Saturday 17 October 2015

Keahlian Diasah Diluar Pendidikan Formal

Langkah kakinya sudah tidak lagi gesit. Wajahnya yang sepuh terlihat lelah. Namun saat bicara soal pendidikan informal nada suaranya masih lantang. Pria paruh baya ini adalah Prof Dr H Bambang Marsono, mendapat mandat dari Kementerian Kebudayaan Nasional (Kemendiknas) untuk menilai lembaga lembaga pendidikan seluruh Indonesia. Kedatangannya ke Kota Mataram untuk menilai LKP Dende. 

Setelah sedikit berbincang ringan, ia pun langsung bertanya soal LKP Dende. Dimulai dari soal pendirian lembaga, prestasi lembaga, sumber daya manusia (SDM) lembaga, hingga prestasi dari anak didik lembaga ditanya dengan detail. Tidak sekadar bertanya, Bambang pun meminta bukti prestasi tersebut. Seperti ketika disebut ada prestasi nasional rias pengantin, Bambang melihat sertifikatnya.
Dari cara bicaranya mengenai pendidikan informal, Bambang terlihat menguasai. Tidak seperti umumnya penilai yang menilai secara umum, ia pun memberikan gambaran secara umum mengenai lembaga pendidikan  informal. Dunia pendidikan informal bagi Bambang bukan hal baru. Ia sudah menekuninya sejak 45 tahun silam. Ia mendirikan lembaga pendidikan informal bahasa Inggris. Tidak tanggung-tanggung lembaga pendidikan informal tersebut menyebar di semua cabang di Indonesia. Keseluruhan ada 98 cabang.
"Karena bahasa Inggris ini penting. Dari bahasa Inggris juga membuka peluang bekerja di luar negeri," bebernya.
Profesor ini mengatakan, bahasa masih menjadi salah satu kendala dari warga Indonesia. Kemampuan bahasa  Inggris masih rendah, itu membuat mereka tidak bisa masuk di banyam sektor. Itu juga membuat banyak anak bangsa yang bekerja menjadi tenaga kasar. Disinilah peran pendidikan informal untuk memberi pembekalan.
"Pendidikan informal ini penting sekali, olimpiade fisika itu bisa juara karena ada pendidikan informal," ucapnya.
Kakek 15 cucu ini menilai keberadaan sekolah formal penting, namun sekolah informal juga harus menjadi penopang. Melalui sekolah informal kemampuan menjadi semakin terasah. Karena banyak yang terjadi ijazah tinggi namun skill tidak menunjang. Keahlian dari masing individu tentu tidak didapat instan. Perlu dilatih di lembaga informal. Itu pula alasan Bambang mendorong supaya pendidikan informal terus berbenah.
"Masukan saya ini maksudnya tentu saja supaya pendidikan informal menjadi semakin baik. Dari pendidikan informal akan melengkapi kemampuan," akunya.
Pria paruh baya ini sebenarnya bertanya-tanya ketika minat masyarakat ke lembaga informal kian menurun. Contohnya pun langsung diambil dari lembaga Oxford yang didirikannya. Dari 98 cabang, tinggal separuh yang eksis. Padahal dahulu lembaga ini begitu diburu, bahkan banyak orang penting Indonesia belajar disana. Padahal soal bahasa Inggris tidam bisa diremehkan, karena itu menjadi bahasa pergaulan dunia. Pekerja dengan kemampuan bahasa Inggris bagus pun sanggup diterima pasar kerja. Seperti masyarakat Filipina di sekitar pangkalan udara Amerika yang galau saat pangkalan berhenti. Mereka bingung dimana lagi harus mendapat uang.
"Karena bahasa sehari-hari mereka bahasa Inggris, pemerintah Filipina tidak pusing. Mereka tinggal diberi kemampuan berdagang tiga bulan, kemudian dikirim ke timur tengah. Dan mereka sukses dengan banyak uang," ceritanya.
Itulah kenapa, lanjut bapak yang lama di Inggris ini, mendorong anak bangsa mahir berbahasa Inggris. Selain bahasa tentu saja meningkatka  keahlian, seperti mengetik, menjahit, berbicara, maupu  keahlian lainnya. Tentu saja peningkatan keahlian ini untuk melengkapi ijazah formal yang dimiliki. 
"Jangan kemudian sekolahnya sudah tinggi, merasa puas. Kelihatan bagus luarnya dalamnya kosong," ujar Bambang.

Pengalamannya pernah menempuh pendidikan di 11 universitas baik dalam negeri maupunnluar negeri menunjukkan, pendidikan informal sanggup menunjang pencapaian pendidikan formal. Apalagi tahun ini Indonesia memasuki masyarakat ekonomi ASEAN (MEA), tenaga kerja Indonesia tidak sekadar bersaing dengan sesama anak bangsa, mereka bakal bersaing pula dengan tenaga kerja asal Asia Tenggara. Tenaga kerja dari luar Indonesia seperti Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam mereka tidak hanya cakap di bidang formal, mereka juga cakap di berbagai kemampuan informal. Hebatnya mereka sudah berlomba memiliki sertifikat keahlian. 
"Nah, chef disana saja punya sertifikat. Sedangkan chef di hotel yang ada di Indonesia banyak belum bersertifikat," ucapnya.
Kakek 72 tahun ini mengingatkan, sebenarnya penambahan keahlian di tiap individu itu memiliki pengaruh yang besar. Selagi masih ada kesempatan, ia mendorong masyarakat berlomba masuk pendidikan informal. Kepada lembaga pendidikan informal sendiri tidak main-main. Lembaga pendidikan informal harus sanggup mengasah potensi tiap individu. Begitu keluar tidak sekadar terampil, tapi juga terdidik.
"Selama ini image lembaga pendidikan informal hanya membuat terampil, belum mendidik," tukasnya.(*)


0 10 komentar:

Post a Comment