Monday 7 December 2015

Mengelola Sampah dan Sungai di Kota Mataram


Indriyatno

(Dosen Program Studi Kehutanan Universitas Mataram)

Siapa yang tidak kenal sampah? Sampah merupakan suatu masalah bahkan menjadi masalah di daerah maupun masalah nasional. Seperti halnya juga di Pulau Lombok, di Kota Mataram misalnya Adipura tidak dapat di raih karena belum beres mengelola sampa dan sungai. Demikian juga di Lombok Barat.
Para pemerhati lingkungan memikirkan sampah mau dikemanakan sampah ini??? Salah satu oleh Forum Wartawan Lombok Barat ke Bandung menyoroti penanganan sampah, dari hasil kunjungan ke Bandung, Di Bandung yang konon rencananya akan dijadikan sampah sebagai sumber energy listrik. Demikian juga DPR melalui kaukus DPR melakukan temu rembug dengan masyarakat untuk mendengarkan masalah sampah dan pengelolaan sungai di Kelurahan Ampenan beberapa waktu yang lalu.
Sebenarnya ketika memandang sampah dengan berpikir positif maka sampah merupakah berkah bagi kita, mengapa?? Banyak ide yang bisa kita lakukan dari sampah, juga bagaimana solusi penangan sampah, terutama yang sesuai dengan kondisi sosial masyarakat Lombok ini.
Salah satu warga Kelurahan Banjar mengembangkan Bank Sampah pengrajin handycraf plastic bekas, dia saat ini medapatkan order untuk diekspor, dalam pegembangannya sampah yang dibuat ternyata bukan sembarang sampah, sampah yang dimaksud adalah sampah yang diperlakukan dengan baik, mengapa bungkus permen, atau kopi cara pemotonganngya harus standar sehingga bisa didesain menjadi model dan bahan yang sesuai dengan keinginan pembeli seperti tas, dompet dan lain-lain, artinya manajemen sampah perlu disosialisasikan kepada warga dan warung-warung bagaimana memperlakukan sampah.
Penulis sendiri memiliki pengalaman ketika menangangi sampah, dari kotoran limbah pemotongan dan limbah mesin penetasan telur penulis membudidayakan papaya kalifonia mendapatkan pendapatan perhari minimal Rp. 50.000,-, sedangkan pak Japri seorang petani denga lahan sewa seluas 2 ha di daerah Pejarakan juga mampu memangkas kebutuhan pupuk an organik sebesar 10 % dari limbah sampah serta dia bisa menggaji karyawan usaha taninya Rp. 500.000,- per hari dan mempekerjakan 10 tenaga kerja setiap hari.
Mengelola sampah secara individu pun mendatangkan hasil, bagaimana bia dilakukan secara berjamaah, tentu lah banyak ide yang muncul dari sana. Dua tahun yang lalu penulis bertemu dengan seorang lurah yang memiliki perhatian terhadap lingkungan, kami berjuang bersama mencoba mengolah sampah bersama masyarakat. Dari hasil diskusi dengan warga yang kami lakukan hampir setiap minggu di Kelurahan Banjar ternyata sampah bisa ikut mengsejahterakan warganya bila cita-cita yang rencanakan terwujud. Mengapa kesejahteraan, karena kalimat ini merupakan kalimat yang abstrak, dan tidak mudah didifinisikan dan direalisasikan, menurut penulis kesejahteraan adalah hal yang sederhana di mana setiap orang akan disebut sejahtera jika dia bisa mengakses kesehatan, pendidikan, ekonomi, lingkungan, sarana dan prasarana. Mengapa demikian sepanjang pengalaman penulis melakukan pengelolaan sampah di Lingkungan Selaparang, pengalaman yang paling menyedihkan adalah ketika ada seorang kader kelurahan meninggal ketika di terkena kangker rahim namanya ibu Maryati. Tentang kegigihan ibu Maryati tentu warga Banjar tidak meragukan lagi, setiap pagi penulis sambil mengirim sayur lihat bu maryati menyapu sampah di Jalan Energi, pada saat almarhum tidak terltihat menyapu lagi di jalan, ternya beliau masuk rumah sakit Bayangkara. Dari visum dokter dia terkena kangker rahim stadium IV dan harus di kemoterapi. Bukan tidak ada perhatian dari pemeritah, berbekal kartu askin beliau dirujuk untuk khemo di Rumah sakit di Bali. Warga, ketua liggkungan, ketua RT dan tokoh masyarakat serta pak Lurah pun membantu untuk bisa berobat, namun persoalnya tidak sesederaha yang kita bayangkan. Beliau tidak bisa berobat bukan karena tidak ada rumah sakit yang mengobati tetapi tidak ada biaya digunakan untuk keperluan hidup di Bali pada saat pengobatan. Sehingga beliau tetap di rumah sampai beliau meninggal. Jadi orang disebut sejahtera jika suatu situasi dimana seseorang atau rumah tangga mengalami kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, sementara lingkungan pendukungngnya dapat memberikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan secara berkesinambungan atau keluar dari kerentanan, jika hal tersebut tidak tercapai maka seseorang atau rumah tangga disebut miskin.
Jadi ketika tingkat pengetahuan dan kesehatan terpenuhi cenderung alam dan sosial menjadi baik, bila kesehatan dan materi terpenuhi cenderung kondisi sosial dan politik menjadi baik, demikian juga jika materi dan pengetahuan baik cenderung politik dan ekonomi menjadi baik dan diharapkan natinya bila kondisi politik kondusif, alamnya mendukung, ekonomi masyarakat meningkat maka sarana dan prasarana juga akan meningkat. Itulah makna kesejahateraan yang sebenarnya bagi kita masyarakat. Berpikir dari situlah kita mencoba mengembangkan pengelolaan sampah dan Sungai Jangkok
Dari permasalahan itu, dicobalah kita mengembangkan askes kelurahan, dimana bila setiap KK minta untuk iuran Rp. 10.000 untuk mengelola sampah, maka di lingkungan itu aka memiliki kas setiap bulan sebesar Rp. 6.000.000, uang tersebut digunakan untuk pembersih sampah sebanyak Rp. 2.500.000,- maka masih terdapat kas Lingkungan sebesar Rp. 3.500.000 dalam 1 tahun akan terkumpul Rp. 3.500.000 maka dalam satu tahun terkumpul uang sebesar Rp. 42.000.000.
Pada saat ini secara swadaya pihak kelurahan juga membentuk kelompok ekonomi produkif untuk mengelola 2 kumbung jamur yang posisinya di bantaran sungai jangkok. Hasil usaha tersebut kecuali untuk meningkatkan pendapatan warga juga digunakan untuk mengelola sampah dan manejemen pengelolaan sungai.
Ditambah lagi bila warga dan anak-anak KKN tematik Unram berhasil menanam nangka unggul lokal, nagka tersebut penulis temukan pada saat masuk hutan di kaki Gunung Rinjani menemukan buah nangka beratnya mencapai 80 kg, luar biasa seandainya ditanam di sepanjang Bantaran Sungai Jangkok sebagai estimasi bila 1 buah harganya Rp. 100.000 didalam 1 pohon menghasilkan 10 buah dan ditanam sebanyak 100 pohon dalam 1 lingkungan maka akan didapatkan uang sebanyak Rp. 100.000/tahun, penulis juga berkonsultasi dengan para pedagang dodol dan kripik nangka di daerah soronadi, memberi informasi bahwa nangka yang jenis tersebut digunakan sebagai bahan dodol dan kripik .
Artinya total pendapatan dari kegiatan warga dari budidaya nangka dan uang sampah menjadi Rp. 142.000.000,- sungguh luar biasa, bila ditambahkan dengan ide yang dikembangkan seorang sahabat kepala dusun nan jauh di pinggiran hutan sesaot mengembangkan pisang sehat, bila di lingkungan Selaparang menanam papaya setiap kk 2 pohon 1 pohon diambil oleh pemilik rumah sedangkan 1 pohon diserahkan ke lingkungan sebagai asumsi saat ini 1 pohon bisa menghasilkan Rp. 50.000 maka dalam 1 tahun akan didapatakan uang sebesar Rp. 50.000 x 600 tanaman = Rp. 30.000 jadi total terdapat uang sebanyak Rp. 172.000.000 sungguh luar biasa, semoga dari dana sebesar ini bisa untuk dana kesehatan mencapai kesejahaterakan yang di amanhakan dalam UUD 1945, termasuk tidak ada lagi kejadian Ibu Maryani tidak bisa berobat karena tidak ada biaya.
Dana tersebut bisa diakses oleh warga yang sakit maksimal Rp. 2.000.000,- saat ini dengan segala keterbatasan pak lurah baru mampu menggerakan warganya sebesar 2 RT. Memang jalan terjal mengelola sampah masih panjang dan belum optimal.
Pengembangan pengelolaan sampah bukan perkara mudah di tingkat implementasi di masyarakat, walaupun dibuat papan larangan membuang sampah biasanya perilaku masyarakat membuang sampah ke sungai tidak berubah, yang diperlukan saat ini adalah melakukan perubahan mainset perilaku. Pak lurah sendiri dalam menghadapi warganya penuh tantangan dan kesabaran. Seorang ketua RT menyarankan kepada warganya di depan pak lurah “ jangan buang samah di pinggir sungai tapi buanglah ke tengah sungai” namun demikian dari tangan dingin seorang lurah saat ini 2 RT sudah tertangani. Untuk merubah mainset pak lurah mengerakkan warganya untuk begotong royong setiap minggu seperti membuat bipori dan penyuluhan pegelolaan sampah, dimana biopori kecuali untuk mengendalikan banjir di kelurahan Banjar juga dapat dipakai sebagai lubang pengolah sampah organik, Dari kegiatan biopori sedikit demi sedikit genangan-genangan yang biasanya terjadi di daerah Lingkungan Selaparang mulai berkurang,
Pembelajaran yang lain yang diberikan adalah dengan memberikan modal usaha simpan pinjam sebesar Rp. 400.000 uang tersebut diberikan kepada kelompok kader pengolah sampah sebagai dana simpan pinjam, Bu Maryati almrhumlah dan Maryani yang meminjamkan kepada anggotanya untuk usaha simpan pinjam, sampai bu Maryati meninggal dana tersebut bertambah menjadi 600.000, dana ini tidak cepat bertambah karena dari hasil diskusi dengan kelompok tidak ada bunga yang konon kabarnyanya mengandung riba secara agama. Dengan memberikan modal ekonomi utuk usaha bersama yang ditumbuhkan adalah membangun modal kepercayaa bahwa kita akan bersama bangkit mengelola sampah untuk kesehateraan, walaupun perjalanan warga keluran Banjar berjalan sangat pelan. Semoga warga Banjar tetap bersemangat memperjuangkan pengelolaan sampah untuk kemaslahatan umat manusia amin.

0 10 komentar:

Post a Comment