This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Monday 28 September 2015

Sadar Kebersihan dari Keluarga



Rasanya setiap minggu, bila membaca media massa di NTB selalu ada gotong royong kebersihan. Bila minggu ini di Kota Mataram, berikutnya di Lombok Barat, kemudian Lombok Utara, dan seterusnya. Bersih-bersih bersama yang digalang oleh pemerintah, tidak hanya melibatkan satu atau dua orang saja. Nyaris seluruh PNS lingkup pemerintah membaur. Seluruh kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) mengerahkan seluruh anak buahnya. Jadilah, acara bersih-bersih itu menjadi kegiatan masal. Bisa jadi di satu titik, lebih banyak pasukan pembersih ketimbang jumlah sampahnya.
Sayangnya, disaat PNS berjibaku dengan sampah ataupun lumpur diselokan, warga setempat asyik menonton. Pertanyaannya, kenapa hanya menonton?.Bisa jadi, sebelumnya warga tidak diajak bergabung atau bisa juga memang warganya memang malas.
Yang terjadi saat ini, dengan mudah menjumpai masyarakat membuang sampah seenaknya. Tidak hanya di pinggir jalan. Ada yang membawa karung, kemudian menumpahkan sampah ke sungai. Terlalu.
Jangan salahkan kalau hujan datang, air meluber masuk ke rumah. Jangan juga protes ketika mendadak sungai jadi penuh sampah. Dan jangan kecewa bila kemudian penyakit menyerang karena sampah berserakan.
Seperti apapun kerja pemerintah mengatasi kebersihan, tanpa partisipasi masyarakat, pemerintah seperti sedang melukis diatas air. Gotong royong kebersihan mingguan efeknya hanya sementara. Usai bersih masal, sampah akan menumpuk, sungai kembali penuh sampah, dan got kembali mampet. Itu fakta.
Kesadaran akan kebersihan harus didorong dari lingkungan keluarga masing-masing. Memberikan edukasi, tentang membuang sampah yang benar. Meski hanya sebungkus permen, sebaiknya dibuang di tepat sampah. Bila dalam keluarga sudah peduli kebersihan, baru kemudian didorong dalam skala lebih luas di tingkat RT, hingga kemudian di tingkat lingkungan. Di tingkat RT maupun lingkungan, tentu polanya dengan menggelar gotong royong kebersihan secara berkala. Tidak peduli tua, muda, kaya, ataupun miskin semua bersama-sama membersihkan.
Budaya gotong royong khas Indonesia ini perlu kembali dihidupkan, Manfaatnya tidak hanya sekadar menjaga kebersihan dan lingkungan. Dari gotong royong terjadi silaturahmi antar warga. Apalagi di perkotaan yang individualismenya cukup tinggi.(*)

Saat Politik dalam Sepak Bola



Pemilukada serentak dihelat 9 Desember mendatang. Di NTB ada tujuh kabupaten/kota yang bakal menentukan siapa kepala daerah yang baru. Masing-masing calon kepala daerah sudah menyiapkan amunisi untuk menuai simpati masyarakat. Mereka pun menyusun tim sukses solid demi meraih kuasa.
Pertanyaan besar untuk pilkada nanti adalah, bisakah demokrasi damai?. Jawabannya tentu bisa. Kenapa tidak demokrasi berjalan damai. Pemilukada bagian dari proses politik untuk memunculkan figur yang akan dipilih oleh rakyat. Dalam proses itu, siapa yang mendapat mandat terbanyak dari rakyat maka dialah yang bakal menjadi pemimpin.
Bagi calon kepala daerah dan wakilnya maupun pendukungnya, memegang kunci untuk perwujudan perdamaian. Dalam pertandingan sepak bola, sudah ada wasit (baca: KPU) dengan aturan main jelas. Sepanjang permainan dibolehkan menggunakan trik-trik ajaib, sepanjang tidak melanggar aturan trik itu dibolehkan.
Bagaimana dengan black campaign, sebenarnya kampanye hitam ini dianggap kurang etis. Dinilai tidak mengedepankan semangat demokrasi bermartabat. Tapi, bila kacamatanya adalah sepak bola ada cara sedikit nakal itu bisa saja dilakukan. Justru karena cara itu muncul istilah tangan tuhan, karena Maradona membobol gawang Inggris dengan tangannya. Argentina menang. Sama dengan Materazzi yang mengumpat ibu Zidane saat final Piala Dunia 2006 antara Italia melawan Prancis. Hasilnya, Zidane kena kartu merah dan Italia juara. Dan yang terbaru bagaimana Chile menjadi juara Copa America 2015, pertandingan terkeras perempat final melawan Paraguay. Provokasi pemain Chile membuat Cavani di kartu merah.
Bila melihat politik ini dari sepak bola, tentu tidak akan ada kerusuhan, karena semuanya sadar sudah memiliki taktik dan trik khusus. Ketika lawan politik menang, harus sportif memberi selamat. Bukan menggunakan rencana anarkis untuk membuat kericuhan. Karena sesungguhnya, proses dalam politiknya hampir sama, hanya soal kejelian meramu taktik dan strategi. Sepak bola sama-sama bermain dengan 11 pemain, tapi urusan hasil tergantung siapa peramu taktik terbaik.
Harapan terbesar dalam proses demokrasi tidak muluk-muluk. Ingin seperti ketika menonton bola. Sedikit riuh, ada teriakan, namun menghibur. Penonton ingin mendapatkan pembelajaran yang baik dari politik. Seperti pembelajaran ketika mereka menonton sepak bola. Paling tidak asyik adalah menonton bola yang di lapangannya ribut. Semoga, pilkada damai bisa terwujud. Ingin protes, ada prosedurnya. Sengketa politik sudah ada yang menangani. Tidak perlu khawatir.(*)


Friday 25 September 2015

Menjaga Rias Pengantin Sasak



USIANYA tidak lagi muda, namun semangatnya begitu mengebu bila sudah membicarakan soal riasan pengantin tradisional. Itulah sosok Hj Titiek Suharto yang merupakan Ketua Harpi Melati NTB. Dialah satu-satunya orang NTB yang memiliki kompetensi untuk menguji perias pengantin tradisional Sasak. Namanya sudah masuk dalam kancah nasional sebagai penguji rias pengantin.Apa yang dilakukan oleh perempuan paruh baya ini, tentu menjadi inspirasi bagi anak muda. Mau menjaga rias pengantin sasak.
“Ini harus tetap dipertahankan sebagai budaya kita. Tidak dimiliki oleh yang lain,’’ katanya.
Ya, meski usianya sudah 68 tahun, nenek delapan orang cucu ini tidak pernah mau ketinggalan ketika para perias menjalani uji kompetensi rias pengantin. Ia ikut terlibat ketika ada ratusan orang menjalani uji kompetensi rias pengantin Sasak. Mereka menjalani tes teori maupun praktik. Dengan telaten ia memberikan informasi pada para perias pengantin Sasak yang tengah mempersiapkan diri untuk menjalani tes. Di benak anak muda sekarang, bila bicara rias pengantin tentu yang terbersit adalah rias pengantin modern. Belum tentu mereka yang lahir dan besar di Lombok yang notabene suku Sasak tahu apa itu rias pengantin sasak.
Titiek bercerita, prosesi pernikahan tidak bisa dipisahkan dari rias pengantin. Setiap daerah memiliki riasan tradisional masing-masing. Riasan ini dipadupadankan dengan pakaian yang ada. Ia mendorong supaya rias pengantin tradisional tetap dijaga. Karena sampai kapanpun rias pengantin tradisional tetap diminati. Terlebih oleh kalangan masyarakat yang masih memegang adat istiadat dan budaya asal. Berada di daerah manapun tetap menggunakan riasan asli. Masih ada kebanggan mempertahankan budaya leluhur. 
“Ada kebanggaan ketika menggunakan riasaan pengantin tradisional,’’ ucapnya.
Tidak bisa dipungkiri, lanjutnya, rias penganten modern memang terus bermunculan. Rias pengantin modern banyak yang menyebut bisa menyesuaikan dengan selera. Berbeda dengan rias pengantin tradisional yang sudah memiliki pakem. Pola riasan dan pakaian harus sesuai dengan adat yang ada.Itu juga menjadi alasan generasi modern, kurang terpikat dengan riasan pengantin sasak
Rias pengantin modern, tambahnya, dikenal lebih variatif dan bisa dipadupadankan. Ditambah lagi, generasi saat ini lebih cenderung memilih hal yang simpel. Dalam penilaian mereka, penggunaan riasan tradisional dianggap ‘’kolot’ atau ribet. Padahal, ada sesuatu yang khas dari riasan pengantin tradisional. Dicontohkan, dari sisi make up, antara riasan pengantin Sasak dengan Jawa memiliki perbedaan. Ketika perias pengantin tidak paham dengan ini, mudah untuk diketahui. Berbeda dengan pola riasan modern yang lebih mirip-mirip.
Sebagian yang lain menilai, rias pengantin tradisional sulit untuk direkayasa. Riasan maupun pakaian yang digunakan monoton. Padahal  beberapa kali rias pengantin tradisional bisa direkayasa.
“Pasangan pengantin tetap memakai pakaian tradisional, namun bisa menggunakan jilbab,’’sambungnya


Sementara mengenai pandangan menggunakan riasan pengantin Sasak ribet, itu tidak sepenuhnya tepat. Riasan ini tidak bisa dipisahkan dari adat istiadat. Apa yang tertuang dalam riasan tersebut tentu ada nilai dan filosofinya. Justru ini salah satu bentuk kebanggan terhadap budaya Sasak.
Melihat paradigma yang berbeda ini, kata Titiek, memang perlu untuk membakukan rias pengantin Sasak. Ia pun menceritakan rias pengantin Sasak ini pertama kali di lokakaryakan bersama para tokoh adat Sasak 2008. Ia tidak sendiri, ada H Abdul Hamid yang juga ikut memberikan dukungan soal riasan. Setelah melalui proses yang panjang, riasan pengantin Sasak ini pun dibakukan 2009 silam dan berhak mendapat pengakuan seluruh Indonesia. 
Disebutkan, para perias pengantin tradisional Sasak ini bakal menjalani uji kompetensi sebelum terjun ke lapangan. Setelah memiliki sertifikat, para perias pengantin Sasak ini bisa membuka salon dimanapun. Uji kompetensi ini dinilai penting. Masih ada perias yang belum paham menyeluruh soal tata rias pengantin tradisional. Ada masih campur-campur cara menata. Ada yang riasannya Sasak, bajunya malah Jawa.
“Perbedaan ini perlu dipersatukan dengan uji kompetensi,’’ bebernya.


Peran dari Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) cukup penting dalam menjaga eksistensi perias pengantin tradisional. Terbukti tiap tahun, ada puluhan hingga ratusan orang yang mendapat pendidikan hingga melewati uji kompetensi (UK) untuk meraih sertifikat. Terbukti setelah dibakukan, kata dia, riasan pengantin Sasak ini makin eksis. Pertumbuhan peminat terhadap riasan Sasak terus bertambah. Tentu saja itu itu terjadi karena semakin banyaknya permintaan riasan tradisional. Hingga kini, yang sudah menjalani uji kompetensi tata rias pengantin Sasak sejak 2008 lalu mencapai 409 orang. Tata rias pengantin Sasak yang diakui seluruh Indonesia sejak 2009 silam memang menerima bantuan dari Pelatihan Kecakapan Hidup (PKH). Pengujinya sendiri dari lembaga sertifikasi kompeten (LSK) tata rias pengantin Jakarta.
Apa yang dilakukan oleh Hj Titiek Soeharto ini harus melecut para generasi muda. Di usia yang sudah sepuh, ia tetap semangat untuk mempertahankan tradisi warisan leluhur.(*)