Tuesday 4 October 2016

Nasib Ahmadiyah di Kota Mataram

Sepoi angin menerpa Jalan Transmigrasi, Majeluk, Kota Mataram. Ada salah satu bangunan yang penuh umbul-umbul bendera merah putih. Inilah Asrama Transito. Sudah sepuluh tahun lebih asrama ini menjadi peneduh bagi Jamaah Ahmadiyah Mataram yang terusir. Kondisi bangunan penampung Jamaah Ahmadiyah istimewa. Untuk memisahkan antar keluarga, ada sekat dari triplek. Sebelumnya pemisah mereka hanya spanduk bekas. Total ada 33 kepala keluarga (KK) atau 120 jiwa Jamaah Ahmadiyah yang berada di Asrama Transito. Senyum mengembang dari Jamaah Ahmadiyah Mataram ketika disapa. Tidak banyak yang tahu, cerita pahit pengusiran berulang kali mereka alami. Kisah pengungsian Jamaah Ahmadiyah Mataram ini dimulai tahun 2006 silam. Sebelumnya Jamaah Ahmadiyah tinggal di Sambi Elen, Bayan, Lombok Utara tahun 2001. Ada gesekan karena yang dianut oleh para jamaahnya. Mereka terusir dari Lombok. Puluhan jiwa Jamaah Ahmadiyah kemudian pergi ke Pulau Sumbawa. Lagi-lagi gesekan terjadi di Pulau Sumbawa. Pertikaian pun pecah. Mereka harus kembali ke Pulau Lombok, mencari daerah yang bisa menerima mereka. Letih sering berpindah, puluhan jiwa Jamaah Ahmadiyah Mataram memutuskan mencari perumahan. Pilihan jatuh di Perumahan Bumi Asri, Ketapang Lombok Barat. Jamaah Ahmadiyah yang ada di beberapa wilayah, akhirnya memutuskan menjual aset dan membeli rumah di Ketapang, Lombok Barat. Tepat 2005 Jamaah Ahmadiyah mulai menempati rumah baru di Ketapang. Kegembiraan itu tidak lama, pertengahan 2006 mereka kembali harus menerima diskriminasi. Ada pelemparan batu sampai penjarahan. Tidak ingin terjadi bentrokan lebih besar, pemerintah pun akhirnya mengungsikan Jamaah Ahmadiyah ke asrama milik Dinas Sosial Provinsi NTB. Empat tahun berjalan, Jamaah Ahmadiyah mencoba kembali ke Ketapang, Lombok Barat. Rupanya mereka belum juga diterima. Tahun 2010 penyerangan ke rumah Jamaah Ahmadiyah kembali terjadi. Itulah akhirnya membuat mereka memutuskan tidak nomaden (baca: berpindah). Apa yang dialami Jamaah Ahmadiyah Mataram karena mereka dianggap berbeda dalam soal keyakinan. Apa yang terjadi pada Jamaah Ahmadiyah seolah melawan konstitusi di Indonesia, pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945) tertulis, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali." Sementara di Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Kalaupun Jamaah Ahmadiyah dianggap sesat atau menyimpang menurut pasal 2 ayat (2) UU Penodaan Agama, kewenangan menyatakan organisasi itu sesat atau tidak ada pada Presiden, setelah mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Pada praktiknya, ada Badan Koordinasi Pengawasan Kepercayaan Masyarakat atau biasa disingkat Bakor Pakem. Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan Masyarakat (PAKEM). Tim Pakem ini kemudian akan menghasilkan suatu surat rekomendasi untuk Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri, tindakan apa yang harus diambil. Dalam kasus Jamaah Ahmadiyah Indonesia diberikan rekomendasi agar diberi peringatan keras sekaligus perintah penghentian kegiatan. Dengan langkah-langkah yang sudah diambil pemerintah, seharusnya tidak boleh lagi ada diskriminasi pada Jamaah Ahmadiyah Mataram. Mereka yang sebagian besar bekerja serabutan seperti penjual di pasar, tukang pikul, ataupun penjual hasil kebun jelas tidak memiliki banyak yang. Bila selalu berpindah dan meninggalkan aset, ekonomi mereka kian sulit. Koordinator Jamaah Ahmadiyah Mataram Syahidin bercerita, setelah bertahun-tahun tinggal di Asrama Transito, akhirnya 2015 silam mereka mendapat pengakuan. Kota Mataram memberikan KTP. Sebelumnya di Pemilu Presiden 2009, Pemilihan Kepala Daerah Kota Mataram 2010, Pemilihan Gubernur NTB 2013, Pemilihan Presiden 2014, Pemilihan Legislatif 2014 semuanya tidak pernah menggunakan hak pilihnya. Tentu saja soal KTP menjadi ganjalan untuk mereka menggunakan hak pilih. Perhatian pemerintah daerah untuk Jamaah Ahmadiyah di Asrama Transito cukup bagus. Kegiatan sosial dan keagamaan kerap digelar di lokasi mereka. Pemerintah tidak boleh berhenti mendukung Jamaah Ahmadiyah. Unsur kemanusiaan harus dikedepankan. Jangan sampai karena berbeda kemudian mereka ditindas dan diabaikan. Sepuluh tahun lebih tinggal di Asrama Transito, Jamaah Ahmadiyah berusaha untuk menyatu dengan masyarakat sekitar. Akulturasi dan pembiasaan dengan warga Majeluk, Kota Mataram terus dilakukan. Seperti hari kemerdekaan 17 Agustus 2016, Jamaah Ahmadiyah Mataram menggelar beragam lomba. Halaman Asrama Transito menjadi lokasi beragam lomba. Kemerdekaan Indonesia sudah 71 tahun. Menurut Syahidin, sudah seharusnya diskriminasi itu hilang. Kepada siapapun selama warga Indonesia harus dilindungi. Seperti burung yang bebas, kemanapun terbang tidak ada yang mengusik. Jamaah Ahmadiyah Mataram ingin merasakan kebebasan tanpa diskriminasi. Tidak ada yang ingin hidupnya selalu dibayangi ketakutan. Ke mana pun melangkah selalu diabaikan, dikucilkan, bahkan diusir. Indonesia terdiri atas beragam suku, agama, ras, dan golongan. Almarhum Presiden KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dahulu mati-matian membela Jamaah Ahmadiyah. Mengutip kata-kata Gus Dur, "Berbuat baiklah kita kepada siapa pun, bila kita baik orang tidak akan tanya apa suku dan agamamu,".

0 10 komentar:

Post a Comment