My Name is Smartphone
“Muka masa kini, HP masa gitu,” kata seorang nenek pada
pemuda. Ceritanya, nenek ini hendak meminjam HP untuk menghubungi cucu.
Deskripsi iklan tersebut menampilkan seorang nenek yang hendak meminjam HP.
Nenek ini terkejut saat pemuda menyodorkan HP konvensional (hanya untuk telepon
dan SMS). Nenek tak terima, seharusnya anak muda masa kini bukan memakai HP
biasa. Menurut saya, iklan smartphone ini tengah memberi penegasan, jika masyarakat
Indonesia sudah mulai meninggalkan HP konvensional. Beragam usia, tua atau
muda. Dari berbagai jenjang pendidikan, mulai sekolah dasar sampai kuliahan.
Dan dari berbagai latar belakang ekonomi, sudah menggunakan smartphone alias
ponsel pintar. Bukti #IndonesiaMakinDigital. Nenek ini belum muncul empat tahun
silam, atau saat saya belum mengenal smartphone. Seandainya sudah muncul, saya
termasuk anak muda yang muka masa kini, HP masa gitu. (hehehe).
Semenjak saya
mengenal smartphone hidup rasa digital begitu kuat. Urusan pekerjaan, urusan
usaha, sampai urusan rumah tangga menjadi kian gampang. Kalau orang membutuhkan
smartphone hanya sebagai kebutuhan sekunder dalam pekerjaan, saya bukan
termasuk di dalamnya. Kebutuhan pada ponsel pintar bukan lagi wajib tapi sangat
wajib. Karena saya bekerja di media massa. Alur pendistribusian berita jadi
mudah. Antar rekan kerja satu kantor ataupun beda kantor memiliki grup
BlackBerry (BB) ataupun WhatsApp (WA) khusus. Isu dan peristiwa terbaru bisa
cepat direspon. Termasuk kemudahan untuk mengirim berita. Okelah, saya mulai
cerita perkenalan pada smartphone. Keputusan rapat di kantor mengharuskan
seluruh wartawan menggunakan smartphone. Pertengahan tahun 2012 mulai
menggunakan BlackBerry (BB) Curve. Di tahun itu memang ponsel pintar belum
dikuasai gadget berlayar lebar. Pilihan paket BB adalah Telkomsel As Paket BB
Unlimited bulanan Xtra 100 MB.
Memakai BB memudahkan kinerja awak redaksi
media massa, khususnya wartawan. Saya tak lagi butuh modem dan laptop. Sering
berita yang saya tulis mengandalkan BB. Setelah wawancara, jemari bisa langsung
bermain di keypad BB. Betapa sederhananya. Paling menyenangkan tentu saat
berada di daerah terpencil. Dukungan sinyal Telkomsel yang kuat membuat ponsel
pintar bekerja dimanapun. Kehadiran ponsel pintar sekaligus membuat isu dan
Informasi di lapangan kian lancar. Era smartphone membuat redaksi media happy.
Rapat-rapat dadakan kerap dilakukan melalui BB. Penugasan mendadak cepat
dibahas di grup smartphone. Nyaris 24 jam, gadget berdenting. Tanda ada
Informasi baru yang muncul. Peristiwa besar yang ada di Pulau Sumbawa dan Pulau
Lombok dengan gesit diangkut media cetak tempat saya bekerja. Masa-masa yang
saya nikmati betul. Lelahnya bermain digital dengan komputer atau laptop
terganti. Tiga tahun BB Curve menemani keseharian saya. Selain menjadi laptop
mini dan modem, BB pun menjadi perangkat digital penghubung. Foto maupun video
bisa dengan modal dikirim. Baru di 2014 saya resmi beralih ke smartphone
berbasis android. Gawai keluaran Korea Selatan jadi pilihan. Dan masih sama,
ponsel berbasis android ini tetap didukung oleh akses digital dari Kartu As.
Beda dengan memakai BB, menggunakan gawai android paket internet super murah
dari Kartu As jadi pilihan. Cukup ketik *363*55#. Data paket 4 Gigabyte (GB)
bisa dipakai. Smartphone beroperasi dengan lancar. Sebulan saya biasa mengisi
paket internet super murah ini dua kali. Kadang bisa juga lebih, tergantung
pada penggunaan data. Selain itu, ponsel juga membantu dalam urusan usaha
(secara khusus saya bahas dibawah).
(Aktivitas jurnalis tak pernah jauh dari gadget-dok/pri) |
Kelebihan digital adalah penyebarannya
cepat. Urusan dagangan ringan seperti pakaian pernah saya coba dan berjalan
lancar. Tak usah pusing dengan gedung dan modal promosi. Lebih sederhana. Dalam
rumah tangga sendiri, adanya smartphone membantu hal-hal yang kurang
dimengerti. Seperti cara mengecat yang baik. Saya belajar mencampur cat tembok
dan cat kayu dari tutorial di google dan youtube. Termasuk menghidupkan mesin
pompa yang ngadat, itu juga dari youtube. Hal lainnya tentu saja keberadaan
M-Banking di smartphone. Pulsa listrik habis dini hari, paket data habis
mendadak, dan transaksi bank mendadak bukan lagi masalah. Saat ini pun urusan
bayar membayar PDAM dan cicilan rumah cukup pencet tombol gadget. Kemudahan
dalam genggaman tangan. Kebutuhan manusia sekarang akan semartphone yang begitu
tinggi, membuat saya penasaran. Seberapa banyak sebenarnya pengguna ponsel
pintar ini di Indonesia.
Saya pun mencoba membuka informasi terbaru soal
pengguna smartphone Indonesia. Laju pertumbuhan mejemuk tahunan (CAGR) ponsel
pintar mencapai 33 persen dari 2013-2017. Pertumbuhan pesat didorong oleh
pengguna muda dibawah usia 30 tahun. Nyaris 61 persen pemakai ponsel pintar ini
usia 18-24 tahun. Data dari eMarketer dari 2015 pemakai smartphone Indonesia 52
juta, tumbuh pada 2016 menjadi 69 juta, dan 2017 menjadi 87 juta. Lompatan yang
cukup pesat. Smartphone dan dunia digital, bagai raga dan roh. Satu kesatuan
yang mengikat. Persebaran smartphone ini bukti #IndonesiaMakinDigital. Rilis
dari salah satu smart data bekerja sama dengan Nielsen Mobile Insight, melansir
temuan menarik. Pengguna smartphone 20 persen memakai data dalam jumlah besar.
Sehari sekitar 249 megabyte (MB) kategori rakus data. Mereka banyak menginstal
aplikasi dan game di smartphone. Selain itu, 19 persen pengguna smartphone
kategori penggemar game. Sehari memakai lebih dari 1,5 jam. Bagaimana dengan
pengguna perempuan? Sekitar 14 persen perempuan menghabiskan hampir satu jam
setiap hari di jejaring sosial. Mereka masuk kategori bintang sosial. Dari
penelitian itu pula dilansir pengguna smartphone menghabiskan 129 menit tiap
hari. Dengan rerata pemakaian data 197 MB tiap hari. Ketergantungan manusia
pada gadget cukup tinggi. Rasanya bila smartphone bisa bicara, layak sombong
dengan kata “My Name is Smartphone”.
Diawal
Berkawan dengan Modem
Saat ponsel pintar belum membanjir seperti saat ini.
Dunia digital jauh panggang dari api. Penggunaan handphone (HP) konvensional
tak 100 persen menolong mereka yang bekerja dengan kecepatan. Seperti kisah
pada tahun 2010, saya masih menggunakan HP konvensional. HP yang hanya untuk
telepon dan berkirim pesan singkat. Lazimnya wartawan, pagi hingga siang
liputan. Sore hari baru mengetik berita. Sebagai jurnalis baru, “amunisi” belum
lengkap. Maka, pilihannya datang ke warung internet (warnet) untuk mengetik
berita. Setelah berita rampung, berikutnya mengirim ke email kantor. Hampir
satu tahun warnet menjadi persinggahan tetap tiap hari. Perubahan mulai terjadi
memasuki tahun kedua. Alhamdulillah, di tahun kedua sudah bisa beli laptop.
Urusan ketik berita tak lagi repot. Perangkat ini mempercepat tugas. Tapi,
bukan berarti urusan menjadi beres. Fasilitas internet belum memadai. Pasang
jaringan internet atau beli modem, uang masing cekak. Sabar, hidup memang
seperti itu butuh proses. Kecuali saya berteman dengan Doraemon.(hehehe).
Tak jadi soal setiap hari wara-wiri ke internet. Kalau tidak, langsung saja ke
kantor. Digitalisasi saya rasakan dari dalam rumah ketika mulai membeli modem,
beberapa bulan kemudian. Di penghujung 2011 itu, modem sudah ditangan.
Telkomsel memberi paket modem plus internet. Pilihan internet menggunakan
Telkomsel Flash. Kenapa memilih Telkomsel? Pertama, tentu karena Telkomsel
menghadirkan kecepatan paket data. Dan memang sepanjang menjadi pengguna modem
tersebut tak pernah ada gangguan. Kedua, soal jaringan yang luas. Banyak titik
di Pulau Lombok belum terjangkau sinyal. Pilihan yang akhirnya sampai sekarang
saya syukuri. Karena memang bukan sekadar slogan semata. Selama memakai modem,
sebulan hanya butuh Rp 50 ribu berinternet ria. Inilah digital mandiri yang
pertama saya alami. Tak banyak waktu terbuang di jalan. Manfaat modem ini
terasa ketika pindah tugas di luar kota. Daerah itu adalah Lombok Timur. Jangan
bayangkan daerah itu seperti Kota Mataram yang saya tinggali sebelumnya.
Kabupaten Lombok Timur paling luas di Provinsi NTB. Perjalanan kecamatan
ujung selatan ke utara bisa sampai dua jam. Pun demikian lama perjalanan ujung
timur ke ujung barat. Sungguh melelahkan. Parahnya mencari internet di desa
cukup sulit. Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Modem Telkomsel Flash
begitu berarti. Selama beberapa bulan di daerah baru, urusan berita berjalan
lancar. Sayangnya, belum semua wilayah di Lombok Timur kala itu bisa dijangkau
oleh modem. Pengalaman itu terjadi saat peliputan di wilayah selatan Lombok
Timur, tepatnya di Desa Pemongkong, Kecamatan Jerowaru. Sinyal modem tak
berfungsi. Luar biasa panik berinternet ria di daerah ini. Terpaksa saya harus
menempuh satu jam perjalanan demi mencari sinyal. Caranya laptop dan modem
tetap menyala. Beruntung saat itu ada rekan yang mendampingi. Ia pun rela
membonceng saya memburu sinyal. Bukan sekali itu saja, saat banjir bandang di
Sambelia sinyal modem menjadi penghalang. Banjir bandang cukup parah. Jembatan
penghubung menuju Sekolah Polisi Belanting sampai putus. Untuk menginformasikan
berita tersebut, saya butuh perjalanan hampir satu jam mendapat segaris sinyal.
Malahan bila memakai provider yang lain bisa tidak bisa mendapat sinnyal. Di
2012 belum semua daerah di Lombok Timur ramah modem. Beberapa lokasi utamanya
kawasan pinggiran susah akses internet.
Jemari Mungil Lihai dengan Smartphone
Penikmat dunia digital sekarang tak lagi melulu remaja
dan orang dewasa. Anak kecil pun sekarang sudah menjadi penikmat digital. Dari
kecil mereka sudah kenal dengan ponsel pintar. Dalam acara pernikahan akhir
Oktober 2016 di pinggir Kota Mataram, tepatnya di Desa Lingsar Lombok Barat,
hujan mengguyur cukup deras. Setelah menempuh perjalanan sekitar 30 menit, saya
pun tiba di lokasi. Karena datang pernikahan, jelas yang dicari dahulu adalah
kedua mempelai pernikahan. Beragam sajian makanan terhidang. Sebagai tamu saya
pun dipersilahkan. Setelah kehujanan, rupanya perut tak bisa diajak kompromi.
Tanpa banyak bicara saya segera mengambil makanan. Ruang tamu rumah menjadi
pilihan untuk menikmati makanan. Lapar sudah tidak mau diajak toleransi. Baru
satu suap nasi masuk di mulut saya, mata memandang lima anak kecil. Semuanya
asyik bercengkrama dengan gadget. Ponsel pintar beragam merk digenggaman jemari
mungil. Lapar yang tadi menyerang, seolah hilang.
Anak kecil main smartphone, bukan hal yang aneh. Rasa-rasanya di kota, bukan sejak kecil lagi. Dari bayi telah dikenalkan gadget. Banyak orang tua yang melihat anaknya menangis, menyodorkan gadget. Sim salabim anak pun menghentikan tangisnya. Dengan gaya anak-anak, saya pun mengajak berbincang. Bocah itu nyatanya hanya ikut-ikutan.
Komandannya adalah bocah bersarung, yang tak lain
adik rekan saya yang menikah. Namanya Yadi. Usianya baru masuk lima tahun. Baru
naik TK besar. Yadi inilah yang jago mengoperasikan tablet tersebut. Jemari
mungilnya lihai memilih kolom-kolom di laman youtube. “Wah, ini sih luar
biasa,” ucap saya dalam hati. Bocah Yadi masih lima tahun. Belum bisa membaca.
Tinggal di kampung. Tapi, Yadi hafal betul kemana jarinya harus memilih kanal
di youtube. Film-film anak semacam Upin-Ipin dan Boboiboy diputar. Lancar tanpa
gangguan. Iseng saya bertanya saat tablet itu tak sanggup memutar film
lagi.“Kok berhenti filmnya. Lanjutin dong,” kata saya. “Iya, lama masih
loading,” jawab Yadi polos. Gubrak. Istilah dunia digital pun telah dipahami
oleh Yadi. Bahasa download dan paket data habis, meluncur dengan modal. Meski
matanya tak pernah berhenti memandang tablet itu, setiap pertanyaan saya tetap
dijawab. Intinya anak kecil ini sudah jago bermain tablet. Inilah zaman
#IndonesiaMakinDigital. Saya melanjutkan makan dengan senyuman. Kisah ini
seperti pengalaman saya setahun silam. Saat putra rekan kerja saya, begitu
lihai mengoperasikan komputer di kantor. Bocah laki-laki bernama Arka ini telah
biasa menonton Ultraman, Upin-Ipin, atau Satria Baja Hitam via youtube. Sama seperti
kisah Yadi, saat itu Arka juga masih TK. Bagi saya yang baru bersentuhan dengan
dunia digital saat kuliah, tentu merasa luar biasa melihat anak kecil melek
teknologi. Beberapa kali saya mendengar dari ibunya, kalau Arka di rumah pun
tak bisa jauh dari smarphone. Sehari akses paket data menghabiskan ratusan
ribu. Sangat boros. Berapapun diisi paket data, Arka tak akan berhenti sebelum
paket itu habis. Bila dilarang, Arka akan protes. Ibunya kerap dibuat repot
kalau paket data habis. Hem, cukup berat kalau anak kecil keranjingan online.
Anak kecil main smartphone, bukan hal yang aneh. Rasa-rasanya di kota, bukan sejak kecil lagi. Dari bayi telah dikenalkan gadget. Banyak orang tua yang melihat anaknya menangis, menyodorkan gadget. Sim salabim anak pun menghentikan tangisnya. Dengan gaya anak-anak, saya pun mengajak berbincang. Bocah itu nyatanya hanya ikut-ikutan.
(Yadi asyik dengan gadgetnya-dok/pri) |
Smartphone untuk Modal Jualan
Belanja kekinian bukan lagi harus keluar ke toko,
supermarket atau mal. Belanja kekinian soda beralih dalam dekapan smartphone.
Istilah yang ngetrend disebut belanja online. Awalnya saya bukan termasuk
penggemar belanja online. Salah satu alasan kurang tertarik dengan belanja
online adalah soal kualitas barang. Ada pengalaman buruk Dengan belanja di
dunia maya. Uang sudah transfer, barang tak dikirim. Apes, rugi ratusan ribu.
Selepas itu bertahun-tahun saya anti yang namanya jual-beli online. Nyatanya
kemajuan dunia digital tak bisa dibendung. Kalau beberapa tahun lalu hanya ada
beberapa startup jual-beli online, sekarang jumlahnya sangat banyak sekali.
Tawaran produknya juga beragam. Sejak 2015 silam pandangan soal belanja online
yang negatif mulai luntur. Perubahan itu tak datang tiba-tiba. Berawal
dari pesan online undangan dan souvenir pernikahan. Kualitas produk dan harga
sepadan. Malahan melebihi ekspektasi yang diharapkan. Itu karena banyaknya
apresiasi Dengan model undangan pernikahan yang dipesan istri saya. Sepakat
dengan kata banyak orang, urusan belanja memang wanita jagonya. Entah itu
belanja di pusat perbelanjaan ataupun belanja melalui online.Smartphone dengan dukungan Telkomsel, aktif menemaninya. Istri saya
puluhan kali belanja online.
Kualitas produk bagus, harga pun bersaing.
Perbandingan ini pernah saya buktikan langsung. Dalam tugas luar daerah
beberapa bulan lalu, tepatnya di Bandung, saya belanja di pusat perbelanjaan
besar di Kota Kembang. Bandung dikenal sebagai kota fashion. Harga produknya
juga kompetitif. Pilihan jatuh pada sweater dan baju lengan panjang perempuan.
Pulang ke daerah, oleh-oleh diterima istri dengan senyuman. Aneh,
benar-benar aneh. Ketika istri membuka situs online belanja langganannya, harga
busana yang sama labia murah. Dan bebas biaya pengiriman.
“Sudah capek keliling di Bandung, beli oleh-oleh kok
malah lebih murah di online,” kata saya pada istri. Respon istri sih datar
saja. Sebagai penggemar belanja online, sepertinya dia memang sudah mengabaikan
cara belanja konvensional. Beragam keperluannya seperti baju, celana, make up,
sampai sepatu dibeli lewat online. Semuanya dipakai untuk aktivitas
sehari-hari. Soal kepercayaan yang tinggi pada situs jual-beli online ini
pernah saya tanyakan.
“Beli online itu gak ceroboh juga. Harus melihat situs
belanjanya, memilih produk dari beragam toko, perbandingan harga, dan baca
klasifikasi produk yang dijual” terang istri saya.
(Situs belanja langganan istri saya-dok/pri) |
Masih menurut dia, situs belanja online sekarang
berlomba menawarkan kelebihan mereka. Biasa situs baru berani menggratiskan
pengiriman ke semua daerah di Indonesia. Meski begitu sebagai konsumen
harus jeli. Ketika melihat ada produk sejenis berharga miring, tak langsung
gelap mata. Harus dipastikan mengecek kualitas bahan. Berikutnya membandingkan
Dengan toko online yang lain. Dalam situs online itu berisi puluhan sampai
ratusan pelapak online.“Mau dapat bagus ya harus sabar,” sambungnya.
Bagi ibu rumah tangga, belanja online telah menjadi
kebiasaan. Cukup modal smartphone dan paket data, produk apapun bisa dipesan.
Biaya belanja langsung transfer begitu konsumen cocok. Biasanya istri saya
transfer via M-Bangking di gadget. Kita pernah ngobrol santai penuh canda soal
bisnis online ini. Mencari produk remeh-temeh yang kemungkinan tak akan ada di
online shop. Beberapa coklat murah dan jajanan anak coba kita cari. Terkejut
melihat deretan makanan tersebut. Produk yang tak lagi beredar di toko pun
masih bisa didapat via online. Jajanan seribuan bisa dibeli dengan modal.
Jangan pikir produk itu tanpa pembeli. Dari percakapan di bawah produk, ada
saja yang menawar dan memberi testimoni. Bukan hanya belanja, ibu rumah tangga
pun mulai aktif membuka lapak online. Beberapa istri rekan kerja serius
menggeluti bisnis online. Hasilnya lumayan. Malah sanggup menopang ekonomi
keluarga. Modalnya hanya smartphone. Cukup foto produk, upload, dan beri
keterangan. Kalaupun tidak tergabung di lapak online, bisa dipajang di sosial
media seperti facebook atau twitter. #IndonesiaMakinDigital.
Kecamatan Itu Sudah Ada Sinyal
Sebagai konsumen setia Telkomsel aksebilitas data begitu
penting. Seiring peningkatan jumlah pelanggan, Telkomsel serius untuk
memperbaiki cakupan. Bila dalam cerita sebelumnya diatas, saya mengalami
kesulitan sinyal ketika menggunakan modem saat berada di Kecamatan Jerowaru,
Lombok Timur, kejadian tersebut tak lagi terjadi. Saya mengalaminya 10 Oktober
2016. Salah satu tugas wartawan adalah mengawal misi kemanusiaan. Misi saat itu
mengantar distribusi air minum di Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru. Sempat
pesimis bakal kesulitan komunikasi ketika tiba di wilayah bagian selatan Pulau
Lombok. Sayangnya, saya salah.
(Pembagian air bersih di daerah minim sinyal-dok/pri) |
Saya yang sudah beralih sebagai pengguna Tablet dibuat
tersenyum. Ditengah warga yang berebut air bersih, sinyal paket data masih
jalan. Meski tak sekencang ketika berada di tengah kecamatan setempat. “Lha ini
lebih untung. 2012 lalu di tengah kecamatan jangankan sinyal internet, sinyal
HP saja tak ada,” batin saya. Membuktikannya saya mengecek HP yang kebetulan
memakai provider berbeda. Tanpa sinyal. Membuktikan kalau kecamatan ini memang
sudah ada sinyal, sepanjang jalan saya tetap mengecek gadget. Penyaluran air
dari dusun ke dusun terekam dengan baik. Bahkan, foto dari lokasi langsung
beredar di dunia maya. Dan lagi-lagi ini bukti #IndonesiaMakinDigital.
Pinggiran sudah ramah sinyal. Saya penasaran, apa yang membuat kecamatan
kesulitan akses digital sekarang menjadi mudah. Dugaan saya sudah ada
penambahan base transceiver station (BTS). Dari cek dan ricek informasi,
rupanya di 2016, tepatnya saat Ramadan milik Telkomsel ditambah. Tak
tanggung-tanggung sampai 900 BTS atau menara telekomunikasi.(Telkomsel tambah 900 BTS 2016)
Berdigital Ria Saat Waktunya
Gadgetholic begitu istilah mereka yang kecanduan
smartphone. Tingkah laku manusia di era sekarang pun berubah dengan adanya
ponsel pintar. Tiada waktu tanpa memandang layar gadget. Saya termasuk dalam
kelompok yang tak bisa jauh dari gadget. Tentu ada alasannya kenapa paket
internet super murah dari Kartu As jadi pilihan. Tak jarang paket data 4 GB
hanya bertahan beberapa hari. Selain untuk urusan kerja, bersosial media, paket
data ini kerap menjadi modem. Salah satu kelebihan smartphone bisa digunakan
untuk tetring. Biasa untuk ngeblog, smartphone beralih fungsi menjadi
Wifi-Hotspot. Kecanduan gawai harus dihilangkan. Lima bulan terakhir saya
terbilang hemat dalam memakai paket data. Caranya, saat jam berkumpul dengan
keluarga saya akan mengabaikan gadget. Bergadget ria bisa dilakukan kapan saja.
Namun momen kebersamaan bersama keluarga paling utama. Biasa sore hari ketika
kerja, gawai mulai aktif. Langkah ini tentu butuh komitmen. Sekali sudah
memandang gadget, berjam-jam mata tak akan lepas dari smartphone.
Hal lain yang patut diperhatikan soal era digital ini
adalah soal penggunaan gadget sebelum waktunya. Sejumlah orang tua
membiarkan anak-anaknya di usia balita menggunakan gadget. Saya termasuk orang
yang kurang suka anak kecil bermain gadget. Masa indah bermain bersama teman
seumuran dan bersosial bakal terenggut. Saya mengutip pendapat dari www.
RiauOnline.com, Psikolog Pendidikan dan Anak Elizabeth T. Santosa menjabarkan,
menggunakan gadget tanpa batasan bisa menyebabkan adiksi atau ketergantungan
pada anak. Ada dua faktor yang dapat menyebabkan anak berlama-lama memakai
gadget. Pertama, orangtua juga sibuk dengan gadgetnya sendiri. Sehingga abai
dengan aktivitas sang anak. Kedua, orangtua itu kurang memahami bahaya paparan
layar elektronik pada sang anak. menjabarkan anak adiksi gadget. Negeri ini
boleh kian digital. Jangan biarkan hidup kita ikut dikendalikan smartphone.
Bagi mereka yang tertarik berusaha, tak ada salahnya
memanfaatkan kecanggihan teknologi. Jangan hanya ponsel saja yang pintar,
pemiliknya juga harus pintar. Perkembangan dunia digital dunia kian pesat.
Potensi pengguna internet di Indonesia cukup besar. Menempati urutan nomor enam
dunia. (Pengguna internet Indonesia 2016). Wow, peluang
besar untuk membuka lapak online. Saya sendiri sudah menyiapkan diri
berpartisipasi dalam lapak online.
Dengan beragam pengalaman saya diatas, pantaskan bila
Smartphone dikatakan sebagai pengendali era digital?Hemmm....(*)