This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Showing posts with label BUDAYA LOKAL. Show all posts
Showing posts with label BUDAYA LOKAL. Show all posts

Tuesday 8 December 2015

Avroins Made in Lombok


Clothing Produk Lombok (1)

Pergaulan kadang menularkan semangat berkarya. Sering bergaul dengan owner clothing lokal, memunculkan inspirasi. Itulah yang menjadi cikal bakal lahirnya Avroins Apparel.
Sebagai clothing lokal pendatang baru. Owner Avroins Apparel Akbar Ongko tidak menutupi, ketertarikan pada bisnis clothing karena sering berbincang soal clothing. Juli 2014 produk Avroins Apparel dikenalkan.
"Arti nama itu kemakmuran," katanya.
Clothing di Lombok memang sedang naik daun. Kaos-kaos buatan lokal ini tampil sebagai produk lokal. Kualitasnya tidak kalah dengan busana yang sudah dikenal oleh anak muda. Pilihan bahan pun sengaja dicarikan yang terbaik.

Untuk produksi, kata Akbar, ada 17 macam desain kaos. Selain kaos ada juga produksi waistbag, topi, bennie, gelang, lanyard, dan jaket. Seperti clothing lokal lainnya, awal berdiri tidak langsung memiliki distro atau store sendiri. Pilihannya tentu titip di bebrapa distro. Di Mataram produknya bisa dijumpai di Lucky Light Candy, Lovely Sunday, dan Electra Diamond. Di Lombok Timur dititip di Duke Store. Titip-menitip produk menjadi hal lumrah diantara clothing lokal. Istilah mereka saling membantu.
"Selain itu kita kirim barang ke Sumbawa, di Murcle Store," bebernya.
Dengan mematok harga Rp 120 ribu tiap kaos, penggemarnya memberi apresiasi positif. Ada pangsa pasar sendiri. Meski bisnis clothing lokal menggeliat tidak lantas membuat kehilangan peminat. Costumer memiliki kesempatan menyampaikan desain. Setelah desain disampaikan, tentu saja Akbar bakal memberikan sentuhan terbaik.
"Selain dari kita. Konsumen bisa usul desain," ucap Akbar.
Pemuda berjenggot ini menambahkan, desain untuk para skater menjadi andalan. Desain simpel untuk penggemar skateboard menyita perhatian. Kebanyakan clothing lokal mengambil desain art atau komunitas.
"Saya desain yang mudah-mudah saja. Tapi mengena ke konsumen," akunya
Menurut Akbar, geliat clothing lokal tidak membuatnya gentar bersaing. Justru banyak pengalaman dari clothing senior bisa diambil. Justru clothing karya anak muda Mataram harus dipertahankan. Selain membuat nama daerah terkatrol, desain lokal menunjukkan kreativitas anak mudanya. Clothing bagian dari ekonomi kreatif.
"Soal lesu atau sepi itu proses," tambahnya.
Ditengah gencarnya usaha anak muda menghidupkan clothing, lanjutnya, harus diberi ruang lebih oleh pemerintah. Perlu ada pameran untuk clothing lokal. Sejauh ini clothing lokal eksis secara mandiri. Padahal bisnis clothing ikut menumbuhkan ekonomi kecil. Selain penjual kaos, tukang sablon mendapat untung.
"Harus dibantu pemerintah. Seperti ada event pameran clothing berkala," ucapnya.
Diakuinya, solidaritas diantara pemilik clothing lokal cukup bagus. Itu membuat clothing junior diberi kesempatan. Konsumen memiliki banyak pilihan. Tinggal masing-masing clothing memberi karyawan terbaik.(*)

Sunday 4 October 2015

Perang Api Penuh Ketegangan



Menjelang Hari Raya Nyepi selain pawai ogoh-ogoh, ritual yang banyak menyedot perhatian adalah perang api. Bobok yang dibakar dijadikan sebagai senjata. Ini pengalaman yang cukup menegangkan ketika berada di tengah-tengah perang api, bagaimana tidak, api yang panas itu bakal dipukulkan. Jumat, 20 Maret matahari di Kota Mataram sudah temaram, sejumlah muda-mudi yang baru mengikuti pawai ogoh-ogoh melintas. Sementara taman di pertigaan Negara Sakah, jalur dari Cakranegara ke Sweta mulai dipadati masyarakat. Seperti tahun-tahun sebelumnya, sebelum Nyepi, di pertigaan ini memang selalu menyedot perhatian dari masyarakat.
Puluhan polisi berseragam lengkap berjaga. Puluhan pemuda muncul dari timur sembari membawa daun kelapa kering yang diikat (bobok). Mereka saling mengingatkan supaya mengikat bobok dengan erat.
Sementara.dari bagian barat, pemuda yang muncul tidak sebanyak yang di timur.
"Sebentar, tunggu kumpul," kata salah satu pria.
 
Setelah menunggu, sekitar 10 menit akhirnya jumlah personil dari Lingkungan Negara Sakah bertambah. Sementara dari arah timur, kelompok dari Sweta sudah tidak sabar untuk memulai "pertarungan". Bobok mulai dibakar. Jilatan api pun berkobar. Asap mulai mengudara. Bagi yang pertama kali menyaksikan ini tentu begidik. Bagaimana tidak, pembawa bobok yang membara langsung beradu di tengah jalan.
"Ayo, serbuuuu," teriaknya.
Bobok yang berkobar langsung mati disaat menghantam tubuh lawan. Disaat bersamaan bara di bobok bertebaran. Penonton yang awalnya merapat di tengah jalan, langsung kocar-kacir melihat bara api itu beterbangan. Pertempuran ini tidak lama, hanya 5 menit. Begitu saling serang usai, tokoh dari dua kubu dan polisi segera memisahkan diri.
Penonton di sekitar perang api memiliki tanggapan beragam. Ada yang menilai ritual tersebut mengerikan, ada juga yang menilai penuh keberanian.
Menurut Zulfikar salah satu penonton, perang api menunjukkan keberanian. Pasalnya, tanpa ragu pembawa bobok dengan api membara saling hantam. Karena baru pertama kali menyaksikan, raut mukanya tegang begitu perang api dimulai.
"Pasti kena badan panas itu," katanya.
Perang api memang menyedot perhatian masyarakat luas. Ada yang datang jauh-jauh dari luar Kota Mataram, seperti Lombok Timur dan Lombok Tengah. Perang api dianggap selalu menarik setiap tahunnya. Tidak heran, fotografer dan kameramen berkumpul secara khusus. Bahkan perang api ini selalu mendapat liputan khusus dari media nasional.
Ritual perang api antara Lingkungan Sweta dengan Negara Sakah. Dari ceritanya lokasi perang, dahulu adalah tempat perang antara Kerajaan Singosari dan Kerajaan Karang Asem. Setelah perang usai, tidak ada dendam diantara mereka, mereka pulang ke rumah masing masing dengan suasana damai.
Sejatinya  perang api bukan sekadar perang perangan dalam rangka peringatan menyambut Hari Raya Nyepi, melainkan memiliki makna yang lebih dalam, yaitu untuk membersihkan bumi dari segala malapetaka yang terjadi.
 

Kapolsek Cakranegara Kompol I Gusti Putu Suarnaya yang memantau perang api mengatakan, tidak ada pertikaian usai  jalannya perang api. Semua berjalan dengan baik tidak ada dendam.
"Kembali ke rumah dengan suasana damai," katanya.
Meski terlihat memanas, kata Suarnaya, itu hanya terjadi saat perang api. Kedua kubu diakuinya cukup bersemangat. Itu membuat sepanjang perang api, bobok membara sempat beterbangan.
"Ya, setelah itu selesai. Semua membubarkan diri," ucapnya.
Perang api di Kota Mataram pantas untuk terus dipertahankan. Tradisi yang menunjukkan keberagaman dan kemajemukan warga ibukota NTB. Perang api di Kota Mataram menjadi salah satu aset daerah.(*)


Tenun NTB yang Menggoda



DERETAN pertokoan di Jalan Energi tepat disamping Kantor Bidy Tour ada outlet bertuliskan rumah tenun. Begitu masuk ke dalam outlet tersebut jajaran pakaian dari kain tenun sudah menyambut. Ada juga meja yang khusus menyediakan kain tenun yang masih dalam bentuk lembaran. Toko ini milik Linda Hamidi Grander. Ibu satu anak ini dengan bersemangat bercerita , ada model senior asal Surabaya yang memborong berbagai karya tenun miliknya. Tenun NTB memang menggoda. Tidak hanya di kancah nasional, tenun asal NTB juga berhasil menggoda pecinta mode mancanegara.
Membeli busana dari kain tenun tidak seperti membeli pakaian biasa. Ada karya yang ikut dibeli oleh konsumen. Sebagai seorang desainer kain tenun, ia mengaku, gampang-gampang susah untuk membuat busana berbahan kain tenun. Tidak seperti kain biasa yang bisa menyesuaikan dengan desain. Membuat busana dari kain tenun, desainer yang harus mengikuti motif pada kain.
''Tidak bisa sembarangan. Selain kainnya terbatas, harganya juga mahal,'' bebernya.

Diceritakan, rumah tenun yang dibuka sejak 2009 silam itu kerap menjadi jujukan orang dari luar daerah yang ingin membeli busana kain tenun. Apresiasi pada busana kain tenun yang diberikan oleh warga lokal sendiri, belum setinggi seperti warga luar daerah. Busana yang dijual dengan kisaran harga Rp 200-700 ribu untuk jenis rok atau Rp 750 ke atas untuk long dress masih dianggap mahal.
''Padahal sebenarnya relatif juga. Busana dari kain tenun ini harga kainnya saja sudah mahal,'' bebernya.
Bagi yang paham akan kain tenun, tentu tahu seperti apa rumitnya membuat kain ini. Tidak seperti kain dari pabrik yang dibuat oleh mesin. Untuk kain tenun, dikerjakan secara manual. Menyusun helai demi helai benang. Prosesnya panjang. Butuh berbulan-bulan menyelesaikan selembar kain tenun.

Linda mengungkapkan, pecinta kain tenun sendiri, bisa menempatkan diri. Busana menggunakan kain tenun, berbeda dengan busana pada umumnya. Biasanya pecinta kain tenun hanya menggunakan kain tenun pada acara-acara penting.
''Kalau sehari-hari jarang pakai kain tenun,'' imbuhnya.
Ditambahkan, ada tujuan utama pentingnya mengenalkan busana kain tenun. Kain tenun sebagai salah satu kearifan lokal yang dihasilkan masyarakat. Tidak seperti kain dari pabrik yang sekali jadi. Geliat kain tenun NTB yang menggoda, patut untuk terus dipertahankan.
''Prosesnya ini mahal dan memiliki nilai seni'' imbuhnya.
Ibu ramah ini bercerita, daerah di NTB memiliki motif tenun masing-masing. Tiap daerah memiliki keunikan masing-masing. Pilihan Linda jatuh pada tenunan dari Desa Ungga dan Pringgasela, Lombok Timur.

Linda mengaku cukup senang bila ada masyarakat yang datang ke rumah tenun, meski hanya melihat-lihat. Menurutnya, dengan melihat kain tenun lokal masyarakat bisa mengenal karya asli daerah. Masyarakat NTB harus bangga dengan tenun daerah. Saat ini tenun NTB sudah menggoda banyak daerah. Jangan sampai di daerah sendiri, tenun NTB justru tidak mendapat tempat.(*)

Saturday 3 October 2015

Anak Muda Lombok Cinta Keroncong

LANGKA anak muda di era musik bebas gemar dengan bernyanyi keroncong. Musik khas Indonesia ini dianggap kurang gaul. Tapi, itu tidak berlaku untuk Maya Rohmania anak muda asal Lombok-NTB. Mahasiswi ini menorehkan prestasi dari menyanyi keroncong. Ia begitu bangga bisa menjadi penyanyi keroncong.
"Banyak alasan anak muda tidak suka keroncong," katanya.
Musik keroncong, kata Maya, bukan genre yang digemari anak muda. Disebut musiknya bikin ngantuk, musik orang tua, ataupun tidak mengikuti zaman. Seharusnya bangga dengen keroncong. Karenak musik kroncong itu salah satu jenis musik yg bisa di bilang ciri khas Indonesia
"Meski ada beberapa alat musiknya tidak berasal dari Indonesia. Okulele itu alat musik dari Portugis," sambungnya.

Prestasi yang ditorehkan Maya di bidang keroncong diantaranya,
juara III menyanyi keroncong seluruh NTB tahun 2006, pemilihan bintang radio jenis keroncong tahun 2012. Terakhir, tahun lalu  juara V seluruh Indonesia di  pekan seni mahasiswa nasional (Peksiminas). Capaian luar biasa Maya, tidak didapat dengan cara kilat. Selain kecintaan, ia pun harus rajin berlatih.
Diceritakan, awal mengenal keroncong ketika kecil diajak ayahnya latihan keroncong. Kebetulan ayahnya pemain musik keroncong. Maya pun memutuskan belajar  lagu keroncong:
"Susah awalnya harus balapan dengan musiknya," bebernya.
Penghobi renang ini memulai dari sekolah dasar (SD), sudah berkeliling. Dari bernyanyi keroncong di acara-acara, sampai akhirnya tampil di televisi. Ia pun dinobatkan sebagai penyanyi keroncong termuda. Sampai SMA ia masih menjadi penyanyi keroncong termuda. Mulai SMP kerap ikut lomba keroncong.
"Setiap lomba lawannya ibu-ibu," ujarnya tertawa.
Ditambahkan, keistimewaan musik keroncong ada di alat musiknya. Alat musik tradisional dari bass betot, cello, okulele, dan tenor disatukan. Akhirnya membentuk suatu jenis musik yang enak. Lagu keroncong memiliki lirik yang puitis. Menceritakan tentang kekayaan alam, menceritakan tentang keindahan suatu tempat, dan lagu yg mengandung percintaan. Liriknya dikemas sehingga bisa menyentuh.
"Tidak asal-asalan buat liriknya," ucap perempuan 22 tahun ini.

Saat ini, lanjutnya, peminat keroncong semakin bagus. Sudah banyak anak SD mengenal keroncong. Bahkan sudah bisa menyanyikan dengan baik. Lagu Pop, Barat, Mandarin, Jepang, Jazz, dan lagu daerah bisa dinyanyikan dengan musik keroncong. Itu salah satu keistimewaan musik keroncong.
"Semua kalangan bisa ikut," imbuhnya.
Kedepan Maya ingin lebih mengenalkan lagi keroncong di kalangan muda. Dengan begitu, anak muda tidak salah tanggap tentang musik keroncong. Termasuk untuk anak-anak kecil pun harus tahu tentang keroncong.

Saturday 19 September 2015

Cara Sanggar Kalanguan Menjaga Seni




Tidak banyak generasi muda yang gemar dengan seni budaya tradisional. Mereka lebih tertarik dengan seni modern. Sanggar Kalanguan berupaya terus menjaga seni budaya untuk generasi muda.

MATAHARI mulai menggelincir ke peraduan. Arus di sekitaran perempatan Gunung Sari cukup padat. Maklum, drainase jalan menuju Tanjung itu tengah diperbaiki. Jalur semakin sempit dan kendaraan berjubel. Sekitar 10 meter sebelum perempatan Gunung Sari, ada gang kecil ke timur. Rumah di dalam gang itu dari banyak cerita kerap menjadi lokasi anak muda belajar seni. Cerita itu benar. Saat bertandang kesana, ada beberapa muda-mudi yang tengah menggunakan pakaian tradisional. Wajah mereka sudah dirias. Sesekali diantara mereka bercanda. Seorang pria tampak sibuk memberi aba-aba.
“Nanti dimulai dengan Gendang Beleq ya,” katanya pada dua pemuda yang tengah menggendong gendang.
Pria itu kemudian bercakap-cakap dengan muda-mudi yang duduk dengan alat musik tradisional. Ia memberi ketukan, Meminta pukulan gamelan ataupun gong meniru seperti suaranya.
“Nanti tang, tung, tang, tung, tung,” ucapnya memberi contoh.

Pria yang diketahui bernama Ketut Suparta itu langsung meminta latihan segera dimulai. Dua pemuda bernama Jimmy dan Gede Gande langsung mengambil ancang-ancang. Alunan nada khas Gendang Beleq pun dimulai. Iringan gamelan dan gong menyertai. Dua pemuda terlihat begitu atraktif. Sesekali senyum mereka lemparkan. Mereka begitu mahir. Tidak hanya diam menabuh. Gerakannya terus berubah. Tidak berselang lama satu pemain berjongkok. Satu lainnya berdiri. Pergerakan tetap membuat alunan music stabil. Latihan sekitar 10 menit dinilai cukup oleh Ketut Suparta.
Dua remaja dengan kipas dipanggil ke arena. Mereka diminta menyiapkan diri. Pakaian khas tari mereka kenakan lengkap. Senyum diumbar dua remaja bernama Winda dan Ayu.
“Langsung ya,” pinta Ketut.
Dua remaja ini sedang berlatih Tari Gandrung. Bola matanya sesekali bergerak cepat. Kipas di tangan membuat  gerakannya kian cantik. Lenggak-lenggok tubuhnya gemulai. Sama seperti latihan Gendang Beleq, latihan Tari Gandrung pun berlangsung sekitar 10 menit.
Ketut kembali memanggil dua remaja yang juga memakai pakaian khas tari. Bedanya, dilengkapi selendang panjang. Seorang ibu begitu telaten memberi pengerahan. Dua remaja bernama Putu dan Lilis sedang berlatih Tarian Bala Anjani. Mereka langsung diajar oleh Ni Made Yudi Aryati yang tidak lain istri Ketut Suparta. Gerakan tarian ini sama gemulainya dengan Tari Gandrung. Tari Bala Anjani menjadi penutup latihan di Sanggar Kalanguan. Ketut Suparta melempar senyum. Seolah puas dengan penampilan anak didiknya.
“Selamat datang, terima kasih sudah mampir kesini,” sapanya pada wartawan Lombok Post.
Pria 47 tahun ini bercerita, sanggar sudah berdiri sejak 2006 silam. Mendirikan sanggar karena kecintaannya pada seni budaya tradisional. Ia memiliki tanggung jawab besar untuk melestarikannya.
“Ya, kebetulan kakak saya juga seniman. Dahulu sama kakak saya mengembangkan kesenian ini,” bebernya.
Dedikasi dosen STAH Gde Pudja Mataram terhadap seni memang tidak tanggung-tanggung. Terbukti, seperangkat alat musik tradisional dan seluruh pakaian kesenian dibeli dengan uang pribadi. Lebih dari 10 tahun berdiri, belum pernah ada bantuan diterima.
“Ini karena rasa kecintaan,” ucapnya.
Ketut menyebut, memiliki perlengkapan seni memadai tidak cukup. Tugas selanjutnya adalah bagaimana merangkul anak muda bergabung di sanggarnya. Tidak peduli apa suku dan agamanya, selama mencintai seni akan dirangkul. Generasi muda ini yang nanti akan menjaga warisan leluhur di masa mendatang.
“Anak sekarang suka yang modern-modern. Makanya mereka perlu terus dikenalkan,” terangnya.
 

Gendang Beleq sebagai salah satu kesenian asli Pulau Lombok, lanjutnya, sekarang sudah mulai digemari di Bali. Bahkan, dalam pagelaran nasional Gendang Beleq menjadi pembuka acara. Mengherankan bila kesenian itu kurang terkenal di daerah asalnya.
“Mereka yang saya ajar disini tidak bayar. Yang penting mereka mau,” ucapnya.
“Saya selalu mengajarkan dalam seni jangan hanya memikirkan uang,” tambahnya.(*)