Saturday 20 February 2016

Lawan Penyebaran LGBT

JANGAN menuntut lebih pada negara untuk aktivitas menyimpang. Menuntut pengakuan lebih sama halnya mengarahkan negara mengangkangi konstitusi yang ada. Itu fenomena kekinian soal lesbian, gay, biseks, dan transgender (LGBT) yang terus menggelinding. Kelompok ini berupaya meminta pengakuan negara pada keberadaannya. Ingin diakui dan diperbolehkan menyebarkan aktivitasnya. Komunitas LGBT membawa-bawa beberapa negara yang "menghalalkan" pernikahan sejenis. Membawa liberalisme barat ke Indonesia. Permintaan pengakuan yang jelas salah alamat. Konstitusi negara tidak memberi ruang. Secara norma ketimuran prilaku ini dianggap menyimpang. Bicara LGBT dari sisi prilaku sebenarnya sudah usang. Aktivitas yang sudah ada sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu. Pergerakan mereka denhan komunitasnya berjalan sudah lama. Hanya saja, mereka permisif. Takut akan stigma dari masyarakat. Mereka menutupi diri. Tidak ingin terus berada dalam ketakutan, mereka ingin mendeklarasikan diri. Mereka ingin dilegalkan negara. Keinginan yang justru membangkitkan perhatian publik. Akibat langkah ini, akhirnya mayoritas elemen di Indonesia menyatakan perlawanan. Sampai muncul dorongan membuat undang-undang LGBT. Wakil Presiden Jusuf Kalla cukup bijak menanggapi dorongan banyak elemen. LGBT sebagai aktivitas individu tidak bisa dibatasi. Negara tidak perlu masuk dalam urusan personal. Menjadi masalah bila LGBT berupaya menyebarkan "virusnya" ini salah dan harus dihentikan. Banyak pakar psikologi menilai, LGBT sebagai penyakit. Itu bisa disembuhkan. Jadi tidak perlu para LGBT itu malah berteriak-teriak meminta pengakuan negara. Mereka seharusnya mengintropeksi diri. Bukankah dengan melegalkan LGBT di Indonesia sama halnya menyebarkan "virus" ganas pada generasi muda. Secara kodrat manusia diciptakan laki-laki dan perempuan. Mereka menikah, kemudian memiliki keturunan. Ini hukum Tuhan yang tidak bisa dibantah. Lalu kenapa kemudian, mereka ingin dilegalkan. Bila kemudian ini dibawa ke urusan Hak Asasi Manusia (HAM), semuanya menjadi kian berpendar. Perhatian justru mengarah pada LGBT yang di dzolimi. Padahal LGBT ini adalah "virus" yang bisa menyerang kita, tetangga, atau keluarga kita. Contoh nyata, adalah soal dugaan aktor Indonesia yang melakukan tindakan seksual pada remaja laki-laki. Dugaan cabul itu, apakah tidak membawa efek berantai? Apakah korbannya nanti tidak mengalami perubahan orientasi seksual? Apakah nantinya mereka tidak mencari mangsa baru lagi?. Lalu bagaimana pertanggungjawabannya kalau ini menjadi wabah. Kita melawan LGBT bukan memusuhi orangnya.(*)

0 10 komentar:

Post a Comment