Sunday 6 December 2015

Singapura Membuat Orang Pintar Seperti Mesin

Melihat Kondisi Singapura Terkini (3-Habis)


MALAM kedua di Singapura, rasa penasaran menggelayut di kepala saat mendengar kisah bagusnya pendidikan di negeri singa. Tour guide rombongan jurnalis asal Indonesia membeberkan kalau di Singapura pendidikannya sangat maju. Rasa penasaran itu terobati. Beruntung bisa bertemu M Roil Bilad, dosen Nanyang Technological University. Darinya banyak informasi pendidikan di Singapura. Pria asli Lombok Tengah ini sebenarnya tidak asing bagi Lombok Post, beberapa waktu lalu profilnya pernah dibuat. Setelah meluangkan waktunya, ia menjemput di Hotel Ibis Bencoolen. Meski perjumpaan pertama, tidak ada kesan kaku. Dengan senyum mengembang dia langsung menyapa.
"Halo, ayo mau kemana?" katanya menyapa.
Pilihan untuk berbincang pun jatuh di Bugis Street, jaraknya tidak terlalu jauh, sekitar 300 meter dari hotel. Sepanjang jalan ia banyam bertanya tentang kedatangan para wartawan dari Indonesia. Dan seperti gaya khas orang timur, latar belakang masing-masing menjadi topik pembuka sepanjang jalan. Gayanya sangat bersahabat. Setelah berkeliling membelah Bugis Street kami memutuskan memilih satu kedai untuk nongkrong.
"Disini kemana-mana enak, naik kendaraan umum cepat," bebernya.
Seperti tulisan sebelumnya, tidak banyak orang Singapura memiliki kendaraam pribadi. Untuk bisa punya motor menyiapkam 7 ribu SGD ( Rp 9.700 tiap dollar) sementara mobil 70 ribu SGD. Kalau tidak benar-benar kaya enggan punya kendaraan. Toh, transportasi umum disana sangat bagus. Setelah bincang santai 15 menit, topik pun mulai beralih soal pendidikan. Roil bercerita pelajar maupun mahasiswa di Singapura pintar-pintar. Dari kecil mereka sudah berusaha memacu diri supaya pintar. Orang tuanya sangat mendukung. Bahkan mereka rela mencarikan guru les khusus. Mencari guru les di Singapura tidak mudah. Sampai banyak yang menyebar brosur ke kampus untuk mencari guru. Tarifnya dihitung per jam. Tiap jam harus bayar 45 SGD. Mahal untuk ukuran Indonesia, lebih Rp 400 ribu.
"Itupun nyari guru tidak mudah. Belum tentu dapat cepat," ucap Roil.
Doktor jebolan Belgia ini bercerita, sebenarnya belum terlalu lama masuk Singapura. Menjadi dosen Maret 2015. Tapi, ia sudah bisa menggambarkan sistem pendidikan di Singapura. Biaya pendidikan mahal. Kuliah tiap semester harus bayar hampir Rp 300 juta. Orang tua tidak mampu langsung membayar. Maka pilihannya adalah pinjam bank. Sebagian besar orang tua pinjam uang di bank untuk pendidikan. Setelah anak lulus kuliah, harus cepat kerja. Dengan begitu uang pinjaman di bank bisa dilunasi.
"Untuk pendidikan memang mahal. Masuk TK saja harus les, mampu bahasa dengan baik," urainya.
Itu kemudian yang membuat tingkat kompetisi di Singapura begitu tinggi. Hidupnya benar-benar ditekan. Orang pintar diciptakan bak "mesin". Pikirannya hanya memacu diri dan memacu diri. Disana juga yang akhirnya menjadi kekurangan. Tingkat individual warga begitu tinggi. Jarang yang peduli dengan sekitar. Roil menyebut, kepintaran warga dipupuk sejak dini. Kalau otaknya tidak top, mereka tidak bisa kuliah. Kualitas pendidikan pertama dan menengahnya memang cukup maju.
"Kalau yang tidak kuliah akhirnya pilih kejuruan atau vocasi," lanjut pria asli Lombok Tengah ini.
Saat kuliah, lanjutnya, pola di Singapura langsung berkumpul, di dalamnya bisa antara 1.200-1.600 mahasiswa. Tidak ada istilah mereka tidak mengerti. Dosen cukup memberi silabus. Kemudian mahasiswa belajar sendiri.
"Disini pintar-pintar," tandas Roil.
Ia menepis keraguan soal belajar dengan banyak orang tidak akan terserap. Justru kuncinya bukan pada pembelajaran di kelas. Kompetisi yang tinggi, membuat mahasiswa mandiri. Mereka belajar keras. Tidak ada tengok kanan-kiri, pokoknya belajar, belajar, dan belajar. Etos belajar tinggi mahasiswa, ikut ditunjang kualitas dosen. Dosen universitas di Singapura memiliki nama besar. Para dosen rajin menulis di jurnal internasional. Apapun tulisannya, nama besarnya sudah menyihir dunia pendidikan.
"Pendidikan, Singapura akan terus leading. Tidak hanya Asia, bahkan dunia," ungkap Roil.
Kemampuan tinggi mahasiswa ini, benar-benar terwujud nyata di dunia kerja. Singapura terkenal dengan negara mudah investasi. Tidak perlu menunggu bulanan, hitungan jam izin beres. Orang pintar ini juga yang kemudian membuat ekonomi tetap bagus. Sampai saat ini Singapura masih menerapkan bea masuk barang nol persen. Pengusaha hanya dikenai pajak 7 persen. Para sarjana itu juga yang kemudian mengkonsep transportasi masal yang baik.
"Disini sangat efisien," tambahnya.
Penjelasan Roil ini melengkapi cerita soal pendidikan di Singapura dari Harbans Suki. Tour guide tersebut mengurai, pendidikan di Singapura adalah segalanya. Mereka dipacu supaya pintar. Bila tidak pintar dampaknya tentu ke negara. Lagi-lagi posisi tawar negara yang tinggi, menjadi pemicu. Singapura tidak ingin dibebani warganya. Dengan menjadi pintar, berarti mereka bisa menolong dirinya sendiri. Jadi jangan heran, kalau pendapatan rata-rata paling rendah adalah 2 ribu SGD.
"Harus pintar, tidak boleh tidak," katanya.
Perempuan keturunan India ini menyebut, kondisi warga Singapura yang di atas rata-rata membuat kompetisi begitu kuat. Tidak mudah orang bisa masuk. Kalaupun masuk kebanyakan menjadi tenaga kasar. Seperti warga India yang banyak menjadi sopir atau buruh di pelabuhan.
"Anak saya sendiri yang terakhir kuliah di Australia. Supaya pintar," aku ibu tiga anak ini.
Pola pendidikan Singapura memang tidak harus ditiru oleh Indonesia. Namun, etos belajar dan tingginya kompetisi layak menjadi acuan. Bukankah selama ini kita belum menomor satukan pendidikan. Kita terlalu sibuk dengan urusan konsumtif mulai motor, gadget, sampai urusan dompet.(*)

0 10 komentar:

Post a Comment