This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label CATATAN KAKI. Show all posts
Showing posts with label CATATAN KAKI. Show all posts

Saturday 6 May 2017

Jurnalisme Bisa Menjinakkan Hoax Dunia Maya



Kecepatan informasi abad ini begitu luar biasa. Tidak perlu lagi komputer besar, cukup dengan gadget dan paket data maka semua hal bisa terakses. Seperti pisau bermata dua, hadirnya perangkat digital nan canggih ini ada kekurangan dan kelebihan. Untuk daerah yang sedang menggeliat pariwisatanya seperti NTB, perangkat digital ini sangat membantu. Masyarakat lebih cerewet mengenalkan daerah. Disaat bersamaan melalui layar ponsel mereka bisa mengetahui prospek daerah di masa depan dan arah pengembangannya. Jika pengguna gadget ini benar-benar pintar seperti nama perangkatnya smartphone (telepon pintar), perangkat digital yang dimiliki bisa menjadi ladang empuk mengais rupiah.
 
Disaat kehidupan masyarakat terus berkelindan dengan dunia digital. Ada sisi negatif hadir. Perangkat digital begitu lekat dengan dunia maya. Dan saat ini dunia maya jejaring sosial twitter, facebook, instagram, path, dan lainnya ramai dengan tulisan bernada provokatif. Informasi dibuat seolah benar, setelah dicek ternyata hanya hoax (bohong) belaka. Hoax dan fitnah paling sering mengangkat isu suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Seruan provokatif berbau SARA sebenarnya noda di negeri ini. Beberapa kali negeri ini diuji konflik berbau SARA. Tengok saja peristiwa Poso di Maluku, peristiwa Sampit di Kalimantan Tengah, atau di Kota Mataram sendiri ada peristiwa 171. Kita harus banyak belajar dari peristiwa tersebut.

Dalam pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) serentak, dunia maya menjadi media kampanye hitam (black campaign) antar calon. Jangan kaget bila menjelang kontestasi pemilukada isi media sosial begitu semerawut dan penuh fitnah. Paling terkini bisa dilihat saat Pemilukada DKI Jakarta dari putaran pertama sampai putaran kedua. Sumpah serapah antar pendukung calon muncul silih berganti. Menjadi kian pelik, ketika ada sebagian kelompok masyarakat meragukan kebenaran berita media massa. Muncul sikap tidak percaya yang berujung apatisme. Mereka lebih suka dan gandrung pada narasi-narasi fitnah di media sosial atau portal. Dunia maya pun kini menjelma menjadi pabrik hoax dan fitnah

Pers tidak boleh tinggal diam. Media massa harus ada di garda terdepan membendung hoax dan fitnah yang beredar, utamanya dari media sosial. Bila dalam bukunya Fred S Siebert (1963) menyatakan pers sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, legislatif dan yudikatif. Di buku berjudul Four Theories of the Press yang mengisyaratkan pentingnya keikutsertaan pers dalam melakukan kontrol atas tiga pilar kekuasaan. Maka peran pers berikutnya adalah mengontrol dunia maya. Peran dan kontrol pers membuat masyarakat menyikapi persoalan secara proporsional. Tidak emosional dan lekas naik darah. Contoh bisa diambil saat kasus menimpa Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi belum lama. Gubernur yang akrab disapa Tuan Guru Bajang (TGB) dihina oleh pria keturunan Tionghoa di Bandara Changi, Singapura. Bukti permintaan maaf dari pria berinsial SHS itu cepat beredar. Kamis malam (13/4) di facebook, penulis melihat  surat itu sudah dibagikan lebih dari 10 ribu kali. Ditengah tensi Pemilukada DKI Jakarta yang lekat dengan isu SARA, penghinaan pada TGB menggelinding bak bola salju di twitter, facebook, maupun instagram. Untuk diketahui, TGB selain Gubernur NTB adalah ulama yang juga pemimpin ormas terbesar di NTB Nahdlatul Wathan. Penghinaan ini jelas memicu amarah publik. 

Gerakan-gerakan menyikapi penghinaan TGB di akar rumput sampai elit terus menggema. Bagi pers jelas informasi menarik. Figur dan isu cukup kuat. Tidak heran beberapa media nasional di Jakarta menjadikan berita TGB sebagai isu seksi. Ditengah sentimen berbau SARA respon publik cukup cepat. Sementara di dunia maya, penghinaan pada TGB masuk kategori merah. Upaya penghasutan dan gerakan rasis menjadi viral. Muncul hoax yang mengatasnamakan pendukung TGB. Tensi yang meninggi, tidak lantas diikuti awak media. Media massa di NTB sabar dan hati-hati memberitakan. Hingga akhirnya Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi angkat bicara di Islamic Center NTB, Jumat (14/4). Pada kesempatan itu orang nomor satu di NTB itu memberi penjelasan soal kebenaran informasi yang beredar di dunia maya. Mengutip dari Jawa Pos.com 14 April 2017, Gubernur menegaskan, penghinaan yang terjadi pada 9 April tersebut telah sepenuhnya dia maafkan. Terlebih lagi, yang bersangkutan juga telah meminta maaf secara terbuka melalui media massa. TGB ini mengajak seluruh elemen masyarakat NTB untuk tetap menjaga harmoni dan kerukunan yang telah terwujud dengan sangat baik selama ini. Pernyataan TGB ini menyejukkan. Media massa lokal dan nasional memberitakan pernyataan TGB, di daerah isu adanya sweeping warga keturunan yang bersumber dari dunia maya terbantahkan.  

Masyarakat NTB menunjukkan protesnya dengan menggelar demonstrasi ke Polda NTB, menuntut supaya polisi memproses secara hukum. Di kesempatan ini pun kembali media mengarahkan pemberitaan pada penegakan hukum. Tindakan rasisme SHS bisa diproses. Ditengah upaya pencarian SHS, dunia maya kembali ramai dengan munculnya akun yang meragukan penghinaan terhadap TGB. Pada kesempatan ini juga media massa tidak gegabah dan terpancing viral. Bukti kebenaran kasus yang menimpa TGB selain foto surat permohonan maaf SHS, ada foto TGB dan SHS di pos polisi Bandara Soekarno-Hatta. Di sisi lain, ada laporan dari kelompok pengacara pada lima akun media sosial yang menuduh penghinaan TGB adalah fiktif. Kasus yang menimpa TGB diatas bisa jadi menjadi bahan bakar amarah. Selain tidak agresif dalam tataran isu rasisme. Pers lebih menyoroti soal penghinaan personal. Publik juga dicerahkan upaya menyampaikan protes dengan saluran yang tepat. Mulai dari demonstrasi hingga laporan resmi ke polisi. Dan paling utama langkah klarifikasi dari TGB menjadi amunisi utama meredakan ketegangan publik.

Dapat ditarik kesimpulan, pers bisa menjinakkan viral yang ada di dunia maya. Setiap kabar yang beredar ditelusuri secara tuntas. Pers mengkonfirmasi pada pihak terkait secara langsung. Tidak gegabah menyajikan berita khususnya yang terkait dengan SARA. Pers tidak lagi berkutat pada tataran sumber masalah, pers harus lebih mengarahkan pada hal-hal solutif. Tentu saja prinsip jurnalisme damai harus dikedepankan. Menghilangkan stigma bad news is good news,  tetap memegang good news is good news.
Bagi publik sendiri, dilarang keras cepat masuk dalam pusaran informasi di dunia maya. Utamanya yang menyangkut kasus atau isu-isu berbau SARA. Bila tanpa konfirmasi dan tidak ada kecocokan dengan berita di banyak media massa, informasi itu bisa masuk kategori hoax dan fitnah. Publik harus berani mengambil sikap mengambil informasi dan berita produktif. Masyarakat tidak boleh apatis dengan media massa. Sebenar apapun informasi yang viral di media massa, tetap saja pemberitaan media massa adalah acuan. Pers bekerja  diatur oleh Undang-Undang Pers. Wartawan harus bekerja mematuhi 11 pasal kode etik jurnalistik. Seperti termuat pada Pasal 1, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk. Kata berimbang dalam pasal penegasan setiap pemberitaan menjunjung tinggi konfirmasi dari semua pihak dalam berita.(*)

Sunday 9 October 2016

Gus Mus Menghantam Hatiku

KH Mustofa Bisri, kyai Rembang, Jawa Tengah yang saya kagumi. Santun. Rendah hati. Dan humoris. Kekaguman saya pada Abah Yai yang tulisannya kerap menghiasi media massa salah satunya karena tawadhu. Sebagai kyai yang juga guru bangsa, ungkapan-ungkapannya selalu membuat hati bergetar.
Tidak bisa hilang dari ingatan ketika muktamar NU digelar di Jombang, suasana memanas. Muktamar berkubu. Dengan rendah hati beliau mengingatkan jangan sampai muktamar ribut. Malu rasanya ribut di bumi tempat NU berdiri. Bahkan beliau rela mencium kaki muktamirin supaya tidak ribut. Beliau menangis.


Sungguh luar biasa menikmati untaian hikmah dari beliau. Termasuk saat saya membaca tulisan beliau di Jawa Pos. Hati saya merasa dihantam. Tanpa menggurui kyai yang akrab disapa Gus Mus mengingatkan betapa gaya hidup dunia sudah pekat merasuk ke hati. Cinta dunia. Saya seperti sedang diingatkan. Betapa memang hidup saya diselimuti materialistik. Kebendaan masih menjadi tujuan. Sebagian besar saya harus akui, orientasi materi kuat melekat. Bangun, begitu kata saya dalam hati. Membaca tulisan Gus Mus ini tak sekadar membaca. Ini alarm untuk diri saya.

Saya mengutip tulisan Gus Mus dari facebook beliau untuk diri saya. Mengingatkan diri supaya kembali...kembali meletakkan dunia ini dalam tangan, bukan lagi dalam hati. Tulisan Gus Mus saya ambil utuh untuk blog. Supaya setiap saat saya bisa membaca tulisan hikmah ini.

Salam takzim untuk KH Mustofa Bisri


(Kutipan dari akun Facebook KH Mustofa Bisri)


Tulisanku yang dimuat di "Jawa Pos" kemarin, Jum'at 7 Oktober 2016.

GAYA HIDUP DUNIAWI
Oleh: A. Mustofa Bisri

“Piye, Le; enak zamanku tho?!”

Pertanyaan di bokong truk dengan gambar pak Harto mesem itu setiap kali berkelebat mengusikku. Aku selalu teringat presiden yang nyaris seperti raja itu terutama saat ada peristiwa kegilaan terhadap dunia, seperti kasus-kasus Korupsi dan Suap-menyuap; Politik Uang; Pejabat Publik dan Artis yang ‘tertangkap tangan’; Orang Pintar yang dapat memperbanyak uang; dlsb.
Kegilaan terhadap dunia atau materi dimulai dari keinginan menjadikan hidup ini sejahtera, hingga keinginan hidup mewah. Lalu keinginan lebih dan langgeng hidup mewah serta berkuasa. Biasanya berakhir dengan hilangnya akal dan nurani. Hubbud dunya ra’su kulli khathiah. Berlebih-lebihan menyukai dunia adalah sumber segala kesalahan.

Negeri ini mengenal 2 (dua) presiden yang nyaris seumur hidup. Soekarno dan Suharto. Sambil ‘meledek’ Pemerintahan Soekarno dengan sebutan Orde Lama , kursi kepresidenan-nya pun diambil alih. Orde lama dikritik karena ‘mengangkat’ Politik sebagai Panglima. Alasannya: politik tidak membikin kenyang. Politik tidak enak. Lalu Suharto pun mengganti dengan ‘Ekonomi sebagai Panglima’. Pembangunan ekonomi semesta pun dimulai.

Adalah wajar bila saat akan membangun ekonomi, yang dicontoh dan ditiru adalah negara-negar yang maju ekonominya. Ibarat mau membuka warung, tentu yang dicontoh dan ditiru adalah resto yang maju. Sayangnya, kita ini –di samping merupakan ‘bangsa peniru’—apabila meniru tidak melihat dan mempertimbangkan diri sendiri. Mau meniru artis mancung India yang tampak cantik dengan anting besar di hidungnya, langsung niru tanpa mempertimbangkan hidungnya sendiri yang kecil dan pesek. Mau meniru peragawati Perancis yang tampak manis dengan rok spannya, langsung meniru pakai rok span; padahal tubuhnya ukuran jumbo. Melihat orang-orang Barat –yang memiliki 4 musim, termasuk musim dingin--memakai jas-dasi dan mantel, kita pun menirunya dengan bangga; lupa bahwa kita hidup di negeri tropis. Begitu dan seterusnya.

Ternyata saat Suharto dan orbanya mau membangun ekonomi Indonesia, agaknya hanya meniru begitu saja negeri-negeri maju di Barat (apalagi tentu saja negeri-negeri itu mau menghutangi); tanpa melihat dan mempertimbangkan jati diri sendiri sebagai negara dan bangsa. Pancasila pun kemudian hanya dijadikan ‘proyek pembangunan’. Maka yang terjadi pun praktek ekonomi kapitalis (Cuma disini dengan kapital utangan) dan menghasilkan masyarakat yang materialistis. Masyarakat yang berlebihan menyukai dunia. Harta dan pangkat atau uang dan kedudukan. Apalagi dalam soal duniawi ini, Suharto dan para pemimpin beserta keluarga mereka dengan sangat jitu memberi contoh dan teladan. Sehingga Hidup Sejahtera ditangkap bulat-bulat oleh banyak kalangan di masyarakat sebagai hidup kaya, berkedudukan, dan mewah.
Anggota Dewan yang dulu hanya diberi ongkos transportasi, karena kerjanya ‘cuma’ menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol pemerintah; oleh Pemerintahan Suharto diberi gaji berlimpah, karena tugasnya jauh lebih berat, istiqamah menyetujui kehendak pemerintah atau diam. Maka sejak itu menjadi anggota parlemen dipandang sebagai mata pencaharian yang sangat menjanjikan. Pangkat dan harta teraup semuanya.
Pendidikan pun tentu saja direncanakan dan dibangun atas asas ‘kehidupan duniawi’ model itu. Bukan atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Orientasi dan proses pendidikan semuanya bermuara kepada kehidupan dunia ini semata. Ijazah dan cari kerja atau cari kedudukan adalah hal paling pokok dan penting melebihi apa saja. Maka Pendidikan pun hanya lebih merupakan pengajaran dan boleh dikata tanpa mendidik. Hasilnya pun kebanyakan adalah orang-orang terpelajar yang tidak terdidik.    

Kemudian fenomena cepat-kilatnya orang mendapatkan sesuatu kekayaan dan pangkat, melahirkan gaya hidup baru. Gaya hidup instan yang mengukuhkan kehidupan serba duniawi itu. Ingin cepat kaya, ingin menjadi kiai atau sarjana; ingin pelanggaran tidak dihukum, ingin jadi artis, hingga ingin menjadi pemimpin pemerintahan, maunya sekejap. Kun fayakun. (Fenomena Gatot yang ‘menjerumuskan’ banyak artis dan Dimas Kanjeng yang ‘menjerumuskan’ Marwah Daud dan banyak orang pintar lainnya, hanyalah contoh kecil dari akibat mentalitas duniawi dan gaya hidup instan ini).

Maka ‘ajaran hidup’ warisan tinggalan Suharto yang kemudian dilanjut-teruskan oleh murid-murid setianya ini belakangan menimbulkan masalah yang tak putus-putus. Dimulai dari persaingan kepentingan duniawi, rebutan kedudukan, dan keserakahan yang kemudian beranak-pinakkan korupsi, suap-menyuap, penipuan, pertikaian, hingga saling fitnah.

Menurutku, hendak melakukan Revolusi Mental, kita seharusnya melihat dan mengetahui lebih dahulu mentalitas kita selama ini. Lalu meninjau kembali dan mengkaji ulang pandangan kita selama ini, terutama tentang dunia dan tentang tujuan hidup kita di dunia ini. Dengan kata yang lebih singkat, kita perlu kembali ke jati diri kita sendiri. Kita harus kembali memandang dunia hanya sebagai persinggahan sebentar. Materi bukan segala-galanya.
Kiai Husein Muhammad dari Pesantren Arjawinangun , dalam hal ini, secara tidak langsung menawarkan gaya hidup Zuhud. Ini memang resep manjur yang biasa diberikan para tabib rohani. Membalik gaya hidup. Tapi menurutku ini terlalu drastis dan ekstrem. Bagaimana masyarakat yang sedemikian menyintai dunia (bahkan tingkat cintanya kepada dunia sudah sampai ke taraf menghilangkan akal-sehat), disuruh zuhud? Bagaimana kalau kita mulai saja dari gerakan hidup sederhana? Kalau setuju, sekaranglah saatnya yang paling baik untuk memulai. Di Tahun Baru Hijriah ini, semoga Allah menolong dan membantu kita dalam rangka ‘hijrah’ dari berlebih-lebihan memandang dunia kepada kesederhanaan. ‘Hijrah’ dari menganggap materi sebagai segala-galanya kepada hanya sekedar sarana. Semoga Allah menolong dan membantu kita dalam melakukan kesibukan yang semakin mendekatkan diri kita kepadaNya. Amin.

Thursday 6 October 2016

Buktikan Rinjani Bukan Tong Sampah!



MELIHAT sampah di Gunung Rinjani. Sedih. Bagaimana tidak sedih, sampah ini dihasilkan oleh mereka yang mengaku pecinta alam. Alih-alih membuat Gunung Rinjani kian menawan, sampah disana-sini justru bertebaran di Gunung Rinjani. Terlalu. Dimana perasaan pecinta alam ini, setelah menikmati anugerah Sang Pencipta kok tega mengotorinya.

Gunung yang juga dikenal dengan Segara Anaknya ini sedang mendunia. Statusnya menjadi calon geopark dunia. Tidak saja Indonesia, negara lain pun harus ikut menjaga Rinjani. Lalu bagaimana kepedulian kita, masyarakat Indonesia terhadap Rinjani. Buat apa anda naik ke Rinjani kalau malah merusak. Menghilangkan keindahan Rinjani. Lebih baik Rinjani sepi!.

Semua pihak, dari Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), Geopark, pemerintah kabupaten sampai provinsi memang memiliki tugas menjaga Gunung Rinjani dari sampah. Tapi, tiada guna bila beragam upaya dari pemerintah tidak didukung oleh pendaki Gunung Rinjani. Mereka datang membawa sampah, pulang juga harus membawa sampah.

Wakil Gubernur NTB H Muhammad Amin menekankan pentingnya gerakan bersama untuk membersihkan Gunung Rinjani dari sampah. Mulai dari masyarakat, komunitas, pelaku wisata, pengelola taman hingga kerja sama antara pemerintah daerah. Sampah Rinjani menjadi persoalan yang perlu ditangani segera. Kelompok-kelompok sadar wisata, termasuk para pemuda untuk aktif menjaga kebersihan gunung. Semangat untuk menjaga kebersihan Gunung Rinjani harus dibangun bersama. Untuk mencapai tahap geopark ini tidak mudah. Banyak proses yang telah dilalui, termasuk kelestarian dan keamanan, hingga kekayaan budaya yang ada di sekitar gunung. Untuk itu, masalah kebersihan, keamanan dan kenyamanan di wilayah Gunung Rinjani dan sekitarnya wajib dijaga. Sebagai orang yang suka mendaki, ia sangat menyayangkan bila keindahan alam rusak gara-gara perbuatan manusia yang membuang sampah sembarangan.

Pemprov NTB ke depan rencananya akan bekerja sama dengan pemerintah kabupaten yang masuk dalam wilayah Rinjani, seperti Lombok Timur, Lombok Tengah dan Lombok Utara. Menurutnya harus ada komitmen dan kerja sama yang kuat antarpemerintah. Misalnya dengan membangun gerakan clean up bersama untuk membersihkan Rinjani. 

Rasanya apa yang disampaikan oleh wagub tidak ada salahnya untuk dilakukan. Semua elemen bergandengan tangan untuk peduli dengan kondisi Gunung Rinjani. Pasalnya, dari informasi yang beredar setiap tahun ada puluhan ton sampah di Rinjani, tidak sampai seperempat yang terangkut. Jika itu terus terjadi, bisa bayangkan akan ada gunung diatas Gunung Rinjani yaitu Gunung Sampah.(*)

Tuesday 4 October 2016

Karomah Dimas Kanjeng yang Mana?

Gemes, jengkel, muak, dan lucu. Perasaan campur aduk menyaksikan sosok Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Sejak ditangkap 22 September, Dimas Kanjeng nampang terus di media cetak dan elektronik. Mula-mula penangkapannya karena otak pembunuhan. Belakangan pemberitaannya mengalir ke soal "karomahnya". Siapa Dimas Kanjeng sampai mantan politikus kondang dan aktivis perempuan Marwah Daud membela habis. Sampai munculah soal "karomah" Dimas Kanjeng. Parahnya "karomah" itu soal kemampuan menggandakan uang. Parah betul. Siapa gak gemes, kalau sudah begini.


Yang bikin jengkel, si Dimas Kanjeng memiliki ribuan orang pengikut. Dari pemberitaan menyebut sampai 23 ribu. Selain lulusan Doktor Amerika Serikat seperti Marwah Daud, pengikutnya dari berbagai kalangan, pengusaha, polisi, tentara, sampai politisi. Mereka menamakan diri "santri". Pondok pesantren (ponpes) zaman sekarang saja, santrinya tidak banyak yang bisa puluhan ribu. Begitu kuatnya magnet Dimas Kanjeng.

Kelakuan Dimas Kanjeng yang membuat muak adalah kedok agama yang dibawa. Belakangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyebut sesat. Untuk menjadi pemimpin dengan kedok agama begitu mudahnya zaman sekarang. Belum usai kasus Gatot Brajamusti, ada lagi Dimas Kanjeng. Ritual agama seperti pengajian, istighotsah, zikir bersama.

Namun, dari semua kelakuan Dimas Kanjeng saya tetap saja melihat kelucuan. Mulai dari istilah karomah. Tanpa sadar kita sering menyebut soal kelebihan manusia dengan karomah. Atau sedikit-sedikit menyebut mukjizat. Betapa mudahnya zaman sekarang label mukjizat dan karomah terucap. Pada pelajaran agama sekolah dasar kelas VI atau ibtidaiyah kelas IV, perbedaan ini sudah disampaikan. Hanya rasul dan nabi yang menerima Mukjizat. Sementara Karomah atau keramat itu untuk waliyulloh. Untuk manusia biasa disebut Maunah. Semuanya keluar dengan seizin Allah, bukan untuk adigang, adigung, adiguna. Kalau Dimas Kanjeng itu bagaimana? Tidak usah dijelaskan, melihat youtube dengan kemampuan mengeluarkan uang saja sudah aneh. Bila karomah waliyulloh diumbar seperti ini, hilanglah sebutan di kalangan santri "hanya wali yang tahu dirinya wali". Memang tidak pernah Dimas Kanjeng mengklaim dirinya wali, tapi istilah karomah bukankah hanya dinisbatkan pada wali Allah?

Orang-orang seperti Dimas Kanjeng Taat Pribadi akan terus muncul dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Perbuatannya menggerus agama, mendegradasi aqidah, dan menihilkan akal. Bagaimana tidak menggerus agama, ketika ada ribuan orang menetap di Padepokan Dimas Kanjeng di Desa Wangkal, Probolinggo beribadah untuk mendapat harta. Menanti uang yang disetor berlipat, mendapat emas yang banyak, dan kesejahteraan hidup. Berbulan-bulan menetap tanpa bekerja.

Degradasi aqidah terlihat, saat ratusan pengikut diajarkan salawat fulus, salat tuyul, dan ritual-ritual yang berlawanan dengan agama. Embel-embelnya bila dilakukan uangnya akan berlipat. Hipnotis harta itu seolah membuat akal hilang. Sejak kapan ada uang bisa berkembang biak dalam kotak (baca: ATM kayu), sejak kapan karena bolpoint bisa mengusai enam bahasa (bolpoint laduni), dan sejak kapan kantong bisa menghasilkan emas.

Apa yang dipraktikkan Dimas Kanjeng ini dalam kondisi sadar, sanggup ditolak. Persoalannya, akal sedang dihipnotis oleh harta. Iming-imingnya adalah banyak uang tanpa kerja. Enak kan, tinggal datang ke orang-orang seperti Dimas Kanjeng bisa kaya. Meski berbulan-bulan menunggu, tetap sabar.

Salah satu ucapan pengikut Dimas Kanjeng, kesetiaan mereka karena mengharap keberkahan. Doktrin dan sulap-sulap Dimas Kanjeng masuk cukup dalam. Tipuan uang dan emas membutakan semua. Sampai ada yang berkeyakinan yang ditangkap oleh polisi bukan Dimas Kanjeng, hanya bayangannnya.

Mencari keberkahan atau barokah, memang sudah menjadi kultur di negeri ini. Dan lagi-lagi disalahgunakan oleh orang-orang mencari untung. Seperti tertuang dalam kitab Mafahim an Tushahhiha karangan Sayyid Muhammad bin Alwiy Almaliky, " Sebaiknya kita mengerti bahwa mengharapkan barokah itu tidak lain hanyalah sebagai sarana menuju Allah SWT lewat sesuatu yang diberkahi Allah SWT, baik berbentuk atsar, tempat maupun seorang hamba Allah. Orang yang diberkahi Allah itu harus diyakini bahwa dia tetap saja tidak mampu memberikan suatu kebaikan dan menolak malapetaka kecuali atas izin Allah. Atsar yang diberkahi itu lantaran dihubungkan kepada seseorang yang memiliki kemuliaan tersebut yaitu dimuliakan, diagungkan, dan dicintai kerana kemuliaan tersebut diberikan Allah. Sedang tempat peninggalan yang diberkahi itu hakikatnya tidak ada keutamaan yang khusus pada tempat tersebut, hanya saja keutamaan itu disebabkan kebaikan dan kebaktian yang selalu dikerjakan disana," (Lajnah Ta'rif wan Nasyr NU Jombang). Semoga kita semua tidak kehilangan agama dan sesat akal karena harta.(*)

Nasib Ahmadiyah di Kota Mataram

Sepoi angin menerpa Jalan Transmigrasi, Majeluk, Kota Mataram. Ada salah satu bangunan yang penuh umbul-umbul bendera merah putih. Inilah Asrama Transito. Sudah sepuluh tahun lebih asrama ini menjadi peneduh bagi Jamaah Ahmadiyah Mataram yang terusir. Kondisi bangunan penampung Jamaah Ahmadiyah istimewa. Untuk memisahkan antar keluarga, ada sekat dari triplek. Sebelumnya pemisah mereka hanya spanduk bekas. Total ada 33 kepala keluarga (KK) atau 120 jiwa Jamaah Ahmadiyah yang berada di Asrama Transito. Senyum mengembang dari Jamaah Ahmadiyah Mataram ketika disapa. Tidak banyak yang tahu, cerita pahit pengusiran berulang kali mereka alami. Kisah pengungsian Jamaah Ahmadiyah Mataram ini dimulai tahun 2006 silam. Sebelumnya Jamaah Ahmadiyah tinggal di Sambi Elen, Bayan, Lombok Utara tahun 2001. Ada gesekan karena yang dianut oleh para jamaahnya. Mereka terusir dari Lombok. Puluhan jiwa Jamaah Ahmadiyah kemudian pergi ke Pulau Sumbawa. Lagi-lagi gesekan terjadi di Pulau Sumbawa. Pertikaian pun pecah. Mereka harus kembali ke Pulau Lombok, mencari daerah yang bisa menerima mereka. Letih sering berpindah, puluhan jiwa Jamaah Ahmadiyah Mataram memutuskan mencari perumahan. Pilihan jatuh di Perumahan Bumi Asri, Ketapang Lombok Barat. Jamaah Ahmadiyah yang ada di beberapa wilayah, akhirnya memutuskan menjual aset dan membeli rumah di Ketapang, Lombok Barat. Tepat 2005 Jamaah Ahmadiyah mulai menempati rumah baru di Ketapang. Kegembiraan itu tidak lama, pertengahan 2006 mereka kembali harus menerima diskriminasi. Ada pelemparan batu sampai penjarahan. Tidak ingin terjadi bentrokan lebih besar, pemerintah pun akhirnya mengungsikan Jamaah Ahmadiyah ke asrama milik Dinas Sosial Provinsi NTB. Empat tahun berjalan, Jamaah Ahmadiyah mencoba kembali ke Ketapang, Lombok Barat. Rupanya mereka belum juga diterima. Tahun 2010 penyerangan ke rumah Jamaah Ahmadiyah kembali terjadi. Itulah akhirnya membuat mereka memutuskan tidak nomaden (baca: berpindah). Apa yang dialami Jamaah Ahmadiyah Mataram karena mereka dianggap berbeda dalam soal keyakinan. Apa yang terjadi pada Jamaah Ahmadiyah seolah melawan konstitusi di Indonesia, pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tertulis, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Sementara di Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Kalaupun Jamaah Ahmadiyah dianggap sesat atau menyimpang menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan organisasi itu sesat atau tidak ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pada praktiknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia diberikan rekomendasi agar diberi peringatan keras sekaligus perintah penghentian kegiatan. Dengan langkah-langkah yang sudah diambil pemerintah, seharusnya tidak boleh lagi ada diskriminasi pada Jamaah Ahmadiyah Mataram. Mereka yang sebagian besar bekerja serabutan seperti penjual di pasar, tukang pikul, ataupun penjual hasil kebun jelas tidak memiliki banyak yang. Bila selalu berpindah dan meninggalkan aset, ekonomi mereka kian sulit. Koordinator Jamaah Ahmadiyah Mataram Syahidin bercerita, setelah bertahun-tahun tinggal di Asrama Transito, akhirnya 2015 silam mereka mendapat pengakuan. Kota Mataram memberikan KTP. Sebelumnya di Pemilu Presiden 2009, Pemilihan Kepala Daerah Kota Mataram 2010, Pemilihan Gubernur NTB 2013, Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Legislatif 2014 semuanya tidak pernah menggunakan hak pilihnya. Tentu saja soal KTP menjadi ganjalan untuk mereka menggunakan hak pilih. Perhatian pemerintah daerah untuk Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito cukup bagus. Kegiatan sosial dan keagamaan kerap digelar di lokasi mereka. Pemerintah tidak boleh berhenti mendukung Jamaah Ahmadiyah. Unsur kemanusiaan harus dikedepankan. Jangan sampai karena berbeda kemudian mereka ditindas dan diabaikan. Sepuluh tahun lebih tinggal di Asrama Transito, Jamaah Ahmadiyah berusaha untuk menyatu dengan masyarakat sekitar. Akulturasi dan pembiasaan dengan warga Majeluk, Kota Mataram terus dilakukan. Seperti hari kemerdekaan 17 Agustus 2016, Jamaah Ahmadiyah Mataram menggelar beragam lomba. Halaman Asrama Transito menjadi lokasi beragam lomba. Kemerdekaan Indonesia sudah 71 tahun. Menurut Syahidin, sudah seharusnya diskriminasi itu hilang. Kepada siapapun selama warga Indonesia harus dilindungi. Seperti burung yang bebas, kemanapun terbang tidak ada yang mengusik. Jamaah Ahmadiyah Mataram ingin merasakan kebebasan tanpa diskriminasi. Tidak ada yang ingin hidupnya selalu dibayangi ketakutan. Ke mana pun melangkah selalu diabaikan, dikucilkan, bahkan diusir. Indonesia terdiri atas beragam suku, agama, ras, dan golongan. Almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dahulu mati-matian membela Jamaah Ahmadiyah. Mengutip kata-kata Gus Dur, "Berbuat baiklah kita kepada siapa pun, bila kita baik orang tidak akan tanya apa suku dan agamamu,".

Dunia Digital Bukan untuk Update Status Aja

Dunia digital maju pesat. Tidak seperti 20 tahun lalu, akses digital terbatas. Akses yang dipakai pun perangkatnya gede minta ampun. Aksesnya pun leletnya minta ampun. Susah sekali. Dibarengi akses komunikasi pun terbatas. Saat itu pager paling hits. Ada handphone, tapi terbatas. Besarnya pun minta ampun.  Siapa sangka kalau sekarang dunia berkembang sepesat ini. Dunia sanggup dijangkau dengan perangkat sebesar telapak tangan atau yang disebut smartphone. Ditambah lagi gadget canggih yang mulai menggeser komputer. Dunia digital maju lebih cepat yang tertinggal akan gagap teknologi.
Para orang tua atau generasi X, geleng-geleng dengan kemajuan ini. Pernah melihat balita yang sudah pintar memainkan tablet. Entah sedang nonton youtube atau bermain game, yang jelas anak sekarang dari bayi sudah kenal teknologi. Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah era digital yang canggih ini membuat kita untung atau rugi? Kalau untung yang dimaksud kemudahan informasi dan kecepatan akses, itu sebagian kecil saja. Ada untung yang lebih besar lagi. Mana kala era digital dimanfaatkan dengan jenius, tidak sekadar akses yang mudah. Dunia digital jadi ladang menghasilkan rupiah. Dengan otak encer uang bisa mengalir begitu deras. Lihat saja Nadim Makarim pendiri Go-jek di dalam negeri. Tidak hanya untung untuk dirinya saja, hadirnya aplikasi itu membuatnya bisa membuka lapangan kerja untuk ratusan ribu orang. Baik melalui ojek motor atau mobilnya. Disebut-sebut perputaran uang para ojek saja menyentuh Rp 600 miliar setiap bulan. Mau yang lebih dahsyat lagi, tengok pendiri facebook. Media sosial dengan jumlah pengguna terbanyak di dunia. Melebihi 100 juta pengguna di Indonesia. Kekayaannya Mark Zuckerberg karena facebook triliunan. Uang terus mengalir dari aplikasi yang dicetuskan. Belum lagi aplikasi lain seperti line, whatsapp, snapchat, dan aplikasi lainnya. Aplikasi yang seharian mengendalikan komunikasi kita. Nyaris setiap gadget wajib memiliki aplikasi ini. Situs jual beli seperti bukapalak.com tokopedia.com, jual-beli.com, traveloka.com, maupun jualio.com muncul silih berganti. Perangkat startup ini seolah mendompleng eksistensi era digital. Untuk jualan tidak lagi perlu buka toko. Cukup aktif memainkan gadget, para pelanggan tinggal pesan via online. Benar-benar semuanya dibuat mudah. Yang penting punya perangkat dan menyiapkan kuota internet. Semuanya akan mulus. Potensi era digital masih terbuka lebar. Modalnya cukup kreativitas dan terobosan. Harus diakui di Indonesia era digital masih banyak digunakan untuk senang-senang. Cari popularitas dan dikenal banyak orang. Curhat atau mellow di sosial media. Orang seperti Nadim Makarim memang tidak banyak. Lini digital belum dipandang sebagai peluang. Gaya konvensional masih digunakan. Ini jadi tantangan bersama, memandang era digital sebagai untung. Apalagi pengguna internet di Indonesia salah satu yang tertinggi di dunia.

Friday 30 September 2016

Lotim Penyangga Cabai Nasional

Tahun ini Kabupaten Lombok Timur (Lotim) dipercaya menjadi daerah penyangga cabai nasional. Ini tidak terlepas dari luas area tanam cabai di Lotim yang mecapai 5 ribu hektare setiap tahunnya. Tahun ini Pemkab Lotim mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian untuk bibit cabai, pupuk, serta obat-obatan untuk area tanam sekitar 450 hektare. Kepercayaan Lotim sebagai penyangga cabai ini tentu cukup menggembirakan. Lotim adalah kabupaten di NTB yang memiliki wilayah paling luas. Tidak hanya luas wilayahnya, jumlah penduduknya pun paling banyak diantara kabupaten/kota lain. Dengan adanya kepercayaan nasional itu, bisa semakin mengembangkan pertanian di Lotim. Efeknya dirasakan langsung oleh petani. Karena selama ini cabai komoditi harganya cukup bagus di pasar. Harganya jatuh saat banjir panen saja. Kepala Dinas Pertanian dan Peternakan Lotim L Zaini menilai petani di Lotim sudah mulai pintar. Petani sudah tahu harga tanaman pangan itu tidak bisa melonjak tinggi. Petani pun memutuskan untuk berpindah ke tanaman hortikultura. Petani tidak sembarangan menanam. Mereka sudah belajar mekanisme tanam yang tepat. Menghindari membanjirnya cabai di pasaran. Penuturan pengusaha cabai Lotim, hasil tanaman cabai di Lotim bukan saja dipasarkan di dalam negeri saja. Pangsa pasarnya sudah menembus manca negara. Cabai-cabai panen petani di Lotim dikirim ke Batam, Tanjung Pinang, Pontianak, dan Banjarmasin. Sementara untuk luar negeri, biasanya pesanan banyak datang dari Singapura, Malaysia, dan negara Asia Tenggara lainnya. Setelah mendapat status sebagai penyangga cabai nasional, pemerintah pusat memang harus memperhatikan serius nasib petani. Selama ini salah satu faktor yang membuat petani kurang bersemangat adalah soal daya jual. Daya jual sejumlah produk pertanian kerap hancur disaat hasil pertanian bagus. Ketika memberikan bantuan, pemerintah tidak sampai mengawal ke distribusi. Pengembangan sektor pertanian, tidak hanya proses produksi saja. Mengawal sampai ke penjualan paling utama. Pasalnya, bila penjualan pertanian bagus, petani akan semangat untuk mengembangkan dunia pertanian. Seringkali petani dihadapkan dengan tengkulak atau pengusaha nakal. Semoga pemerintah memperhatikan rantai perdagangan komoditi pertanian. Membuat petani untung.

Saturday 24 September 2016

Waspadai Kedok Ahli Agama Palsu

URUSAN agama jangan sembarangan. Sebagai pedoman sumbernya adalah Alquran dan hadist. Bila sudah keluar dari keduanya, awas dibawa ke jalur sesat. Siapapun yang mengaku alim ulama, kyai, ataupun tuan guru sepanjang mengajak kepada kesesatan, segera tinggalkan. Belum lama ini kita semua dibuat heboh dengan Gatot Brajamusti. Ia mengklaim diri sebagai ahli spiritual. Murid yang datang beragam. Termasuk kalangan selebritis. Namanya melambung karena menjadi guru artis. Belakangan citra buruk ditampilkan oleh Aa Gatot. Guru spiritual ini kedapatan pesta narkoba di Kota Mataram. Penangkapan ini mengungkap borok lainnya. Ternyata Aa Gatot kerap mengaku melawan jin di padepokannya. 

Untuk memberi makan jin, Gatot memberi makan aspat. Belakangan makanan jin ini diketahui adalah narkoba. Di kediaman Gatot diamankan senjata api ilegal dengan ratusan amunisi. Serangkaian ulah negatif itu makin memalukan dengan kasus asusila. Gatot disebut kerap berbuat mesum dengan muridnya. Dalihnya itu perbuatan jin. Belum selesai kasus Aa Gatot, menyusul lagi kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi. Pria yang mengklaim diri sebagai tokoh agama dari Probolinggo. Beritanya tidak kalah ramai. Penangkapan Dimas Kanjeng sampai melibatkan 1.400 lebih polisi. Dimas Kanjeng memiliki santri puluhan ribu. Pengikutnya pun mati-matian menjaganya. Dimas Kanjeng dikenal karena kemampuannya menggandakan uang. Orang berbondong-bondong datang ke padepokan untuk mendapatkan banyak uang. 

Nyatanya Dimas Kanjeng hanya pembual belaka. Kedoknya diketahui santrinya. Untuk menghilangkan jejak, ia pun membunuh santrinya. Hal itu yang membuat aparat bertindak. Kesamaan antara Gatot dan Dimas Kanjeng adalah kemampuannya memanipulasi diri. Ahli spiritual hanya kedok semata. Ritual keagamaan seperti pengajian, zikir, istighotsah, dan masih banyak lagi sebagai pembungkus. Ritual itu untuk meyakinkan orang bahwa apa yang diajarkan adalah baik. Padahal bila jeli, dengan mudah kedok itu bisa diketahui. Hal-hal negatif seperti permainan Gatot dengan jin atau penggandaan uang Dimas Kanjeng tidak pernah diajarkan dalam agama. Manusia tentu saja, urusannya dengan sesama manusia. Menata hubungan yang baik. Agama juga mengajarkan hidup butuh kerja keras. Ingin mendapat uang banyak, tentu bekerja dengan giat. Tidak ada istilah penggandaan uang. Intinya jangan mudah ditipu ahli spiritual.

Friday 2 September 2016

Lelucon Mukidi dan Gatot Brajamusti

SELERA humor masyarakat Indonesia sedang naik karena Mukidi. Nama yang Indonesia banget ini seolah menghiasi segala lini, mulai dari media massa, media sosial, sampai media komunikasi. Sosoknya yang sederhana dan konyol, membuat kita mesam-mesem. Tingkahnya polos. Orangnya tidak terlalu saleh, sedikit urakan. Ditengah himpitan dan beban ekonomi yang kian berat, rasanya sah-sah saja kalau Mukidi dianggap sebagai penghibur. Kita memang butuh banyak humor supaya hidup ini tidak kaku. Lelucon sendiri tidak selalu dari hal konyol dan jenaka. Kadang dari ulah-ulah tidak terduga bisa membuat terhibur. Apalagi kalau itu menyangkut pejabat, politisi, ataupun publik figur. Seperti lelucon dari Gatot Brajamusti yang diciduk oleh aparat karena narkoba. Pria yang akrab disapa Aa Gatot ini baru saja ditetapkan menjadi Ketua Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi) 2016-2021. Lima tahun sebelumnya juga menjabat ketua. Tidak banyak memang yang mengenal Aa Gatot dalam dunia film. Namanya tidak sebeken aktor-aktor seperti Vino G Bastian, Reza Rahardian, Dedi Mizwar, atau Tora Sudiro. Aa Gatot memang main film, namun tidak terlalu meledak di pasaran. Namanya justru beken ketika menjadi penasehat penyanyi kenamaan Indonesia Reza Artamevia atau artis Elma Theana. Aa Gatot naik daun karena gencarnya pemberitaan pada artis-artis yang belajar spiritual padanya. Aa Gatot beberapa jam dilantik sebagai ketua, diamankan oleh polisi bersama istrinya. Di ruangan itu juga ada anak perempuannya. Penggerebekan itu membuat sejawatnya terkejut. Mereka mengira sedang ada akting, maklum saja disaat yang sama Aa Gatot sedang ulang tahun. Setelah narkoba dikeluarkan dari kantongnya, cerita dimulai. Pria yang selama ini dikenal sebagai penasehat spiritual para artis ini nyatanya positif pengguna narkoba. Penggerebekan yang terjadi di Kota Mataram ditindaklanjuti dengan penggerebekan di Jakarta. Hasilnya, senjata api ilegal dengan ratusan peluru aktif, hewan dilindungi yang diawetkan, dan sabu-sabu ikut diamankan. Boleh saja orang terdekat Aa Gatot mensinyalir ada politisasi kasus narkoba terkait pemilihan Parfi. Luar biasa, polisi di Jakarta dan Kota Mataram bisa digerakkan. Namanya juga orang film, pikirannya tidak pernah jauh dari soal skenario dan settingan. Namun yang tidak bisa disangkal hasil pemeriksaan menunjukkan positif pengguna narkoba.(*)

Monday 18 July 2016

Ortu Harus Rajin ke Sekolah

HARI pertama masuk sekolah, keriuhan ditunjukkan para orang tua. Surat edaran (SE) Menteri Pendidikan untuk mengantar anak di hari pertama sekolah direspon. Jika biasanya orang tua tidak sempat mengantar, kali ini ramai-ramai menyempatkan diri. Entah orang tua menteri, pejabat daerah, pengusaha, atau pegawai negeri semua ramai mengantar anak mereka. Ramainya sekolah tidak lagi karena ratusan siswa. Para orang tua ikut meramaikan. Di daerah para kepala sekolah (kasek) pun ramai-ramai mendorong kehadiran orang tua. Tidak semua orang tua memang menganggap penting mengantar sekolah. 

Tidak sedikit yang nyinyir menganggap mengantar anak sekolah berlebihan. Membuat anak tidak bisa mandiri. Ratusan orang tua yang mengantar sekolah pun dianggap lebay. Itu pilihan. Semua bebas berpendapat dan memberi penilaian. Tidak bisa disalahkan. Jadi berikan kesempatan juga mengapresiasi orang tua yang mengantar anak sekolah di hari pertama. Itu salah satu bukti orang tua peduli kepada anak. Tidak sekadar memilihkan sekolah semata. Para orang tua pun banyak memanfaatkan kesempatan ini untuk berinteraksi dengan warga sekolah. Berkomunikasi dengan para guru maupun orang tua yang lain. Jauh hari, Menteri Pendidikan Anies Baswedan memberikan penekanan, kedatangan para orang tua ke sekolah sebagai bentuk kepedulian pada pendidikan. Orang tua bisa melihat lingkungan pendidikan anak. Lebih penting interaksi antara sekolah dengan orang tua akan terbangun. Setelah mengantar anak sekolah di hari pertama, orang tua merasa sudah lepas tanggung jawab. Bila perlu sesering mungkin mengantar sekolah. Rajin berinteraksi dengan para guru. Bila perlu ikut memberi masukan untuk dunia pendidikan. Bukankah mendidik anak bukan hanya tanggung jawab sekolah. Semoga para orang tua makin rajin memantau pendidikan anak.(*)

Sekolah Bukan Penitipan Anak

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), mengeluarkan surat edaran (SE) tentang mengantar anak sekolah di hari pertama. Tujuan SE ini membuat supaya orang tua hadir dan mendampingi anak-anak mereka di hari pertama sekolah. SE tersebut sesungguhnya tidak mengikat. Orang tua bisa saja mengabaikannya. Tidak peduli di hari pertama sekolah. Alasannya jelas, sibuk kerja. Pertanyaannya kemudian, apakah sekolah itu tempat penitipan anak? Melepaskan anak mendapat pendidikan. Orang tua kerja cari uang. Kemudian orang tua membayar uang. Beres. Sudah bayar ke sekolah, maka berikutnya urusan guru adalah mendidik anak. Semoga pikiran para orang tua tidak seperti itu! Dalam SE Kemendikbud soal mengantar hari pertama sekolah ini, berupaya melibatkan orang tua dalam pendidikan anak. Orang tua bisa mengetahui cara pendidikan di sekolah. Mulai dari kualitas guru hingga kualitas pengajaran. Dengan begitu, seandainya anak kurang maksimal di sekolah, orang tua bisa dengan mudah mengontrol. Apa yang dilakukan oleh kementerian ini sepertinya langkah taktis membuat orang tua peduli pendidikan. Kita tentu masih ingat, ketika ada orang tua melaporkan guru ke polisi. Akibat guru menegur siswa di sekolah. Bentuk teguran guru di sekolah beragam. Ada yang cukup dengan lisan. Ada guru yang memberi sanksi mendidik. Tidak sedikit pula guru mendidik dengan memberi sanksi fisik. Hukuman yang diberikan guru ini pun sifatnya bukan menciderai, justru itu bentuk kasih sayang guru. Pemahaman seperti ini tentu muncul bila orang tua dan sekolah rajin berinteraksi. Memiliki kemauan yang sama mendidik anak. Keluarga tetap menjadi rumah besar mendidik anak. Waktu anak di sekolah tidak sampai 10 jam. Selebihnya anak banyak di rumah. Agak aneh bila ada orang tua membebankan peran pendidikan pada sekolah.(*)

Thursday 14 July 2016

Sekolah Swasta yang Dipinggirkan

TIDAK bisa mengecilkan peran sekolah, baik swasta maupun negeri. Keduanya sama-sama memiliki peran sebagai lembaga pendidikan. Mencerdaskan dan memberikan pengetahuan pada anak bangsa. Sekolah negeri sejauh ini di NTB masih menjadi primadona. Alasannya selain fasilitas lebih lengkap, sekolah negeri ditunjang dengan guru-guru yang berpengalaman. Meski sebenarnya kualitas sekolah swasta pun tidak kalah. Hanya memang fasilitas dan jumlah guru belum selengkap sekolah negeri. Namun di beberapa daerah seperti di Pulau Jawa atau Pulau Sumatera, sekolah swasta yang jadi primadona. Gengsi para orang tua justru ada di sekolah swasta. Tengok saja di kota besar seperti Surabaya, Jakarta, ataupun Medan, sekolah swasta merajai daerah. Selain guru yang bagus, sekolah swasta tersebut ditunjang fasilitas lengkap. Sekolah negeri paling favorit pun dianggap biasa saja. Kondisi ini berbanding terbalik bila melihat sekolah negeri di NTB. Patokan orang tua melihat anaknya sukses adalah masuk di sekolah negeri paling favorit. Ini bisa dimaklumi, sekolah swasta yang ada di NTB, khususnya di Kota Mataram dari sisi kualitas belum mengungguli sekolah negeri. Kalaupun ada, itu hanya beberapa sekolah swasta. Yang terlihat justru ada disparitas antara sekolah negeri dan swasta. Keberpihakan pemerintah condong ke sekolah negeri. Sekolah swasta dibiarkan berjalan tertatih-tatih sendiri. Tidak hanya dari sisi dukungan fasilitas. Kurangnya dukungan pun tampak dari kebijakan yang dikeluarkan. Salah satu contoh di Kota Mataram, adanya aturan bina lingkungan (BL). Dimana sekolah negeri masih diberi kesempatan untuk mengambil siswa di sekitar sekolah. Meski sebelumnya siswa sudah masuk melalui jalur bina prestasi maupun jalur online. Ini kemudian yang membuat jumlah siswa yang masuk sekolah negeri melebihi kuota. Antara jumlah siswa yang masuk dengan ruangan tersedia tidak seimbang. Bandingkan dengan ruangan sekolah swasta yang kosong melompong. Kondisi ini yang kemudian membuat sekolah swasta selalu berteriak saat tahun ajaran baru. Siswa berduyun-duyun ke sekolah negeri. Meski ada beberapa sekolah negeri yang sampai mengubah musala atau laboratorium jadi kelas, itu tidak jadi soal. Alasannya kualitas yang diberikan sekolah swasta kurang jempolan. Pernyataan tersebut menjadi tantangan bagi para kepala sekolah swasta. Harus membuktikan pada masyarakat kalau pendidikan yang diberikan juga bagus. Dan tentu saja, sekolah swasta tidak bisa berjalan sendiri. Pemerintah melalui Dinas Pendidikan harus memberikan dukungan. Kebijakan yang dikeluarkan harus juga menguntungkan sekolah swasta.(*)

Tuesday 12 July 2016

Ketika Daerah Dikepung Juru Parkir

KEBERADAAN tukang parkir cukup membantu. Selain membantu mengatur kendaraan, tukang parkir ikut menjaga kendaraan. Bahkan ikut mengatur lalu lintas di sekitar tempat parkir. Tidak ada yang mengesampingkan peran juru parkir. Mengeluarkan uang beberapa rupiah untuk jasa parkir tidak jadi soal. Lalu apa jadinya kalau daerah dikepung dengan juru parkir? Pertanyaan itu mungkin sudah dirasakan oleh pemilik kendaraan. Apalagi yang tinggal di Kota Mataram. Nyaris setiap sudut tidak ada yang bebas parkir. Mulai dari pasar modern, pasar tradisional, tempat wisata, pasar, sampai tempat ibadah. Jika dalam sehari berhenti di empat titik, untuk sepeda motor harus menyiapkan Rp 4.000. Sementara mobil antara Rp 10-12 ribu. Keberadaan juru parkir seolah tidak terkontrol. Mereka menarik uang tanpa karcis. Kadang malah berlaku seperti masyarakat biasa. Modalnya hanya peluit. Begitu ada kendaraan terparkir, langsung ditarik. Juru parkir ilegal ini pun seolah menjamur di berbagai titik. Apalagi di pusat-pusat jasa perdagangan. Keberadaan juru parkir yang menyenangkan, berubah jadi menyebalkan. Juru parkir berubah menjadi seperti tukang palak. Pemilik kendaraan harus mengeluarkan uang setiap berhenti. Tidak peduli kendaraan hanya parkir beberapa menit. Seolah kejar setoran, para juru parkir khususnya juru parkir ilegal tanpa sungkan meminta uang. Barangkali pengalaman ini pernah dirasakan semua pemilik kendaraan. Begitu parkir kendaraan, di lokasi parkir terlihat sepi. Tapi, begitu hendak balik sudah ada orang dengan peluit minta uang. Lebih parahnya, uang parkir yang dikeluarkan lebih besar dibanding uang untuk belanja. Keberadaan juru parkir di daerah harus mulai dipikirkan. Terutama pada juru parkir ilegal. Mereka harus ditertibkan. Juru parkir resmi. Bukan tukang palak. Tiap meminta uang jasa parkir ada karcis yang diberikan. Selain itu perlu disiapkan pakaian dan ID card khusus juru parkir. Selain itu, lokasi parkir pun harus ditentukan. Tidak semua tempat wajib parkir. Sehingga masyarakat jadi nyaman. Bila perlu daerah membuat terobosan parkir berlangganan. Pendapatan juru parkir dibagi dari hasil pendapatan parkir. Pemilik kendaraan cukup sekali membayar untuk bisa parkir di semua titik. Keberadaan parkir berlangganan ini pun bisa menekan kebocoran parkir. Selama ini retribusi parkir dituding banyak kebocoran.(*)

Monday 4 July 2016

Mendidik Siswa Lebih Kreatif

Teoritis tekstual. Begitu barangkali bila bicara tentang pendidikan di Indonesia. Dalam pendidikan formal, polanya hampir sama. Guru membaca dan siswa mendengarkan. Meski kurikulum berganti, pola pendidikannya nyaris sama. Siswa yang pintar, tak jadi soal. Sepulang sekolah akan mengorek dan mendalami segala materi yang disampaikan guru. Untuk siswa ini jumlahnya bisa dihitung jari. Kebanyakan justru siswa pasif. Cukup menunggu dari guru saja. Tidak mau repot dan menggali pelajaran yang didapatkan. Orientasi siswa yang seperti ini biasanya sama. Rajin sekolah dan dapat nilai baik. Itu yang utama. Pengalaman serta pengetahuannya pun berkisar pada teori semata. Tidak memahami esensi sebenarnya. Tentu saja pola pendidikan ini menjadi problem. Bagaimana menghasilkan generasi muda yang mandiri, kalau semuanya disetir. Semuanya berjalan bukan karena kesadaran. Ada istilah, "seperti kerbau dicocok hidungnya,". Otak terbiasa dalam kendali. Kurang cekatan berpikir ketika ada situasi diluar kebiasaan. Paniknya luar biasa. Padahal secara teoritis sudah bagus. Diukur nilai akademiknya pun diatas rata-rata. Kebiasaan kurang mandiri pada pola pendidikan, efeknya berantai. Kreativitas, survival, dan keberanian seorang anak tereduksi. Lebih memilih mengikuti seperti apa yang disampaikan di dalam kelas oleh guru. Kurang berani mencoba, mencoba, dan mencoba. Setiap mencoba peluang berhasil dan gagal porsinya sama. Kalau berhasil itu bagus. Ketika gagal justru makin bagus. Kok makin bagus? Ya, karena ketika mencoba dan gagal, akan ada pelajaran. Jadi hitungannya begini. Seandainya seorang siswa mengerjakan sesuatu, langsung benar nilainya satu. Tanpa nilai lebih, karena apa yang dikerjakan sudah ada arahnya. Siswa sudah menerapkan sesuai teori dan pelajaran dari guru. Lalu bagaimana yang kreatif? Jelas yang ini nilainya lebih. Berhasil nilainya dua. Jika gagal nilainya malah lebih banyak lagi. Hitungannya begini: keberhasilan dapat bonus dua. Sudah kreatif dengan berani mencoba. Kemudian berhasil. Lebih mantap yang mencoba kreatif kemudian gagal. Nilainya lebih tinggi. Selain siswa sudah kreatif dengan berani mencoba. Kegagalan mengajarkan pengalaman. Dari kegagalan itu siswa akan belajar. Dari kegagalan ini jalan pikir siswa kian berkembang. Contoh sederhana begini, ketika siswa mendapatkan teori tentang menanam kacang hijau. Berdasar teori guru, medianya tanah, kacang hijau ditanam, kemudian disiram. Kacang hijau tumbuh. Teoritis. Bandingkan bila siswa diajak kreatif. Meminta siswa menanam kacang hijau dengan berbagai medium. Hidroponik (air), dengan kapas, sekam, ataupun tanah. Sekali coba, hasilnya dengan kapas lebih bagus. Wah, dapat pengalaman. Ternyata media untuk menanam kacang hijau tidak hanya tanah. Lebih banyak lagi ketika menanam menggunakan tanah dan kapas gagal. Siswa bisa mencoba dengan hidroponik maupun sekam. Semakin banyak media dicoba. Pengalaman kian banyak. Malah bisa membuat kesimpulan kualitas antar media tanam. Makin keren. Tentu saja, pola pendidikan yang teoritis tekstual ini kuncinya ada di tangan guru. Para pendidik harus menjadi trigger (pemantik). Menerapkan pola pendidikan yang lebih kreatif. Mengurangi teori di dalam kelas. Lebih banyak mengajak siswa langsung mencoba di lapangan. Bila sedang mengajarkan cara menulis artikel, tidak usah terlalu banyak teori. Minta saja langsung menulis. Semakin banyak yang ditulis, isi kepala dan pergerakan tangannya merangkai kata kian luwes. Tulisan jelek, coba lagi. Semakin sering dicoba, semakin berpengalaman. Perbendaharaan kata bertambah. Isi kepala makin bergizi. Bagaimana bapak/ibu guru, berani mencoba?.

Sunday 8 May 2016

Merubah Skenario Pengumuman Ujian

Ketawa sinis bercampur kecewa. Asyik keliling kota menjumpai sekelompok anak SMA melintas dengan seragam penuh coretan. Ketawa karena kok masih musim corat-coretan. Sinisnya jelas, Ujian Nasional (UN) sekarang tak ada beda dengan ujian sekolah. Kalau rajin dan ikut UN, dipastikan akan lulus. Sudah tiga tahun terakhir penentu kelulusan siswa ada di tangan para guru. Kok aneh begitu pengumuman hasil UN anak2 ini gembira bukan main. Bangganya dimana? Kelakarnya kelulusan tanpa coretan seragam itu kurang asyik. Untuk periode lima tahun ke belakang bolehlah. Saat itu memang UN begitu menyeramkan. Nasib sekolah tiga tahun hanya ditentukan tiga hari. Munculah euforia kegembiraan berlebihan. Meski sebenarnya biasa saja. Mau ujian sudah pengayaan, les tambahan, sampai tryout. Masak susah lulus. Ada rasa kecewa melihat seragam bagus itu berlumur cat dan tanda tangan. Memang sih itu seragam mereka. Dibeli pun dengan uang orang tua mereka. Tidak ada alasan melarang-larang. Tapi, bolehkan kecewa melihat seragam bagus itu berubah jadi seragam tak layak. Namanya penonton, selalu diberi keleluasaan kecewa. Seperti saat kecewa usai menonton Ada Apa Dengan Cinta (AADC) 2. Setelah 14 tahun menanti, kenapa cerita film ini berjalan biasa saja. Epiknya sederhana. Tanpa dramatis ketika Rangga dan Cinta berjumpa. Delapan purnama tidak ketemu cuma ada tamparan "cplak". Sekali saja. Perjumpaan sederhana di Yogyakarta. Saya yakin banyak penonton mau lebih. Baik dramatis, romantismenya ataupun suasana penuh emosionalnya. Alur ceritanya banyak terputus. Yah, namanya penonton cukup hanya kecewa. Sekecewa menonton anak muda yang seragamnya penuh coretan.Aada harapan. Lebih bermakna kalau mereka menghimpun seragam sekolah layak itu. Dikumpulkan bersama. Kemudian ramai-ramai diantar ke sekolah-sekolah terpencil. Di NTB masih banyak sekolah terpencil. Gedungnya dari bedek. Pengajarnya guru honor. Fasilitasnya seadanya. Seragam siswanya?jangan ditanya lagi. Syukur saja mereka mau ke sekolah. Tapi saya pikir masih ada kesempatan mengubah skenario pengumuman UN. Tidak perlu seperti AADC yang harus menunggu 14 tahun. Tahun depan kebiasaan corat-coret seragam ini bisa diubah. Jalan ceritanya sih terlihat mudah. Dinas pendidikan mengeluarkan edaran wajib, semua sekolah harus menghimpun seragam siswa. Kepala sekolah jadi ujung tombak di sekolah. Wajib hukumnya semua siswa kumpulkan seragam. Tanpa nego. Surati saja langsung para orang tua, meminta seragam para siswa. Sedikit ancaman bolehlah. Gak setor seragam terancam tidak lulus. Apa nanti sudah pasti tidak ada corat-coret seragam. Belum tentu. Bisa saja ada siswa beli seragam untuk disumbang. Seragamnya tetap dipakai corat-coret. Itu urusan mereka lah. Ada kepedulian untuk pendidikan. Seragam bagus itu bermanfaat. Dan terpenting kali ini penonton ada kesempatan mengubah alur cerita. Semoga saja.

Tuesday 26 April 2016

Quran Ibarat "Mesin" Kehidupan

Jangan meremehkan fadilah membaca quran. Demikian diucapkan oleh Ustad Yusuf Mansur saat bertandang ke Madrasah Sayang Ibu di Dasan Griya, Lingsar, Lombok Barat, Selasa (26/4) siang. Ustad yang kerap muncul di televisi ini bercerita tentang kehebatan Alquran dengan bahasa yang sederhana. Membaca Alquran bak mesin. Semakin dibaca laju kehidupan tidak terduga melaju dengan kencang. Ia memulai dengan kisah pemuda bergelar sarjana yang menjadi tambal ban. Ustad Yusuf berjumpa dengannya 2008 silam. Saat jumpa, keluhan pemuda itu didengar. Cerita susahnya mencari kerja disimak. Tidak banyak kata keluar kata dari Ustad Yusuf Mansur kala itu. “Saya katakan, baca Surat Waqiah pagi dan sore hari, begitu saja,” ucapnya. Setelah pertemuan itu, ustad kembali ke pondok dan pemuda tetap kembali menjadi tambal ban. Tanpa diduga di 2009, seorang pemuda datang meminta kehadiran Yusuf Mansur pada peresmian swalayan. “Gue tanya nih, lu siapa. Jawabnya, saya tambal ban dan Surat Waqiah,” ujarnya terkekeh. “Agak lupa, bingung juga apa hubungan tambal ban dengan Waqiah,” sambungnya disertai tawa jamaah. Pemuda itu pun bercerita, ia adalah tukang tambal ban yang dijumpai Yusuf Mansur 2008. Kemudian diberi amalan membaca Surat Waqiah. Meski jarang salat dan mengaji, ia melaksanakan anjuran dari Yusuf Mansur. “Kotor soalnya, namanya tambal ban. Ibadahnya agak kurang, tapi dia jalankan amalan itu,” terang Yusuf Mansur. Dalam hitungan bulan, lanjut Yusuf Mansur, si pemuda langsung terlibat bisnis property. Untung lumayan hingga bisa membeli tanah dan bangunan. Itulah kemudian akhirnya membuat swalayan. “Masya Allah. Luar biasa,” terangnya. Ustad Yusuf Mansur berkata, semakin banyak amalan yang dibaca makin bertambah kemampuan “mesinnya”. Diibaratkan seperti menaiki pesawat Boeing 747 dengan Bombardier 777. Jelas menggunakan Bombardier lebih cepat. Menuju Makkah saja bedanya dua jam. Seperti itulah mereka yang rajin mengamalkan Alquran. Sesungguhnya sedang memperkuat mesin. “Hidup saya itu isinya amalan saja, pagi, siang, malam itu saja. Soal begini saya NU dan NW dah,” ucapnya tertawa. Di kisah yang lain Yusuf Mansur bercerita, bagaimana seorang wirausaha steak dan shake berusaha. Untuk mencari tempat baru membuka dagangan harus keliling ke banyak sudut. Sayang, setiap datang tidak pernah bertemu tempat yang cocok. Mereka pun mulai rajin Duha dan membaca Surat Ar Rahman, tiba-tiba sebuah tempat di Tegal yang begitu jauh seolah “terlihat”. “Sebelumnya jarang cocok, setelah pakai sajadah begitu jadinya,” ucapnya. Bahkan ketika diundang salah satu Kyai untuk melihat pondoknya, Yusuf Mansur mengaku pernah ditodong untuk membantu. Pondok itu dibangun bantuan dari Arab Saudi, bantuan terhenti. Pondok terbengkalai. Santrinya cukup banyak sekitar 4 ribu. “Saya dikasih nih kesempatan bicara di depan santri, saya katakana baca Waqiah, Ar Rahman, dan Al Mulk. Kyainya sempat bilang, kirain kasih bantuan,” ujarnya tersenyum. “Ya, tapi Masya Allah tidak lama pembangunan di pondok akhirnya kembali berjalan,” tambahnya. Yusuf Mansur tidak memungkiri, ada orang-orang yang datang kemudian menegur, seharusnya kalau membaca quran yang ikhlas jangan karena niat apa-apa. Namun semuanya dijawab dengan senyuman. Menurutnya, ada rahasia besar dalam Alquran yang banyak tidak diketahui orang. Ustad yang dikenal banyak mencetak para penghafal quran ini pun memberi semangat pada Madrasah Sayang Ibu tetap mempertahankan konsep Alquran dan riset.(*)