Saturday 13 February 2016

Revisi UU KPK, Penguatan atau Amputasi?

REVISI Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), masih terus menggelinding di parlemen. Hampir semua parpol di parlemen menghendaki revisi itu. Tujuannya, untuk memperkuat KPK. Benarkah memperkuat?

KPK sebagai lembaga superbodi pemberantasan korupsi. Pergulatan melawan korupsi cukup mumpuni. Sejak hadir di era Presiden Megawati Soekarno Putri 2003 silam, kiprah KPK dalam pemberantasan korupsi cukup lugas. Meski dalam perjalanannya, ada tudingan KPK kehilangan independensi. KPK dengan kekuasaan yang superbodi, membuatnya dianggap lembaga yang langsung bertanggungjawab ke Tuhan. Itulah menurut mereka (baca: dewan), perlu revisi undang-undang supaya langkah KPK memberantas korupsi lebih kuat namun tetap terkontrol.

Soal KPK, memang publik memberi harapan yang sangat besar. Lembaga ini dinilai lebih tajam memberantas korupsi dibanding seniornya, kejaksaan dan kepolisian. Memang hadirnya KPK diawal, salah satu sebabnya adalah kurang sigapnya kejaksaan dan kepolisian mengusut korupsi. Kejahatan yang masuk dalam ekstra ordinary crime itu berlangsung masif. Dari tingkat pusat hingga daerah. Tidak usah heran kalau daftar tangkap KPK mulai dari pejabat negara setingkat menteri, lembaga tinggi, wakil rakyat, politisi, pengusaha, hakim, jaksa, polisi, sampai kepala daerah. Tidak pandang bulu, KPK menyapu setiap perilaku korup.

Kerja-kerja KPK memberantas korupsi memang tidak mudah. Banyak sekali kerikil yang menghadang. Ketika tindakan korup berjalan berjamaah, maka banyak sekali rintangan menghadang. Untungnya, KPK memiliki undang-undang khusus. Soal sadap-menyadap, tidak bisa mengeluarkan penghentian penyidikan. Termasuk kewenangan KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. KPK juga memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan (Pasal 8 ayat (2) UU KPK).

Kewenangan KPK memang luar biasa. Jika kemudian banyak yang tertangkap tangan bertindak korup, itu tentu kaitan dengan sadap-menyadap. Lihat saja tangkap tangan mantan Bupati Bangkalan Fuad Amin. Mengacu pada putusan PT Tipikor selain dihukum penjara, harta Fuad hasil pencucian uang disita. Nilainya terbesar sepanjang penangkapan KPK yaitu Rp 250 miliar. Belum lagi penangkapan pengacara kondang OC Kaligis, penangkapan Mantan Menpora Andi A Malaranggeng, Menteri ESDM Jero Wacik, hingga penangkapan wakil rakyat seperti Angelina Sondakh ataupun yang baru-baru terjadi yaitu Damayanti. Masih banyak prestasi lain yang menjadi rekor KPK.

Apakah dengan kewenangan luar biasa itu KPK perlu dikuatkan lagi dengan33 revisi undang-undang. Jelas, penilaian publik sebaliknya. KPK hendak diamputasi. Kewenangannya hendak dikurangi. Urusan sadap-menyadap perlu izin, KPK bisa menghentikan penyidikan, termasuk KPK tidak bisa sekaligus mengobok korupsi.

Kalau memang dianggap KPK terlalu superbodi, bakal berbuat culas dengan kewenangannya, apa perlu undang-undangnya diobok-obok. Dengan kemampuan yang luar biasa saja, KPK masih kerap tersandera. Lihat kasus Abraham Samad, Bambang Widjojanto, atau Novel Baswedan. Padahal KPK sudah superbodi. Revisi undang-undang ini jangan hanya akal-akalan untuk bisa kembali berprilaku korup. Publik masih yakin, KPK terdepan memberantas korupsi. Jika kepolisian dan kejaksaan bisa seperti KPK, jangankan revisi undang-undang, dibubarkan saja KPK tidak ada yang ribut.(*)

0 10 komentar:

Post a Comment