Saturday 17 October 2015

Sebelah Mata untuk Pendidikan Informal

NAMANYA pendidikan itu berarti harus belajar di kelas khusus dan mendapat ijazah. Itu pemahaman masyarakat umum di Indonesia. Pemahaman ini kemudian yang mereduksi talenta-talenta berbakat untuk muncul. Skill atau keahlian tidak dihasilkan melalui pembelajaran di kelas. Keahlian hadir karena perbuatan berulang-ulang dilakukan. Bisa karena biasa, begitu istilahnya.
Ya, melihat pendidikan informal di Indonesia, yang dipandang sebelah mata sesungguhnya cukup ironi. Karena di pendidikan informal itulah dipacu minat dan bakat masing-masing individu. Minat dan bakat individu selama ini memang kurang mendapat porsi besar di sekolah formal.
Dari pendidikan informal, masyarakat yang kurang fasih berbahasa asing, bisa menjadi fasih. Kurang terampil berbicara di depan publik, berubah menjadi handal. Tidak mahir mengotak-atik mesin motor, berubah menjadi mekanik handal.
Nah, pola pikir kurang terbuka ini muncul karena dipengaruhi pikiran pragmatis. Masyarakat Indonesia kebanyakan suka memilih zona nyaman dunia kerja. Pekerjaan yang tidak butuh skill lebih dan kemampuan luar biasa. Ini yang akhirnya membuat “malas” untuk mengeskplore kemampuan. Akhirnya outputnya pun begitu-begitu saja.
Ada beberapa contoh sukses di Indonesia yang lahir dari pendidikan informal. Seorang youtuber, belajar dari koleganya. Terbukti sanggup menghasilkan uang melebihi rata-rata. Itu bila mengacu orientasi uang. Ada juga penulis blog yang sanggup membuat bisnis besar, karena penghasilan google adsanse. Termasuk marketing network yang bekerja beberapa jam, namun seperti bergaji setahun.
Dengan mendorong masyarakat untuk masuk dalam pendidikan informal, selain soal materi, tentu peningkatan sumber daya manusia (SDM) menjadi target. NTB termasuk daerah yang punya potensi berkembang besar di Indonesia. Untuk menghentikan pengiriman tenaga kasar ke luar negeri, pemberian pendidikan informal kepada masyarakat luas bisa menjadi solusi.
Perlu dicatat, tidak semua lembaga informal memang memberikan pendampingan yang mantap. Ada lembaga informal yang hanya mengeruk untung. Tidak memberikan pendidikan dan keterampilan secara optimal. Kejelian masyarakat memilih lembaga patut diperhatikan. Karena tidak semua lembaga informal bisa memenuhi harapan peningkatan skill.(*)



0 10 komentar:

Post a Comment