This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Saturday 15 October 2016

Setetes Air Lebih Berharga dari Harta



Panas terik dan berdebu. Begitu rasanya saat menjejakkan kaki di Dusun Seriwe, Desa Seriwe, Kecamatan Jerowaru, Lombok Timur. Satu jam lebih perjalanan dari Kota Mataram mencapai dusun di Lombok bagian selatan ini. Sebelum mencapai dusun, jalan rusak penuh batu sudah menghadang. Rombongan dari Kota Mataram terdiri dari lima truk tangki air dan satu mobil dinas Innova milik Kepala Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil (Disosdukcapil) H Ahsanul Khalik.

Dusun Seriwe sendiri langsung berhadapan dengan Teluk Seriwe. Tidak usah heran kalau panas khas pesisir pantai begitu terasa begitu keluar dari mobil. Puluhan ibu rumah tangga sudah berbaris rapi. Di depannya mereka gentong dan ember sudah berjajar.
“Baris yang rapi. Semuanya kebagian,” begitu anggota Tagana Disosdukcapil berkata kepada warga.

Tak lama anggota Tagana itu pun berjalan ke menuju bagian belakang truk, ia memutar pangkal selang. Air pun langsung mengucur ke gentong dan timba yang dibawa para ibu. Rona bahagia terpancar dari mereka. Melihat air seperti melihat barang berharga.
“Biasanya beli. Alhamdulillah, ada gratis dari pemerintah,” ucap Inaq Mariam.

Diceritakan, sehari-hari kebutuhan air untuk memasak dan minum, warga Dusun Seriwe membeli. Mengandalkan hujan tak mungkin, meski di beberapa daerah di Lombok sudah hujan, dusun ini belum merasakan derasnya curahan air langit. Baru gerimis saja turun. Truk tangki penjual air tak setiap hari menyambangi warga.
“Makanya kita beli biasa dua jeriken yang isi 30 liter. Satu jeriken Rp 5 ribu,” lanjut Inaq Mariam.


 

Gentong dan ember warga Dusun Seriwe berjajar menunggu giliran mendapat air bersih, Kamis (13/10)


Melihat antusiasme warga terhadap air itu membuat Kepala Disosdukcapil H Ahsanul Khalik lama memperhatikan. Ia yang datang bersama Kabid Bantuan dan Jamsos Hj Hermin dan Kasi Penanggulangan Bencana Candra melihat langsung betapa berharganya air di Lombok bagian selatan.
Bantuan air bersih tak selalu diterima warga. Mereka pun cukup hemat menggunakan air. Bagi kita yang tinggal di perkotaan, untuk mendapat air bersih cukup memutar keran. Tapi, untuk warga di Dusun Seriwe harus berjuang denga tenaga maupun harta.

Melihat pembagian air dari truk tangki pertama tertib, rombongan dari Disosdukcapil pindah ke truk tangki lainnya. Suasananya berbeda. Teriakan dari seorang ibu menggelegar. Sesekali ibu ini pun memukulkan embernya. Petugas yang tengah menumpahkan air dari selang dibuat kaget, ibu ini tiba-tiba menarik selang. Tak ayal air dari selang pun tumpah menghujam tubuhnya. Ia seolah tak mau sabar mengantre. Ibu-ibu yang lain berusaha menenangkan, tapi ia tetap saja keras.
“Memang seperti ini kadang saat pembagian air. Kadang kita malah dicakar,” aku anggota Tagana lainnya Mulyadi.

Padahal sebelum pembagian, tim Tagana sudah menginformasikan, membawa lima truk tangki dengan kapasitas 5 ribu liter tiap tangki. Ada saja, ibu rumah tangga yang khawatir tak kebagian.

Kepala Desa Seriwe Abdul Hamid yang memantau pembagian air mengungkapkan, betapa bahagia warganya mendapat dukungan air bersih. Apalagi air itu adalah air PDAM. Di wilayahnya, susah mendapat air. Pengeboran hingga ratusan meter, belum tentu mendapat air. Kalaupun mendapat air, rasanya payau.
“Saya sebagai kepala desa sangat bersyukur bisa dibantu,” katanya.

Di Desa Seriwe total ada 178 kepala keluarga (KK), semuanya mendapatkan air bersih dengan beli. Bila ada tangki air bantuan pemerintah, warga sangat antusias. Artinya pengeluaran untuk kebutuhan air bisa dialihkan ke kebutuhan lainnya.
“Mengandalkan hujan, tapi sampai sekarang belum pernah hujan,” ucapnya.


Warga berebut antrean air bersih dari Kadisosdukcapil H Ahsanul Khalik.


Apa yang terjadi di Dusun Seriwe ini menjadi pelajaran berharga, betapa air yang berlimpah sebuah anugerah luar biasa. Setelah melihat daerah gersang nan tandus, baru disadari bila air pun harus dihemat. Tak kalah penting kawasan penjaga air (baca: hutan) harus dilindungi. Pada akhirnya soal air tidak bisa lagi dipandang remeh. Air memegang peranan vital dalam kehidupan.

Apalah arti harta berlimpah, rumah mewah, dan kendaraan baru kalau untuk minum saja susah. Para pakar lingkungan jauh hari sudah mengingatkan, supaya penduduk bumi menjaga air. Karena akan tiba waktu dimana demi air manusia akan saling membunuh.(*)  

Sunday 9 October 2016

Gus Mus Menghantam Hatiku

KH Mustofa Bisri, kyai Rembang, Jawa Tengah yang saya kagumi. Santun. Rendah hati. Dan humoris. Kekaguman saya pada Abah Yai yang tulisannya kerap menghiasi media massa salah satunya karena tawadhu. Sebagai kyai yang juga guru bangsa, ungkapan-ungkapannya selalu membuat hati bergetar.
Tidak bisa hilang dari ingatan ketika muktamar NU digelar di Jombang, suasana memanas. Muktamar berkubu. Dengan rendah hati beliau mengingatkan jangan sampai muktamar ribut. Malu rasanya ribut di bumi tempat NU berdiri. Bahkan beliau rela mencium kaki muktamirin supaya tidak ribut. Beliau menangis.


Sungguh luar biasa menikmati untaian hikmah dari beliau. Termasuk saat saya membaca tulisan beliau di Jawa Pos. Hati saya merasa dihantam. Tanpa menggurui kyai yang akrab disapa Gus Mus mengingatkan betapa gaya hidup dunia sudah pekat merasuk ke hati. Cinta dunia. Saya seperti sedang diingatkan. Betapa memang hidup saya diselimuti materialistik. Kebendaan masih menjadi tujuan. Sebagian besar saya harus akui, orientasi materi kuat melekat. Bangun, begitu kata saya dalam hati. Membaca tulisan Gus Mus ini tak sekadar membaca. Ini alarm untuk diri saya.

Saya mengutip tulisan Gus Mus dari facebook beliau untuk diri saya. Mengingatkan diri supaya kembali...kembali meletakkan dunia ini dalam tangan, bukan lagi dalam hati. Tulisan Gus Mus saya ambil utuh untuk blog. Supaya setiap saat saya bisa membaca tulisan hikmah ini.

Salam takzim untuk KH Mustofa Bisri


(Kutipan dari akun Facebook KH Mustofa Bisri)


Tulisanku yang dimuat di "Jawa Pos" kemarin, Jum'at 7 Oktober 2016.

GAYA HIDUP DUNIAWI
Oleh: A. Mustofa Bisri

“Piye, Le; enak zamanku tho?!”

Pertanyaan di bokong truk dengan gambar pak Harto mesem itu setiap kali berkelebat mengusikku. Aku selalu teringat presiden yang nyaris seperti raja itu terutama saat ada peristiwa kegilaan terhadap dunia, seperti kasus-kasus Korupsi dan Suap-menyuap; Politik Uang; Pejabat Publik dan Artis yang ‘tertangkap tangan’; Orang Pintar yang dapat memperbanyak uang; dlsb.
Kegilaan terhadap dunia atau materi dimulai dari keinginan menjadikan hidup ini sejahtera, hingga keinginan hidup mewah. Lalu keinginan lebih dan langgeng hidup mewah serta berkuasa. Biasanya berakhir dengan hilangnya akal dan nurani. Hubbud dunya ra’su kulli khathiah. Berlebih-lebihan menyukai dunia adalah sumber segala kesalahan.

Negeri ini mengenal 2 (dua) presiden yang nyaris seumur hidup. Soekarno dan Suharto. Sambil ‘meledek’ Pemerintahan Soekarno dengan sebutan Orde Lama , kursi kepresidenan-nya pun diambil alih. Orde lama dikritik karena ‘mengangkat’ Politik sebagai Panglima. Alasannya: politik tidak membikin kenyang. Politik tidak enak. Lalu Suharto pun mengganti dengan ‘Ekonomi sebagai Panglima’. Pembangunan ekonomi semesta pun dimulai.

Adalah wajar bila saat akan membangun ekonomi, yang dicontoh dan ditiru adalah negara-negar yang maju ekonominya. Ibarat mau membuka warung, tentu yang dicontoh dan ditiru adalah resto yang maju. Sayangnya, kita ini –di samping merupakan ‘bangsa peniru’—apabila meniru tidak melihat dan mempertimbangkan diri sendiri. Mau meniru artis mancung India yang tampak cantik dengan anting besar di hidungnya, langsung niru tanpa mempertimbangkan hidungnya sendiri yang kecil dan pesek. Mau meniru peragawati Perancis yang tampak manis dengan rok spannya, langsung meniru pakai rok span; padahal tubuhnya ukuran jumbo. Melihat orang-orang Barat –yang memiliki 4 musim, termasuk musim dingin--memakai jas-dasi dan mantel, kita pun menirunya dengan bangga; lupa bahwa kita hidup di negeri tropis. Begitu dan seterusnya.

Ternyata saat Suharto dan orbanya mau membangun ekonomi Indonesia, agaknya hanya meniru begitu saja negeri-negeri maju di Barat (apalagi tentu saja negeri-negeri itu mau menghutangi); tanpa melihat dan mempertimbangkan jati diri sendiri sebagai negara dan bangsa. Pancasila pun kemudian hanya dijadikan ‘proyek pembangunan’. Maka yang terjadi pun praktek ekonomi kapitalis (Cuma disini dengan kapital utangan) dan menghasilkan masyarakat yang materialistis. Masyarakat yang berlebihan menyukai dunia. Harta dan pangkat atau uang dan kedudukan. Apalagi dalam soal duniawi ini, Suharto dan para pemimpin beserta keluarga mereka dengan sangat jitu memberi contoh dan teladan. Sehingga Hidup Sejahtera ditangkap bulat-bulat oleh banyak kalangan di masyarakat sebagai hidup kaya, berkedudukan, dan mewah.
Anggota Dewan yang dulu hanya diberi ongkos transportasi, karena kerjanya ‘cuma’ menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol pemerintah; oleh Pemerintahan Suharto diberi gaji berlimpah, karena tugasnya jauh lebih berat, istiqamah menyetujui kehendak pemerintah atau diam. Maka sejak itu menjadi anggota parlemen dipandang sebagai mata pencaharian yang sangat menjanjikan. Pangkat dan harta teraup semuanya.
Pendidikan pun tentu saja direncanakan dan dibangun atas asas ‘kehidupan duniawi’ model itu. Bukan atas dasar jati diri dan falsafah bangsa. Orientasi dan proses pendidikan semuanya bermuara kepada kehidupan dunia ini semata. Ijazah dan cari kerja atau cari kedudukan adalah hal paling pokok dan penting melebihi apa saja. Maka Pendidikan pun hanya lebih merupakan pengajaran dan boleh dikata tanpa mendidik. Hasilnya pun kebanyakan adalah orang-orang terpelajar yang tidak terdidik.    

Kemudian fenomena cepat-kilatnya orang mendapatkan sesuatu kekayaan dan pangkat, melahirkan gaya hidup baru. Gaya hidup instan yang mengukuhkan kehidupan serba duniawi itu. Ingin cepat kaya, ingin menjadi kiai atau sarjana; ingin pelanggaran tidak dihukum, ingin jadi artis, hingga ingin menjadi pemimpin pemerintahan, maunya sekejap. Kun fayakun. (Fenomena Gatot yang ‘menjerumuskan’ banyak artis dan Dimas Kanjeng yang ‘menjerumuskan’ Marwah Daud dan banyak orang pintar lainnya, hanyalah contoh kecil dari akibat mentalitas duniawi dan gaya hidup instan ini).

Maka ‘ajaran hidup’ warisan tinggalan Suharto yang kemudian dilanjut-teruskan oleh murid-murid setianya ini belakangan menimbulkan masalah yang tak putus-putus. Dimulai dari persaingan kepentingan duniawi, rebutan kedudukan, dan keserakahan yang kemudian beranak-pinakkan korupsi, suap-menyuap, penipuan, pertikaian, hingga saling fitnah.

Menurutku, hendak melakukan Revolusi Mental, kita seharusnya melihat dan mengetahui lebih dahulu mentalitas kita selama ini. Lalu meninjau kembali dan mengkaji ulang pandangan kita selama ini, terutama tentang dunia dan tentang tujuan hidup kita di dunia ini. Dengan kata yang lebih singkat, kita perlu kembali ke jati diri kita sendiri. Kita harus kembali memandang dunia hanya sebagai persinggahan sebentar. Materi bukan segala-galanya.
Kiai Husein Muhammad dari Pesantren Arjawinangun , dalam hal ini, secara tidak langsung menawarkan gaya hidup Zuhud. Ini memang resep manjur yang biasa diberikan para tabib rohani. Membalik gaya hidup. Tapi menurutku ini terlalu drastis dan ekstrem. Bagaimana masyarakat yang sedemikian menyintai dunia (bahkan tingkat cintanya kepada dunia sudah sampai ke taraf menghilangkan akal-sehat), disuruh zuhud? Bagaimana kalau kita mulai saja dari gerakan hidup sederhana? Kalau setuju, sekaranglah saatnya yang paling baik untuk memulai. Di Tahun Baru Hijriah ini, semoga Allah menolong dan membantu kita dalam rangka ‘hijrah’ dari berlebih-lebihan memandang dunia kepada kesederhanaan. ‘Hijrah’ dari menganggap materi sebagai segala-galanya kepada hanya sekedar sarana. Semoga Allah menolong dan membantu kita dalam melakukan kesibukan yang semakin mendekatkan diri kita kepadaNya. Amin.

Saturday 8 October 2016

Ilmu Digital Marketing untuk Petani



Usaha harus mikir modal, tempat, dan tenaga kerja. Bila ketiganya, mempersiapkan promosi untuk mengenalkan produk. Pola pikir ini sudah kuno. Modal utama bisnis sekarang adalah kemauan dan tidak gagap teknologi alias gaptek. Simpel dan murah. Generasi milenial menyebutnya bisnis online. 

Saya merasakan bisnis online. Tidak lelah. Cukup dirumah menunggu dering handphone. Pembeli menghubungi via pesan singkat atau telepon. Salah satu aplikasi yang saya coba adalah OLX. Kala itu ada rekan hendak menjual sebidang tanah. Sebelumnya dia sudah mencoba promosi via radio. Hasilnya nihil. 
 
OLX salah satu situs jual beli online
Saya menawarkan jualan lewat OLX.  Dia setuju. Untuk menarik minat pembeli, jual-beli online menyertakan foto. Selanjutnya submit data ke OLX. Mudah. Tinggal memasukkan biodata diri, email, dan nomor handphone. Beberapa menit kemudian masuk kode verifikasi lewat email. Selanjutnya upload foto jualan. Supaya menarik, melengkapi dengan deskripsi produk. Tidak sampai hitungan jam, produk yang saya jual sudah bisa dilihat ribuan orang. Esok hari langsung ada yang menghubungi. Sehari setidaknya ada dua atau tiga orang yang menawar. Untuk memperkuat promosi, iklan di OLX saya share di media sosial.  Hasilnya, tidak sampai dua minggu tanah rekan saya itu terjual. Padahal sebelumnya promosi di radio beberapa minggu, tidak banyak yang menghubungi.

Untuk mengembangkan usaha, tidak rumit dengan bantuan dunia online. Penyebaran informasinya cepat. Supaya daya jelajah produk semakin cepat, perlu bantuan digital marketing. Situs iklan disebar melalui media sosial, mulai twitter, facebook, ataupun Instagram. Dengan kemudahan bisnis online, membuat situs jual beli online membanjir. Tawaran dan pola jualan memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Di perkotaan bisnis online bukan barang baru. Beda dengan di desa. Pola perdagangan begitu konvensional. Hasil pertanian dan perkebunan dijual dari mulut ke mulut. Harganya pun tergantung permainan tengkulak. Petani jarang mendapat untung besar. Padahal petani menunggu panen berbulan-bulan. Nasib petani, kalau tidak untung sedikit, ya rugi. 
 
Perkembangan digital marketing begitu pesat. Sasarannya tidak hanya kota, harus sampai desa

Saya berharap pemerintah pusat maupun daerah menggarap serius potensi desa.  Caranya, komoditi pertanian atau perkebunan dijual secara online. Ada startup atau aplikasi yang khusus menjadi wadah jualan petani. Kemudian mendorong marketing digital produk pertanian.
Adanya situs jual beli bagi petani membuat lebih adil. Pembeli bisa langsung negosiasi dengan petani. Selain itu punya banyak pilihan komoditi dari daerah pertanian berbeda. Bagi petani, mereka punya pilihan konsumen. Produk mereka semakin dikenal luas. 


Seandainya situs khusus petani ini tidak terwujud, tetap ada peluang menggerakkan marketing digital di pedesaan. Dimulai dengan memberi pemahaman teknologi. Mendampingi kelompok tani (poktan) cara memakai gadget. Melatih mereka bercengkrama dengan dunia digital. Sampai menebar promosi di dunia digital. Semoga pemerintah pusat memberikan perhatian besar dalam pengembangan digital pedesaan. Bukan hanya soal anggaran (baca: Alokasi Dana Desa). Petani harus diajak melek teknologi.