Thursday 5 November 2015

Baru Assessment Kok Gaduh?

MUTASI di Kota Mataram selalu memiliki cerita. Dibalik beragam cerita, kegaduhan selalu muncul. Sedikit berbeda yang terjadi di era penjabat Wali Kota Mataram Hj Putu Selly Andayani, belum juga mutasi terjadi kegaduhan sudah merebak. Padahal, dalam statemen kepada media massa, penjabat itu tidak pernah tersurat menyebut bakal ada mutasi. Kegaduhan mulai muncul saat proses assessment dilakukan. Ada pejabat yang tidak mau assessment dengan alasan tidak ada dalam aturan. Perlawanan salah satu pejabat ini pun membuat situasi makin gaduh. Ada memang yang malu-malu menolak assessment.
Dalam PP Nomor 49 Tahun 2008 tentang pemberhentian dan pengangkatan penjabat kepala daerah pada pasal 132A ayat 1 disebutkan dilarang untuk mutasi. Boleh mutasi bila mendapat persetujuan dari menteri Dalam Negeri.
Pertanyaannya kemudian, apakah assessment ini berarti bakal ada mutasi? Dalam undang-undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 disebutkan, assessment itu sebagai pemetaan. Proses assessment tidak serta-merta berarti bakal ada mutasi. Lalu kenapa gaduh?
Kegaduhan yang terjadi dalam assessment tidak hanya dalam lingkup pemerintah. Legislatif pun ikut mencak-mencak. Sampai Ketua DPRD Kota Mataram H Didi Sumardi langsung mengundang para pakar dengan gelar profesor maupun doktor ke dewan meminta pandangan. Kok tumben?
Tidak salah sebenarnya pakar memberikan pandangan dan telaah, sesuai dengan norma undang-undang yang berlaku. Hanya saja, tidak biasanya di Kota Mataram belum mutasi saja gaduhnya sudah kemana-mana. Padahal dalam konteks yang lebih parah, pejabat maupun wakil rakyat memilih tutup mulut.
Sama-sama gaduh, namun koteksnya berbeda di Kota Mataram terjadi 4 Februari 2015. Saat itu Pemkot Mataram menggelar mutasi pada 138 orang. Dalam mutasi tersebut terjadi pelanggaran, dimana mengacu UU ASN untuk promosi eselon II harus melalui panitia seleksi (pansel). Sayang, ada pejabat yang langsung naik tanpa assessment. Akibatnya, ada dua pejabat di Kota Mataram yang “dipaksa” pensiun lebih cepat. Kegaduhan ini tidak kalah menyita perhatian. Komisi ASN pun sampai memanggil Sekda Kota Mataram HL Makmur Said ke Jakarta. Dalam suratnya disebutkan telah terjadi pelanggaran. Lalu kenapa banyak yang diam? Kenapa tidak mengundang para pakar memberi telaah? Padahal saat itu sudah jelas terjadi pelanggaran.
Publik berhak bertanya atas kondisi saat ini. Baru proses assessment yang belum pasti mutasi, kondisinya sudah dibuat seperti perang. Adu opini bermunculan. Seolah ada kubu yang pro dan kontra dalam mutasi.
Padahal bila berpikir jernih dan mau melihat aturan yang ada, soal assessment hingga proses mutasi jelas membatasi penjabat. Namun, batas itu runtuh manakala Mendagri memberi restu. Sebaliknya juga begitu, seandainya pusat tidak memberi lampu merah, maka mutasi tidak bakal terjadi.
Semoga birokrat dan wakil rakyat tidak kehilangan gairah sebenarnya, mengabdi untuk masyarakat. Jangan sampai pikiran dan tenaga tersita untuk segelintir golongan. Masih banyak masalah pelik di Kota Mataram yang harus dituntaskan. Bukan hanya melulu soal jabatan dan kedudukan.(*)





0 10 komentar:

Post a Comment