Thursday 8 September 2016

Usaha Voice For Changes Membantu Tunanetra

PEMUDA berkacamata ini pendiam saat awal jumpa di Jakarta. Ia salah satu wakil dari sepuluh inspirator muda salah satu produsen laptop. Namanya Abdullah Faqih. Ketika ditanya apa kegiatannya sehingga bisa terpilih ke Jakarta. Ia langsung bersemangat. Bila sebelumnya pendiam, bicaranya berapi-api dan tanpa jeda. Nama organisasinya adalah Voice of Changes. Ia menjadi founder. Bergerak untuk membantu para tunanetra. “Saya terinspirasi oleh Srikant Bolla dari India. Tunanetra namun bisa membuktikan bisa berbuat banyak,” katanya membuka cerita. Sekilas tentang Srikant Bolla, Faqih menjelaskan, ia seorang penyandang tunanetra dengan umur yang masih muda berhasil mendirikan kerajaan bisnis yang kini bernilai 7,5 juta dolar AS atau hampir Rp 100 miliar. Srikanth terlahir dalam kondisi tunanetra. Srikanth masuk di sekolah untuk anak-anak berkebutuhan khusus. Ia mendapatkan guru yang rela mengubah semua bahan pelajaran dalam bentuk audio yang membantunya lulus dalam ujian. Lulus dari SMA, Srikanth bercita-cita untuk belajar teknologi informasi di universitas ternama di India. Sayang meski hasil tes masuknya memuaskan, pemuda ini ditolak hanya karena di penyandang tuna netra. Dengan catatan akademisnya yang luar biasa, Srikanth malah diterima di Massachusetts Institute of Technology (MIT), AS dan lulus pada 2012. Setelah lulus, Srikanth langsung pulang kampung ke India dan mendirikan perusahaan yang akan mempekerjakan orang-orang berkebutuhan khusus seperti dirinya. “Sejak 2012 saya sudah punya ide. Tapi kesempatan itu baru datang April 2016,” terangnya. Kisah Srikant Bolla itu, menurutnya, sama seperti di Indonesia. Penyandang difabel, khususnya tunanetra belum mendapat asupan informasi yang lengkap. Diskriminasi masih sering dialami. Ditambah lagi jumlah buku braille terbatas. Di perpustakaan tunanetra terbesar di Indonesia saja hanya ada 300 judul buku braille. Banyak yang kemudian lepas tangan. “Padahal mereka punya kesempatan dan peluang yang sama. Seperti di India, akhirnya bisa sukses,” ucapnya. Mahasiswa Jurusan Sosiologi ini tidak menampik, pengerjaan buku braille cukup susah. Satu buku biasa seandainya dijadikan sebagai buku braille, bisa menjadi sepuluh buku braille. Betapa tebalnya. Bagi kita yang memiliki mata normal tentu geleng-geleng melihat tumpukan buku braille. Namun, bagi tunanetra setebal apapun buku braille itu tetap mereka butuhkan. Dari buku braille ini sumber pengetahuan dan informasi mereka dapatkan. “Kurang efisien untuk tunanetra. Waktunya banyak terbuang,” ceritanya. Menurut Faqih, ini bisa dibuktikan dengan sejumlah panti tunanetra yang memiliki stok buku braille. Tunanetra kurang memanfaatkannya. Jenis bukunya tidak sesuai dengan kebutuhan. Buku braille yang disajikan pun kerap jauh dari keseharian. Contohnya, penyandang tunanetra diberikan bacaan tentang pertikaian atau perpolitikan. Padahal mereka lebih butuh dengan cerita atau kisah yang menginspirasi. “Makanya perlu kita berikan terobosan bacaan,” ucapnya. Dari pengamatan selama beberapa waktu itulah, kata Faqih, April 2016 lalu idenya membuat audio books untuk tunanetra terealisasi. Kisah memulai pondasi organisasi sosial, dimulai dengan dua orang. Bersama rekannya, Valya Nurfadila mahasiswi Jurusan Matematika UGM awal 2016 dimulai. Ide membantu tunanetra itu tak kunjung terwujud. Masalahnya ada pada sumber daya manusia (SDM). Diputuskan menambah dua orang. Ditambah Angela Shinta sebagai Community Manager dan Ahadin Fahmi sebagai tim creative. Total sekarang ada empat orang. “Jumlah ini memang masih sedikit, namun yang coba dikejar adalah menyusun organisasi yang kokoh. Setelah dirasa sustainable, baru mulai menambah tim,” imbuhnya. Mahasiswa semester V Universitas Gajah Mada (UGM) ini mengibaratkan lembaga yang dibentuknya itu seperti mata bagi para tunanetra. Pola kerjanya tidak ribet. Tugasnya membuat audio beragam jenis buku. Utamanya buku yang sedang diminati dan menarik. Buku itu direkam. Setelah direkam kemudian hasilnya dibahas oleh tim. “Dengan zaman yang semakin canggih, pola kerja yang dilakukan oleh tim kecil ini tidak terlalu rumit. Pola kerja 80 persen dengan online,” urai Faqih. “Koordinasi dan distribusi tugas dengan berkirim email dan diskusi di grup line. Bila ke panti tunanetra atau butuh survei dan uji audiobooks baru ke lapangan,” sambungnya. Sampai saat ini, imbuhnya, sudah ada sepuluh audio books yang rampung dibuat. Panti yang sudah dilibatkan antara lain Yayasan Pendidikan Anak-anak Buta, Surabaya, Panti Tunanetra Yaketunis dan Yayasan Sayap Ibu Yogyakarta. Alasan, baru memilih tiga panti karena memang masih butuh penambahan jumlah audio books. Selain itu, menyesuaikan dengan domisili tim. “Setelah audio books semakin banyak dan tiga panti merasakan manfaatnya baru mencoba ekspansi dan mencoba ke tempat lain,” ucapnya. Usaha yang dilakukan Voice of Changes ini, kata Faqih, tidak bisa berjalan sendiri. Butuh dukungan dari banyak pihak. Ia pun tidak menutup sukarelawan dari semua daerah yang ingin membantu. Polanya cukup mudah. Apalagi sekarang semua gadget dilengkapi dengan perekam suara. “Tinggal direkam saja,” jelasnya. Bulan depan Faqih mematok target audio books sudah bisa dikenal luas oleh publik. Ia tidak ingin niat baiknya untuk penyandang difabel terburu-buru. Setelah tahap produksi audio books lancar, baru promosi dilakukan. Ia berharap bisa menginspirasi anak-anak muda untuk peduli pada tunanetra.(*)

0 10 komentar:

Post a Comment