gamal.
‘’ Kalau hanya jerami saja, nutrisi untuk sapi masih kurang,’’ tambahnya.(*)
   






0 10 komentar:

Post a Comment