PERKEMBANGAN penduduk dalam suatu daerah wajib terjadi. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin banyak. Pertumbuhan penduduk akan membawa imbas dalam segala hal. Mulai dari kepadatan transportasi, kepadatan pemukiman, limbah industri, sampai sampah rumah tangga.
Untuk sampah rumah tangga, ini problem yang dihadapi hampir semua kota, baik kecil, berkembang, ataupun kota besar. Kita tentu menyaksikan, kehebohan yang terjadi di Jakarta beberapa waktu lalu. Warga Bantar Gebang menutup akses sampah dari Jakarta. Truk sampah tidak mengangkut tiga hari saja, rupa Jakarta langsung kumuh. Sampah ribuan kubik berserakan di pinggir jalan. Baunya, sudah tidak usah ditanya lagi, setiap pengendara yang melintas pasti tutup hidung.
Hal serupa bisa saja terjadi di Kota Mataram, ibukota NTB ini masih berjibaku dengan sampah. Tata kelola sampahnya masih buruk. Sampah yang berserakan itu tidak melulu dari warga kota. Sejumlah warga dari kabupaten tetangga pun kerap membuang sampah di wilayah Kota Mataram. Karena memang dari sisi infrastruktur, di kota lebih memadai.
Pola angkut buang yang diberlakukan di Kota Mataram, tidak bisa terus dipertahankan. Masalahnya, armada yang dimiliki Dinas Kebersihan belum seimbang. Setiap tahun selalu ada pengadaan dump truk, namun saat itu juga truk lawas harus dikandangkan. Pola yang terjadi dalam penyiapan armada hanya tambal sulam.
Lalu apa terobosan masal yang bisa dilakukan? Sebenarnya terobosan sudah dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan masyarakat. Program itu bernama lisan atau lingkungan dengan sampah nihil. Di awal program, memang terlihat mumpuni. Tidak perlu diteriaki, masyarakat bersama-sama menghalau sampah. Sampah plastik bisa menghasilkan rupiah. Sayangnya, pola ini tidak bisa bertahan lama. Penanganannya belum seimbang dari hulu sampai hilir. Sampah memang terkumpul. Sayang, uangnya mampet. Masyarakat berpikir pragmatis,"ngapain ngumpulin sampah plastik kalau tidak jadi uang,".
Ada terobosan menarik yang sebenarnya harus digali lagi untuk penanganan sampah. Ada orang Jepang yang sempat datang ke Kota Mataram mengajarkan mengelola sampah. Menariknya, pengelolaan dimulai dari rumah tangga. Dimulai dari sampah dapur. Memilah antara sampah organik dan anorganik. Jadi sampah organik dikumpulkan khusus dalam tong, kemudian diberi "kuman". Sampah sisa sayuran, sisa nasi, ataupun sisa lauk bisa bermanfaat. Melalui proses tersebut sampah organik itu bisa diubah menjadi pupuk. Setelah beberapa hari dan tidak lagi berbau, jadilah pupuk cair.
Sementara untuk sampah anorganik, ini sebenarnya tidak perlu repot. Kalau mau mengumpulkan, ada saja pemulung siap menampung. Tapi, sampah ini juga bisa dijadikan untuk pemanis di rumah. Untuk bekas botol, bisa dibuat pot tanaman. Sementara bungkus makanan, bisa dirangkai menjadi taplak meja atau tas.
Mendorong pengelolaan sampah rumah tangga dari masing-masing rumah diangao berat, karena mengambil jangkauan terluas. Pemerintah bisa mencoba dengan dimulai di satu RT. Setelah sukses, baru diagendakan lebih luas lagi menjadi tingkat RW, kelurahan, bahkan kecamatan. Tentu saja untuk upaya ini, harus ada langkah simultan dan pemberian reward. Bagaimana pemerintah, berani coba?.(*)